Albertina Ho rela blusukan
turba (turun ke bawah) untuk menginvestigasi lokasi (dugaan) kejadian
perkara pelecehan seksual Anand Krishna terhadap Tara Pradipta Laksmi.
Tepatnya pada tanggal 28 September 2011 di L’ayurveda Jakarta dan 5 Oktober 2011 di One Earth,
Ciawi. Sehingga pada akhirnya srikandi hukum Indonesia itu memutuskan
Anand Krishna tidak bersalah. Vonis bebas dikeluarkan pada 22 November
2012 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Ironisnya,
keputusan yang sudah tepat itu hendak dianulir oleh oknum-oknum penegak
hukum yang sekadar tinggal di menara gading kekuasaan. JPU Martha
Berliana Tobing mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Padahal Putusan
Bebas tidak bisa dikasasi karena bertentangan dengan Pasal 67 dan Pasal
244 UU No. 8 Tentang KUHAP, tidak ada Hukum Negara Beradab mana pun di
dunia ini yang membenarkan kelancangan tersebut.
Parahnya lagi, hakim agung MA yang diketuai Zaharuddin Utama, serta beranggotakan dua hakim agung Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul sepakat
mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum tersebut. Tanpa pernah jeli
membaca apalagi menyelidiki langsung di lapangan. Ternyata ada perkara
orang lain masuk dalam berkas memori kasasi Anand Krishna. Kelalaian ini
bisa menjadi preseden buruk. Dalam arti mencoreng wibawa 8.000 lebih
anggota korps hakim di Indonesia.
Oleh sebab itu:
1. Batalkan memori kasasi Anand Krishna demi tegaknya hukum di tanah air tercinta.
2. Copot dan berhentikan JPU Martha Berliana Tobing, hakim agung Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie, dan Sofyan Sitompul karena para oknum tersebut telah mengkhinati amanah rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar