Jaksa Agung Basrief Arief menjanjikan bahwa institusinya tidak akan mengajukan kasasi terhadap perkara-perkara rakyat kecil, yang diputus bebas.
“Saya
telah instruksikan ke depan, terhadap putusan bebas sesuai pasal
67 Jo pasal 224 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukuam Acara Pidana) tidak
dapat diajukan kasasi, kecuali perkara yang merugikan keuangan
negara,” kata Basrief dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR di
Senayan, Senin (18/7/2011).
Basrief
menambahkan dalam waktu dekat, institusinya akan menerbitkan
instruksinya, agar jaksa seluruh Indonesia dapat memahami dan tidak
muncul lagi penanganan perkara-perkara yang melibatkan rakyat kecil,
diperlakukan lagi seperti Prita Mulyasari (Sumber:
http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/07/18/jaksa-agung-janjikan-tak-akan-kasasi-untuk-perkara-rakyat-kecil#.UDHb6AaZwVU)
Kasus
Prita Mulyasari sempat menyedot perhatian masyarakat, pasca Jaksa
Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi terhadap putusan bebas
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur. Bahkan kemudian dikabulkan oleh
Mahkamah Agung (MA). Majelis kasasi yang terdiri dari hakim Imam Harjadi dan Zaharuddin Utama menyatakan ibu 2 anak balita tersebut bersalah dan menghukum 6 bulan penjara dengan percobaan satu tahun penjara.
Satu
majelis hakim lainnya, hakim agung Salman Luthan menghukum bebas
Prita. Saat itu, Imam Harjadi sebagai ketua majelis dan Zaharuddin
Utama hakim anggota. Suara Salman yang menghukum Prita bebas kalah
dalam voting.
Ironisnya, ibarat kata pepatah memang lidah tak bertulang, setahun berselang Jaksa Muda Martha Berliana Tobing jutsru melanggar janji korpsnya sendiri. Ia mengajukan kasasi terhadap putusan bebas Anand Krishna yang dikeluarakan hakim Albertina Ho (22 November 2011). Kemudian majelis kasasi yang terdiri dari Zaharuddin Utama dengan dua hakim agung Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul sepakat mengabulkan kasasi JPU itu.
Dr
Chairul Huda dengan tegas menolak upaya kasasi Jaksa atas putusan
bebas. Kenapa? karena menghilangkan asas keadilan dan kepastian hukum.
“Kasasi
hanya berlaku untuk putusan yang menjatuhkan hukuman, bukan untuk
putusan bebas,” tegas Huda. Karut-marutnya penegakan hukum,
menurutnya, karena semangat para Jaksa untuk menghukum orang, bukan
untuk menegakkan keadilan.
Prof
Muladi, Prof Romli Atmasasmita dan Dr Chairul Huda memang bersepakat
bahwa tindakan jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas (vrijspraak) harus dihentikan karena bertentangan dengan Pasal 67 dan 244 KUHAP.
Ketiganya
mengucapkan hal itu dalam keterangannya sebagai ahli dalam uji materi
yang diajukan Agusrin M Najamuddin, Gubernur non aktif Bengkulu, di
sidang MK petang ini (Rabu, 9 November 2011).
Muladi mengatakan bahwa Yurisprudensi
Mahkamah Agung dalam putusan perkara Raden Sonson Natalegawa tahun
1983 adalah cacat hukum. Natalegawa dibebaskan oleh PN Jakarta Pusat,
namun Jaksa melakukan banding dan kasasi yang diterima oleh Mahkamah
Agung (MA).
Atas putusan itu,
maka Jaksa menganggap ada yurisprudensi boleh banding dan kasasi atas
putusan bebas meskipun bertentangan dengan Pasal 67 dan 244 KUHAP.
Muladi mengatakan putusan MA itu didasarkan atas pendapat Menteri
Kehakiman Ali Said yang mencerminkan pendapat pemerintahan otoriter
Orde Baru.
Di era Reformasi sekarang, kata Muladi, pendapat seperti itu harus ditinggalkan karena bertentangan dengan HAM dan demokrasi.
Prof Romli Atmasasmita menegaskan bahwa praktik pengadilan yang membagi putusan bebas ke dalam bebas murni dan bebas tidak murni, adalah praktik zaman kolonial berdasarkan HIR yang bertolak dari paham “praduga bersalah” dan kedudukan penguasa yang lebih tinggi berhadapan dengan terdakwa, sebagaimana diatur dalam HIR.
Kini KUHAP telah meninggalkan hukum acara kolonial itu dengan mengedepankan asas “praduga tidak bersalah” dan menempatkan negara pada posisi yang sejajar dengan warganegaranya yang dituduh melakukan tindak pidana. Pembagian putusan bebas menjadi dua kategori itu, lanjut Romli, bertentangan dengan KUHAP dan tidak dikenal dalam hukum acara nasional yang harus mengatur segala sesuatunya secara rigit dan pasti.
Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum juga Agusrin mengatakan, kalau permohonannya dikabulkan, maka putusan ini akan mengakhiri kontroversi yang sudah berlangsung 30 tahun tentang boleh tidaknya Jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas.
Di era Reformasi sekarang, kata Muladi, pendapat seperti itu harus ditinggalkan karena bertentangan dengan HAM dan demokrasi.
Prof Romli Atmasasmita menegaskan bahwa praktik pengadilan yang membagi putusan bebas ke dalam bebas murni dan bebas tidak murni, adalah praktik zaman kolonial berdasarkan HIR yang bertolak dari paham “praduga bersalah” dan kedudukan penguasa yang lebih tinggi berhadapan dengan terdakwa, sebagaimana diatur dalam HIR.
Kini KUHAP telah meninggalkan hukum acara kolonial itu dengan mengedepankan asas “praduga tidak bersalah” dan menempatkan negara pada posisi yang sejajar dengan warganegaranya yang dituduh melakukan tindak pidana. Pembagian putusan bebas menjadi dua kategori itu, lanjut Romli, bertentangan dengan KUHAP dan tidak dikenal dalam hukum acara nasional yang harus mengatur segala sesuatunya secara rigit dan pasti.
Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum juga Agusrin mengatakan, kalau permohonannya dikabulkan, maka putusan ini akan mengakhiri kontroversi yang sudah berlangsung 30 tahun tentang boleh tidaknya Jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas.
“Banyak
orang yang akan terbantu dengan putusan itu, seperti Prita Mulyasari
dan terakhir ini Dany dan Randy yang diputus bebas karena dakwaan
melakukan kejahatan menjual IPad tanpa manual bahasa Indonesia,
ternyata tidak terbukti. Namun Jaksa lagi-lagi mengajukan kasasi,” kata
Yusril. (Sumber: http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/11/09/tiga-ahli-hukum-tolak-kasasi-untuk-putusan-bebas#.UDHbq9QmMRc)
Untuk info lebih lanjut tentang Kasus Anand Krishna silakan menghubungi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar