Dimuat di Rubrik Nguda Rasa, Koran Merapi, Kamis 2 Agustus 2012
Dewasa ini konversi lahan pertanian
ibarat kuda binal. Lajunya kian tidak terkendali. Alih fungsi lahan
pertanian ke sektor nonpertanian (misalnya perumahan/real estate) marak terjadi. Luasannya mencapai 100 ribu ha/tahun (Badan Pertanahan Nasional, 2011).
Absennya negara dalam menjaga alih
fungsi lahan pertanian disebabkan kegamangan pemerintah mengawal
pembentukan Peraturan Daerah Tata Ruang dan Tata Wilayah (Perda RT/RW).
Semula ditargetkan selesai pada 2012. Namun sampai lewat medio tahun
ini belum jelas juntrungannya.
“Tanpa RT/RW yang menjangkau hingga
tingkat kecamatan, kelurahan, alih fungsi lahan di tingkat keluarga tak
bisa dikontrol. Satu demi satu akhirnya alih fungsi terjadi masif,”
tandas Guru Besar Politik Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB),
Endriatmo Sutarto (Sinar Harapan, 28 Juli 2012).
Kasus paling menghebohkan ialah mogok
kerja para pengrajin tempe (25-27 Juli 2012) silam. Akibat melonjaknya
harga kedelai dari Rp5.400/kg ke kisaran Rp8.000/kg. Ternyata sebagai
bangsa (penggemar) tempe, Indonesia masih mengimpor kedelai. Sepanjang
2011, impor kedelai mencapai 2,08 juta ton. Nominalnya setara dengan
1,24 miliar US$. Pun 1,7 juta ton kedelai dari total tersebut diimpor
dari Amerika Serikat (Toto Subandriyo:2012).
Tatkala produksi di Midwest US
anjlok akibat kekeringan panjang, harga komoditas tersebut melonjak
drastis di pasaran internasional. Sedangkan, produksi kedelai dalam
negeri hanya dapat memenuhi 40 persen kebutuhan, yakni sekitar 870 ribu
ton.
Selama ini, petani lokal memang enggan
menanam kedelai. Kenapa? Karena tak ada untungnya, bahkan sampai tekor.
Biaya untuk menanam kedelai di lahan 1 hektar mencapai Rp8 juta. Agar
bisa BEP (break even point) harga per kilo harus (minimal) Rp5.333/kg. Tapi di pasaran dalam negeri, kedelai lokal hanya dihargai Rp4.000 per kg.
Insiden kenaikan harga kedelai ternyata
bukan kali pertama terjadi. Pada 14 Januari 2008 silam Istana Negara
dikepung ribuan pengrajin tempe dari pelbagai daerah di Indonesia.
Mereka menuntut SBY menstabilkan harga kedelai. Empat tahun berselang,
krisis kedelai terulang kembali. Artinya, ibarat keledai - rezim
penguasa jatuh ke lubang yang sama (hanya) karena masalah tempe.
Ironisnya, solusi yang diambil lagi-lagi
bersifat instan. Pemerintah meniadakan bea masuk impor yang semula 5
%. Keran impor kedelai dari luar negeri dibuka lebar-lebar. Memang
kelangkaan dan melonjaknya harga kedelai teratasi, namun perlu
diketahui, bahkan negara-negara maju seperti Jepang dan Uni Eropa pun
sangat protektif terhadap ancaman neoliberalisasi. Terutama terkait
pengadaan pangan dan hajat hidup petani lokalnya.
Dalam konteks ini, kedaulatan pangan di
Indonesia ibarat mimpi di siang bolong. Pun ketergantungan pada pihak
asing kian terpancang erat. Alhasil, nasib petani lokal kian
terabaikan. Kali ini kedelai, lain waktu bisa jadi merambah jagung,
padi, dan produk-produk pertanain lainnya.
Padahal menurut Ketua Umum Aliansi untuk
Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, Indonesia memiliki 800 spesies
yang bisa digunakan sebagai sumber pangan. Rinciannya 77 jenis sumber
karbohidrat, 75 jenis sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis
buah-buahan, 232 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 116 jenis
rempah-rempah dan sisanya bumbu-bumbuan.
Produksi
Produksi
Seyogianya, pemerintah lebih bijak dan
visoner. Sepakat dengan pendapat Siswono Yudho Husodo, solusinya ialah
peningkatan produksi dalam negeri.
Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tersebut memberi contoh konkrit.
Indonesia merupakan produsen CPO (minyak kelapa sawit mentah). Alhasil,
kita tidak pernah menghadapi gejolak kenaikan harga minyak goreng di
pasaran. Bahkan mampu mengekspor ke luar negeri.
Contoh lainnya lada. Indonesia juga
merupakan produsen Lada. Tak heran dahulu para penjajah melirik
kepulauan Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Saat itu, harga emas
kalah jauh dari tumbuhan beraroma wangi dan berasa kuat seperti Adas,
Andaliman, Asam jawa, Jintan , Kapulaga, Kencur, Ketumbar, Kulit manis
(kayu manis), Kunir, Lada, Laurel (salam sebrang) , Lempuyang,
Lengkuas, Mustar, Pala, Pandan wangi, Salam, Selasih (basil), Serai,
Suji, Temu giring, Temu hitam, Temu kunci, Temu lawak, Temu putri, Temu
rapet, Vanili, Wijen, dll (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Rempah-rempah).
Ironisnya, pengampu kebijkan publik lupa
akan potensi besar tersebut. Mereka tidak serius mengatasi persoalan
pangan. Negara justru melanggengkan ketergantungan pangan pada
mekanisme pasar bebas. Konsekuensinya, bila gejolak harga terjadi di
level internasional otomatis langsung berimbas di tingkatan nasional
bahkan lokal. Lagi-lagi rakyat kecillah yang menjadi korban.
Akhir kata, ketakutan berlebih pada WTO (World Trade Organization)
membuat pemerintah setengah hati melindungi rakyatnya sendiri.
Alih-alih mengimpor dari luar negeri, lebih baik dana tersebut dipakai
untuk memberi insentif dan subsidi bagi para petani. Sehingga mereka
bisa memperoleh bibit unggul, pupuk, alsintan, dll. Dalam konteks ini,
niat dan kemauan politik (political will) yang pro rakyat menjadi urgen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar