Dimuat di BOLA, edisi 15-19 Agustus 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi
Di
lihat dari segi fisiologis alias postur tubuh, para pemain sepakbola
Indonesia lebih mirip dengan perawakan pemain Brazil dan Spanyol.
Relatif mungil dan mengandalkan kecepatan (speed). Secara kolektif, gaya tiki-taka (tik-tak) dan goyang samba lebih sesuai ketimbang model kick and rush ala Inggris.
Tim
nasional (Timnas) Garuda pernah menerapkan model permainan berbekal
kelincahan dan kecekatan pada 1975. Saat itu, Ketua PSSI Bardosono
mengontrak Wiel Coerver untuk melatih timnas menghadapi turnamen
Pra-Olimpiade Montreal 1980. Coerver terkenal dengan teknik kappen en draiinen (mengocek bola untuk melewati hadangan lawan).
Hasilnya,
Timnas masuk final menghadapi Korea Utara di Stadion Utama Senayan
(saat itu namanya belum Stadion Gelora Bung Karno, Senayan). Walau
akhirnya takluk melalui adu penalti. Prestasi lainnya pada 1979, Wiel
Coerver mengantar timnas ke laga final Sea Games di Jakarta. Tapi kembali menyerah kalah dari Malaysia dengan skor 0-1.
Kendati
demikian, Coever meninggalkan satu warisan abadi. Yakni berupa buku
setebal 196 halaman. Panduan praktis untuk program pembinaan usia
dini. Versi bahasa Indonesianya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (Sepak Bola, Program Pembinaan Pemain Ideal:1985).
Tak banyak pelatih yang mendokumentasikan materi pelajaran di
lapangan hijaunya secara tertulis. Pun menyebarluaskannya kepada
publik.
Menurut Kadir Jusuf pada
bagian kata pengantar, Coerver mulai membuat corat-coret dan draft
sejak menangani Niac Mitra. Selama berada di Surabaya, setiap pagi ia
berlatih sendiri mendemontrasikan gerakan-gerakan tertentu. Kemudian
baru teknik itu dieksperimenkan dengan pemain-pemain muda Niac
Mitra.
Hebatnya, tak kurang dari 20
negara minta ijin untuk menerbitkan ulang buku Coerver. Antara lain
Jerman Barat, Prancis, Belgia, Finlandia, Norwegia, Swedia, Amerika
Serikat, Inggris, Skotlandia, Irlandia, Israel, Jepang, Kolombia,
Italia, dan Spanyol. Bila timnas negara-negara tersebut kini menuai
sukses di kancah dunia. Benihnya telah ditanam sejak 30 tahun silam.
Kuncinya ialah program pembinaan usia dini.
Teknik
Ketua
seksi sepakbola Amatir dari KNVB, M.W.J. Kastermans merekomendasikan
bacaan di atas sebagai salah satu referensi berharga. Menurutnya,
buku Coerver dapat mengangkat sepak bola Indonesia seperti di era
1970-an. Pemain sepak bola berusia muda perlu membaca dan
mempraktikkan panduan di dalamnnya. Baik saat latihan maupun ketika
berlaga di pertandingan resmi.
Ada 7
tahapan pokok dalam pembinaan usia dini. Penguasaan Gerak Tubuh dan
Bola, Mengendalikan Lawan, Menerobos Cegatan Lawan, Menciptakan
Peluang dan Penyelesaiannya, Mutu Kondisi, Kemampuan Bertahan, dan
Lari Dengan dan Tanpa Bola. Pada bagian Menciptakan Peluang dan
Penyelesaiannya dipaparkan bagaimana cara menembak ke gawang,
menyundul ke gawang, aksi perorangan, dan permaian (game). Lengkap dengan foto-foto dari penempatan posisi, mengambil ancang-ancang, dan melakukan eksekusi.
Yang
menarik ialah refleksi Coerver. Ia bertanya-tanya kenapa diadakan
latihan perseorangan hanya untuk para penjaga gawang. Sedangkan semua
pemain lain di lapangan sesungguhnya membutuhkan teknik individu
lebih banyak. Tapi ia tak bisa berbuat banyak, karena sebagai pelatih
ia tak pernah mendapat pelajaran pendampingan perseorangan (cura personalis).
Selain
itu, menurutnya remaja muda jangan dipersulit dengan segala macam
latihan terarah serta petunjuk-petunjuk rumit. Biarkan mereka
bersepak bola sesuka hati, biarkan mereka menggocek bola karena tanpa
sadar mereka pun belajar menguasai bola. Biarkan mereka bermain dalam game
kecil, karena mereka berkesempatan banyak menendang bola. Sedangkan
dalam pertandingan sebelas lawan sebelas, mereka jarang sekali dapat
kontak dengan bola.
Untuk para
pemain profesional, Coerver menyayangkan pemain anggota klub sepak
bola yang bergabung sejak usia 18 tahun kemudian 30 tahun kemudian
gantung sepatu. Tapi walau sudah mendapat pendampingan dari pelatih
bersertifikat resmi, 9 dari 10 kasus terbukti masih lemah dalam duel
di udara. Pemain belum mampu melewati lawannya secara elegan. Selain
itu, kemampuan teknisnya juga masih lemah.
Padahal supporter membayar
tiket menonton pertandingan secara langsung di stadion untuk
menikmati demonstrasi kualitas teknik dan kreatifitas pemain. Saat
ini, secara fisik pemain memang lebih kuat, mereka mampu bertahan 90
menit tanpa kedodoran staminanya. Namun, kemampuan teknik jauh dari
memadai dan perlu lebih dibenahi. Sehingga pemain tidak terpaksa
mengoper bola ke temannya setiap kali dihadang lawan. Padahal
rekannya juga tak tahu harus berbuat apa.
Otokritik
Secara
otokritik, Coerver memberi masukan kepada rekan-rekan sesama
pelatih. Pemain diberi instruksi menyerang secara apik dan efektif,
namun tidak diberi latihan khusus bagaimana melewati lawan. Yang ada
ialah para pemain berlari-lari berkelompok, mengingatkan pada
segerombolan ternak.
Wiel Coerver
memang blak-blakan. Ia tidak suka berdiplomasi dan tidak pernah
menyembunyikan pendapatnya ketika berdialog. Entah itu kepada
pemainnya di lapangan maupun kepada rekan-rekan wartawan saat
konferensi pers. Ia mengingatkan kita pada sosok Alfred Riedl (pelatih
Timnas 4 Mei 2010-13 Juli 2011). Pelatih bertangan dingin ini
terdepak karena konflik dualitas PSSI.
Akhir
kata, seruan rekonsiliasi begitu santer, tapi dianggap angin lalu.
Menyitir pendapat Coerver, barangkali para pengurus teras sepak bola
nasional tak hanya harus dinasehati agar rukun. Mereka juga perlu
belajar teknik berdamai dengan diri sendiri dan sesama sebangsa
setanah air. Bravo sepak bola Indonesia!
Sumber foto: http://bolagoalnet.blogspot.com/2011/04/wiel-coerver-peletak-fondasi-pembinaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar