Agustus 18, 2012

Kepelatihan Sepak Bola di Indonesia


Dimuat di BOLA, edisi 15-19 Agustus 2012

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi

Di lihat dari segi fisiologis alias postur tubuh, para pemain sepakbola Indonesia lebih mirip dengan perawakan pemain Brazil dan Spanyol. Relatif mungil dan mengandalkan kecepatan (speed). Secara kolektif, gaya tiki-taka (tik-tak) dan goyang samba lebih sesuai ketimbang model kick and rush ala Inggris.

Tim nasional (Timnas) Garuda pernah menerapkan model permainan berbekal kelincahan dan kecekatan pada 1975. Saat itu, Ketua PSSI Bardosono mengontrak Wiel Coerver untuk melatih timnas menghadapi turnamen Pra-Olimpiade Montreal 1980. Coerver terkenal dengan teknik kappen en draiinen (mengocek bola untuk melewati hadangan lawan).

Hasilnya, Timnas masuk final menghadapi Korea Utara di Stadion Utama Senayan (saat itu namanya belum Stadion Gelora Bung Karno, Senayan). Walau akhirnya takluk melalui adu penalti. Prestasi lainnya pada 1979, Wiel Coerver mengantar timnas ke laga final Sea Games di Jakarta. Tapi kembali menyerah kalah dari Malaysia dengan skor 0-1.

Kendati demikian, Coever meninggalkan satu warisan abadi. Yakni berupa buku setebal 196 halaman. Panduan praktis untuk program pembinaan usia dini. Versi bahasa Indonesianya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (Sepak Bola, Program Pembinaan Pemain Ideal:1985). Tak banyak pelatih yang mendokumentasikan materi pelajaran di lapangan hijaunya secara tertulis. Pun menyebarluaskannya kepada publik.

Menurut Kadir Jusuf pada bagian kata pengantar, Coerver mulai membuat corat-coret dan draft sejak menangani Niac Mitra. Selama berada di Surabaya, setiap pagi ia berlatih sendiri mendemontrasikan gerakan-gerakan tertentu. Kemudian baru teknik itu dieksperimenkan dengan pemain-pemain muda Niac Mitra.

Hebatnya, tak kurang dari 20 negara minta ijin untuk menerbitkan ulang buku Coerver. Antara lain Jerman Barat, Prancis, Belgia, Finlandia, Norwegia, Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia, Irlandia, Israel, Jepang, Kolombia, Italia, dan Spanyol. Bila timnas negara-negara tersebut kini menuai sukses di kancah dunia. Benihnya telah ditanam sejak 30 tahun silam. Kuncinya ialah program pembinaan usia dini.

Teknik

Ketua seksi sepakbola Amatir dari KNVB, M.W.J. Kastermans merekomendasikan bacaan di atas sebagai salah satu referensi berharga. Menurutnya, buku Coerver dapat mengangkat sepak bola Indonesia seperti di era 1970-an. Pemain sepak bola berusia muda perlu membaca dan mempraktikkan panduan di dalamnnya. Baik saat latihan maupun ketika berlaga di pertandingan resmi.

Ada 7 tahapan pokok dalam pembinaan usia dini. Penguasaan Gerak Tubuh dan Bola, Mengendalikan Lawan, Menerobos Cegatan Lawan, Menciptakan Peluang dan Penyelesaiannya, Mutu Kondisi, Kemampuan Bertahan, dan Lari Dengan dan Tanpa Bola. Pada bagian Menciptakan Peluang dan Penyelesaiannya dipaparkan bagaimana cara menembak ke gawang, menyundul ke gawang, aksi perorangan, dan permaian (game). Lengkap dengan foto-foto dari penempatan posisi, mengambil ancang-ancang, dan melakukan eksekusi.

Yang menarik ialah refleksi Coerver. Ia bertanya-tanya kenapa diadakan latihan perseorangan hanya untuk para penjaga gawang. Sedangkan semua pemain lain di lapangan sesungguhnya membutuhkan teknik individu lebih banyak. Tapi ia tak bisa berbuat banyak, karena sebagai pelatih ia tak pernah mendapat pelajaran pendampingan perseorangan (cura personalis).

Selain itu, menurutnya remaja muda jangan dipersulit dengan segala macam latihan terarah serta petunjuk-petunjuk rumit. Biarkan mereka bersepak bola sesuka hati, biarkan mereka menggocek bola karena tanpa sadar mereka pun belajar menguasai bola. Biarkan mereka bermain dalam game kecil, karena mereka berkesempatan banyak menendang bola. Sedangkan dalam pertandingan sebelas lawan sebelas, mereka jarang sekali dapat kontak dengan bola.

Untuk para pemain profesional, Coerver menyayangkan pemain anggota klub sepak bola yang bergabung sejak usia 18 tahun kemudian 30 tahun kemudian gantung sepatu. Tapi walau sudah mendapat pendampingan dari pelatih bersertifikat resmi, 9 dari 10 kasus terbukti masih lemah dalam duel di udara. Pemain belum mampu melewati lawannya secara elegan. Selain itu, kemampuan teknisnya juga masih lemah.

Padahal supporter membayar tiket menonton pertandingan secara langsung di stadion untuk menikmati demonstrasi kualitas teknik dan kreatifitas pemain. Saat ini, secara fisik pemain memang lebih kuat, mereka mampu bertahan 90 menit tanpa kedodoran staminanya. Namun, kemampuan teknik jauh dari memadai dan perlu lebih dibenahi. Sehingga pemain tidak terpaksa mengoper bola ke temannya setiap kali dihadang lawan. Padahal rekannya juga tak tahu harus berbuat apa.

Otokritik

Secara otokritik, Coerver memberi masukan kepada rekan-rekan sesama pelatih. Pemain diberi instruksi menyerang secara apik dan efektif, namun tidak diberi latihan khusus bagaimana melewati lawan. Yang ada ialah para pemain berlari-lari berkelompok, mengingatkan pada segerombolan ternak.

Wiel Coerver memang blak-blakan. Ia tidak suka berdiplomasi dan tidak pernah menyembunyikan pendapatnya ketika berdialog. Entah itu kepada pemainnya di lapangan maupun kepada rekan-rekan wartawan saat konferensi pers. Ia mengingatkan kita pada sosok Alfred Riedl (pelatih Timnas 4 Mei 2010-13 Juli 2011). Pelatih bertangan dingin ini terdepak karena konflik dualitas PSSI.

Akhir kata, seruan rekonsiliasi begitu santer, tapi dianggap angin lalu. Menyitir pendapat Coerver, barangkali para pengurus teras sepak bola nasional tak hanya harus dinasehati agar rukun. Mereka juga perlu belajar teknik berdamai dengan diri sendiri dan sesama sebangsa setanah air. Bravo sepak bola Indonesia!

Sumber foto: http://bolagoalnet.blogspot.com/2011/04/wiel-coerver-peletak-fondasi-pembinaan.html
13453003051486639141
Wiel Coerver (3 Desember 1924 - 22 April 2011) 

Tidak ada komentar: