Opini Publik ini dimuat di Jogja-Jateng Pos, Sabtu/25 Agustus 2012
Mahkamah
Agung (MA) mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha
Berliana Tobing dalam kasus Anand Krishna. Perkara tersebut bernomor
691 K/PID/2012. Majelis Hakim yang diketuai Zaharuddin dengan hakim
anggota Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul membacakannya pada 24 Juli
2012 silam.
Pada hemat penulis, keputusan ini sekadar bermotif benefit of the doubt
alias mengambil untung dari keragu-raguan. Dalam akun twitter
@mashikam, AS Hikam pun tajam mengkritisi, “Putusan MA yang absurd,
menghukum Pak Anand Krishna, sangat memalukan dan memilukan, membuat
sistem peradilan Indonesia makin jorok tanpa nurani.”
Lebih
lanjut, Menristek pada era mendiang Gus Dur itu menambahkan di
situsnya, “Saya sepenuhnya mendukung upaya Pak Anand dan kawan-kawan
untuk membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional. Putusan MA yang
mengabulkan kasasi JPU, dan menghukum beliau 2,5 tahun penjara, bagi
saya adalah sebuah pelecehan terhadap hukum dan keadilan (travesty of law and justice).”
Jika
putusan bebas kemudian malah dibatalkan dan dihukum, padahal sudah
terbukti prosesnya penuh rekayasa, maka tidak ada lagi kredibilitas dan
kehormatan peradilan di negeri ini. Kini saatnya peradilan
internasional yang mengujinya, dan saya sangat yakin putusan MA akan
dipersoalkan dan dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak
asasi Pak Anand.”
(http://www.mashikam.com/2012/08/putusan-ma-terhadap-pak-anand-krishna.html).
Menyikapi
kasasi atas vonis bebas tersebut, Komunitas Pecinta Anand Ashram
(KPAA) mengaku sangat terkejut. Kenapa? Karena putusan bebas diketuk
oleh hakim perempuan Albertina Ho (22 November 2011). Srikandi hukum
tersebut dikenal kredibel berkat integritas dan profesionalitasnya
selama ini.
Selain itu, Mantan
Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra pun menandaskan bahwa
kewenangan mengajukan banding atau kasasi atas putusan bebas itu
inkonstitusional. Karena Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas.”
Dalam akun twitter
@yusrilihza-Mhd Yusril menulis, “Kasasi putusan bebas Anand Krishna,
sekali lagi merisaukan saya, KUHAP sudah sangat jelas mengatur putusan
bebas tak bisa dikasasi.” Senada dengan pendapat Todung Mulya Lubis
di akun twitter @TodungLubis, “Untuk putusan bebas murni tak ada
kasasi. Kalaupun ada kasasi demi hukum, ini adalah deviasi dan tidak
lazim.”
Alhasil, pihak pengacara
dan keluarga bertekad melayangkan PK (Peninjauan Kembali) dan membawa
kasus ini ke Mahkamah Internasional. Menurut Prashant, putra Anand,
upaya ini terpaksa ditempuh karena hukum yang berlaku di Indonesia
masih belum bisa dipercaya.
Salah satu dukungan berasal dari Humanitad - http://www.humanitad.org/blog/?m=201208.
Pendiri LSM pembela HAM sedunia ini, Sacha Stone membacakan pernyataan
sikapnya di Monumen Bajra Renon, Denspasar, Bali pada Senin, 6
Agustus 2012. (Sumber:
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/08/suara-dari-bali-untuk-keadilan-dan-hak-asasi-manusia-ham/)
Ringkih
Sejak
dalam proses penyelidikan, kasus yang menjerat Anand Krishna memang
kontroversial dan kental aroma rekayasa. Menurut analisis Pakar hukum
pidana Fakultas Hukum (FH) UGM, Yogyakarta, Prof. Dr, Edward Omar
Sharif Hiariej, dari segi formil maupun materiil tidak bisa terpenuhi.
Sehingga jika kasus ini tetap diteruskan, ia yakin 99% adalah
rekayasa.
Dari segi formil, secara
terperinci Edward memaparkan Anand dijerat dengan pasal 290 ayat 1
KUHP dan pasal 294 ayat 2 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Padahal
sejatinya kalau orang paham hukum, pemilihan pasal itu sangat lemah.
Sebab pasal tersebut menyatakan ancaman hukuman 7 tahun penjara bagi
orang yang melakukan tindakan cabul pada orang yang pingsan atau tidak
berdaya. Namun faktanya, dalam persidangan Tara mengaku sadar saat
(dugaan) pelecehan itu terjadi.
Kemudian
secara materiil, lebih ringkih lagi. Pasalnya, ada ketentuan
menghadirkan minimal 2 orang saksi. Tapi sampai syarat ini saja tidak
terpenuhi. Karena yang berbicara hanya Tara. Kemudian temannya
mengatakan lagi ada teman lain yang juga dilecehkan. Namun semua
keterangan itu tidak saling terkait. Jadi sama dengan gosip.
Ironisnya, keterangan yang hanya katanya dapat dijadikan fakta hukum
di negeri yang telah 67 tahun merdeka ini.
Tanpa
tedeng aling-aling, Prof. Eddy, nama akrab beliau, mensinyalir ada
upaya sistematis untuk menyingkirkan Anand Krishna. Sebab ini adalah
kali ketiga Anand dikriminalisasi sedemikian rupa. Pertama, tahun 2000 soal penodaan agama yang kemudian tidak terbukti karena telah dikuatkan pernyataan dari tokoh-tokoh Islam. Kedua,
tahun 2005 tentang penipuan uang sebesar Rp150 juta yang juga tidak
ada bukti dan akhirnya dicabut kembali oleh pelapor (Sumber:
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3815).
Romo
Franz Magnis Suseno S.J menyoroti dari perspektif lain. Tuduhan
pelecehan seksual yang dialamatkan kepada Anand Krishna hanya
pengalihan dari sebuah skenario besar. Tujuannya untuk menjatuhkan
buah pikiran tokoh spiritual lintas agama itu.
Lebih
lanjut, Romo Magnis menilai proses pengadilan atas buah pikiran Anand
Krishna tidak sepantasnya dilakukan di sebuah negara yang menjunjung
tinggi pluralisme. Hendaknya para penegak hukum memproses perkara ini
sesuai dengan potokan-patokan keadilan. Selain itu, di dalam
sidang-sidang pengadilan, ia mempertanyakan kenapa lebih banyak
dipersoalkan ajaran dan tulisan Anand Krishna. Baginya, itu sebuah
kekurangajaran yang luar biasa.
Beliau
menuturkan bahwa proses pengadilan terhadap Anand tidak adil, wajar,
dan etis. Romo menghimbau kepada para hakim supaya mereka tidak
melecehkan hukum dan menjalankan konspirasi. Yang menjadi objek
perkara ini kini ialah sosok Anand Krishna dengan spiritualitasnya,
Anand Krishna merupakan sosok penting dalam era keterbukaan,
kemanusiaan, dan pluralisme di negara ini (Sumber:
http://freeanandkrishna.com/in/) .
Mendasar
Pada
hakikatnya, masalah Anand Krishna ini bukan lagi masalah pribadi,
tapi adalah hal yang mendasar. Tentu kalau terkait dengan (dugaan)
pelecehan seksual, mungkin banyak yang mengambil jarak, termasuk media
massa. Pemberitaan sebatas permukaan. Sehingga perlu investigasi
lebih dalam. Sejatinya, pokok permasalahannya bukan isu seksis
tersebut, melainkan pengadilan terhadap pemikiran.
Padahal
pengadilan terhadap pemikiran seseorang tidak boleh terjadi. Johannes
Hariyanto SJ, yang akrab disapa dengan Romo Hary, mengatakan hal
tersebut di sekretariat Indonesian Conference on Religious and Peace
(ICRP) pada 15 April 2011. Seperti yang dilaporkan oleh Chris Poerba
dalam reportasenya, Romo Hary ialah salah seorang dari narasumber yang
menyatakan pandangannya dalam konferensi pers bertajuk, “Suara
Keadilan dari Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat - Pemikiran Tidak
Seharusnya Diadili dan Dikriminalisasi” (Sumber:
http://v2.icrp-online.org).
Kasus
yang berlangsung selama 2 tahun lebih ini juga diwarnai pergantian
majelis hakim oleh ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
(Jaksel). Kenapa? Karena ketua hakim Hari Sasangka tertangkap kamera
terlibat hubungan tidak wajar dengan seorang saksi bernama Shinta
Kencana Kheng di luar persidangan. Yang bersangkutan kemudian dimutasi
ke Ambon dan terkena hukuman disiplin nonpalu.
Dari
rekaman pengadilan terungkap bahwa hanya 10% membahas ihwal pelecehan
seksual. Sedangkan, 90% lainnya ialah tentang pemikiran, aktivitas,
dan buku-buku Anand Krishna. Tapi memang yang lebih empuk (baca: laku)
diberitakan di media selama ini semata isu pelecehan seksualnya saja
(simak videonya di
http://www.youtube.com/watch?v=qCmh-mbqW3I&feature=related).
Dalam
konteks ini, penulis bersepakat dengan pendapat Romo Sapto Rahardjo.
Ketua Paguyuban Tri Tunggal, Yogyakarta dan Gerakan Moral Rekonsiliasi
Pancasila (GMRP) tersebut mengatakan bahwa kasus Anand Krishna juga
sering dialami para tokoh yang memperjuangkan kebenaran, kebangsaan,
dan menegakkan Pancasila. Sebab, ada pihak-pihak yang merasa terancam
dengan pergerakan para tokoh tersebut. Polanya tetap sama, mereka
merekayasa dan mensponsori suatu kasus untuk menjatuhkan dan menghambat
langkah perjuangan. Tokoh-tokoh itu dibenturkan dengan masalah hukum
yang sudah direkayasa sebelumnya.
Pungkasnya,
menyitir tesis A.S Hikam pasca vonis bebas dibacakan pada 22 November
2011, “Kendati negeri ini sudah berada dalam sebuah sistem demokrasi
dan reformasi, tetapi fitnah dan konspirasi yang diarahkan kepada para
pejuang demokrasi dan hak-asasi manusia tidak akan pernah berhenti.
Hanya jika peradilan benar-benar menegakkan keadilan serta bebas dari
campur tangan pihak-pihak vested interest saja, maka tokoh-tokoh pejuang seperti Pak Anand Krishna dapat dilindungi dari fitnah.” Salam Keadilan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Koresponden Yayasan Anand Ashram (Berafiliasi dengan PBB, 2006) tinggal di Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar