Agustus 15, 2012

Memaknai Kemerdekaan secara Jenaka


Dimuat di Koran Jakarta, 16 Agustus 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/98362

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi
1345085735648583538

Judul: Merdeka Dalam Bercanda
Penulis: Pandji Pragiwaksono
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: xxiv + 192 halaman
ISBN: 9786028811774
Harga: Rp59.000

Komedi diperlukan setiap orang. Kenapa? Karena tawa memfasilitasi manusia sejenak mengendurkan sel-sel syaraf. Dalam film Laughology (2009) terungkap pula bahwa tertawa terbahak-bahak merupakan obat stres. Bahkan menurut riset para ilmuwan, 1 menit gelak tawa lepas setara manfaatnya dengan 20 menit olahraga ringan.

Selain itu, tawa juga berdimensi sosial. Dewasa ini, sebuah genre dagelan segar marak beredar. Kritik pedas terhadap penguasa diteriakkan secara lantang, cerdas, dan jenaka. Menurut Pandji, canda ialah hiburan bagi kaum tertindas. Secara satir, rapper hip-hop tersebut menandaskan bahwa rakyat butuh (ter)tawa agar tidak terus-menerus menangis (hlm 44).

Merdeka Dalam Bercanda merupakan buku kedua Pandji Pragiwaksono. Penyiar radio HRC (Hard Rock CafĂ©) ini pernah menulis buku laris bertajuk Nasional.Is.Me (2011). Pengusaha pakaian basket tersebut juga menggelar acara Stand Up Comedy bertema, “Bhinneka Tunggal Tawa” di Gedung Usmar Ismail, Jakarta. Cita-cita pelatih public speaking dan presenting ini layak diacungi jempol. Ia berharap Indonesia tersembuhkan lukanya oleh canda. Sehingga segenap anak bangsa kian dewasa dan mau bersatu-padu demi Ibu Pertiwi.

Lewat buku ini, Pandji mengungkap pula kisah gerilya bersama para sahabat membangkitkan Stand Up Comedy (SUC) di bumi Nusantara tercinta. Mereka bertekad membongkar sterotip bahwa genre banyolan ini berasal dari barat. Secara gamblang, ia mengklarifikasi, “SUC sekadar format. Sedangkan, isinya sarat muatan lokal dan sangat nasionalis!”

Pandji memberi contoh nyata dari kiprah Jogja Hip-hop Foundation (JHF). Genre musik dari Amerika berhasil mereka racik sedemikian rupa dengan lirik berbahasa Jawa sehingga bernuansa etnik. Alhasil, musiknya kian akrab di telinga pendengar. Selain itu,  syair yang didendangkan pun merupakan potret keseharian orang Indonesia (hlm 187).

Buku ini membuka cakrawala wawasan pula. Ternyata istilah Stand Up di depan kata Comedy berbeda jauh dari pemaknaan yang ada di benak. Itu bukan literal berarti “berdiri”, melainkan lebih dalam maknanya, yakni sebagai “keberanian menentukan sikap terkait realitas sosial di sekitar kita.” Misalnya dalam bahasa Inggris lazim dikatakan, “He stood up for what is right”. Artinya, “Ia berpihak kepada yang benar.”

“Merdeka Dalam Bercanda” terdiri 25 bab. Pilihan judulnya mirip jargon-jargon dalam masa darurat militer. Antara lain, “Serangan Pertama (halaman 8)”, Bergerilya di Kotamu (halaman 28)”, “Belajar dari Para Veteran (halaman 50)”, “Kemenangan Pertama (halaman 63)”, “Musuh dalam Selimut (halaman 110)”, “Teknik Bertarung (halaman 154),” dll.

Misalnya dalam bab “Menjadi yang Terbaik (halaman 164)”.  Pandji menganalisis penyebab utama orang enggan berbicara di depan publik. Yakni karena fear of rejection alias ketakutan ditolak. Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang comic (praktisi SUC), penolakan itu berupa di-cuekin, penonton ngobrol sendiri, di-ketusin, dingin, garing, tidak responsif, dan yang paling parah disuruh turun dari panggung. Solusinya sederhana, harus percaya diri (PD).

Lantas, bagaimana agar menjadi lebih PD? Menurut penulis, ada 2 cara. Pertama, 3 T (Tanya, Temukan, Tahan) hot spot (titik panas) di deretan bangku para penonton. Mereka ialah hadirin yang responsif dan murah tertawa. Kedua, lakukan sesering mungkin latihan public speaking kapanpun dan dimanapun.

Dengan membiasakan diri berbicara di depan orang banyak, otomatis jam terbang bertambah pula. Dalam konteks ini, rasa grogi terbanding terbalik dengan kualitas kepercayaan diri. Pandji menandaskan bahwa tidak ada jalan pintas menuju sukses. Resepnya 3 hal, kerja keras, disiplin, dan sabar (halaman 173).

Sejak masih duduk di bangku SMA Kolese Gonzaga Jakarta, Pandji suka sekali berbicara di depan kelas. Terutama, saat jam kosong akibat guru absen mengajar. Ia biasa meng-impersonate alias meniru gesture/gerak tubuh, gaya bicara, kata-kata khas guru-gurunya. Mirip seperti Butet Kertaradjasa yang piawai meng-impersonate gaya bicara para presiden RI.

Lewat buku ini Pandji mengakui bahwa tokoh panutannya ialah Chris Rock. Beliau merupakan pemegang rekor stand up comedy tour dalam sejarah SUC di dunia. Lewat tur “Kill the Messenger” Chris Rock telah berkeliling di 4 benua, 8 negara dalam 141 pertunjukan. Jumlah hadirin membludak sampai 554.781 orang lebih. Semua rela membayar mahal untuk tertawa bersama (halaman 63).

Buku setebal 192 halaman ini dapat menjadi penyembuh luka sosial dan sarana cermin diri. Komedi ibarat tank ampibi untuk melintasi rawa gelap bawah sadar. Sepakat dengan pendapat Pandji, ”Banyolan sesungguhnya merupakan pembawa kebenaran. Kebenaran yang menyakitkan. Kebenaran yang perlu diangkat ke permukaan. Kebenaran yang begitu pahit sehingga tanpa sadar selalu dihindari. Tertawa dalam canda merupakan obat bagi bangsa Indonesia.” Merdeka!

(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: