September 06, 2012

Menafaskan Intimitas Jiwa


Dimuat di Majalah Gita Sang Surya OFM, Vol.7 No.4 edisi Juli-Agustus 2012

1346932168291931860
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi

Judul: Guru Yoga
Penulis: Anand Krishna
Editor:  Gerard Barrie dan Ma Anand Bhagawati
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1/ Februari 2012
Tebal :xxii + 85 halaman
Harga: Rp30.000
ISBN: 978-602-95405-6-7

“Sebelum kamu meminta sesuatu pada Tuhan, berterimakasihlah terlebih dahulu atas apa yang sudah kamu peroleh selama ini.” (Kitab Talmud, B’rachat 30 b, halaman 45)

Tersingkap fakta mengejutkan dalam buku ini. Anand Krishna sempat mendapat tugas dari Sai Baba. Ia harus mewawancarai 300 orang. Semua koresponden memiliki beragam latar belakang sosial. Karena mereka datang dari pelbagai penjuru dunia. Pertanyaannya sederhana, “Apakah waktu kecil kalian pernah diberitahu bahwa Tuhan tak hanya berada di luar diri tetapi juga bersemayam dalam diri?”

Sungguh ironis, tak ada seorang pun ingat pernah diajar demikian. Selama ini manusia cenderung melihat ke luar diri. Ibarat menunjuk dengan jari, telunjuk mengarah ke orang lain, 3 jari lain mengarah ke diri sendiri, dan ibu jari menjadi saksi. Cara efektif mengalihkan perhatian ke dalam dengan menutup mata. Sebab, 70 persen energi keluar dari indera penglihatan.

Tatkala seseorang memejamkan kedua kelopak mata, otomatis fokus mengalir ke dalam relung batin ini. Secara medis hal itu pun dibenarkan. Hormon pineal di batang otak memproduksi enzim endhorpin (morphin alami) dan seretonin. Zat penenang alami ini hanya merembes saat tertidur lelap atau kita berbaring dalam ruangan bercahaya redup.

Penulis buku ini piawai menggunakan metafor. Misalnya, ketika Sai Baba ditanya seorang jurnalis. “Engkau tak mau disebut Guru, tapi tampaknya engkau menikmati penghormatan dari para muridmu, kenapa?”

Jawabannya gamblang, “Itu urusan mereka, urusan saya ialah menjaga kesadaran saya sendiri. Kita semua ibarat ikan yang berenang dalam lautan yang sama. Seekor ikan menundukkan ego di hadapan ikan lainnya, seekor ikan menghormati ikan lainnya, atau mengolok-olok ketololan ikan lain - apa bedanya sih, semua ini urusan bangsa ikan kawan. Mari kita fokus untuk berenang dan hidup, bukannya sibuk membahas urusan ikan lain.” (halaman 17).

Dalam konteks ini, pendapat Romo Mangunwijaya Pr. sungguh relevan. Religiositas memang berkelindan dengan aspek internal. Berupa riak getaran hati nurani dan relasi personal dengan Tuhan. Sehingga wajar kalau prosesnya relatif misterius. Pun menapaskan intimitas jiwa. Semacam cita rasa nan melingkupi totalitas seorang individu. Selain itu, religiusitas juga melampaui ritual dan formalitas. Artinya lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) (Sastra dan Religiositas: 1988).

Dalam buku ini Anand Krishna juga memperkenalkan satu istilah baru. Kita belum menemukannya di kamus Oxford sekalipun. Yakni, kata “egosin” (halaman 5). Tatkala manusia menganggap dirinya bukan apa-apa, itu merupakan “dosa”. Kenapa? Karena manusia ialah ciptaan Tuhan. Bagaimana mungkin Dia Hyang Mahakuasa menciptakan titah yang nir-makna. Seorang sutradara jempolan niscaya menciptakan film berkualitas pula. Senada dengan pendapat pemimpin spiritual kharismatis dari India, Swami Vivekananda, “Dosa terbesar ialah menganggap dirimu sebagai seorang pendosa.”

Sebaliknya, ketika seeorang menganggap dirinya yang terbesar. Ini merupakan “dosa” juga. Kenapa? karena manusia memposisikan diri setara dengan Tuhan. Pertanyaannya, apakah manusia bisa membuat Gunung Everest, atau setidaknya Gunung Merapi saja? Apakah ia bisa mengecat tanaman cabe menjadi merah, atau minimal menciptakan sebulir beras organik? Jika tidak bisa, maka usah menganggap diri kita sebagai yang paling benar. Lantas, memaksakan kehendak kepada orang lain dengan kekerasan. Walau dengan dalih agama sekalipun.

Anand Krishna mengajak kita bercermin pada John Lennon, Marthin Luther King, Jr, dan Mahatma Gandhi, Aung San Suu Kyi, Gus Dur, dll. Sebab, mereka telah menempatkan derajat kemanusiaan di atas kepingan materi. Sheila on 7 menegaskan kembali lewat tembang Khaylila, “Dengan senyummu senjata membeku/Tentara bernyanyi ikuti tingkahmu/Tak ada lagi naluri menguasai/Perlahan berganti naluri berbagi…”

Buku ini dibumbui kisah inspiratif. Sumbernya dari Ultimate Wish Book karya Melanie Calitri Holden. Ia berkisah ihwal putrinya bernama Yana. Suatu hari mereka baru pulang mengantar teman di bandara. Dalam perjalanan di dalam mobil, Yana bertanya, “Kenapa aku tak pernah naik pesawat Bu? Kenapa hanya CJ (nama teman sekelasnya) yang sering naik kapal terbang?”

Sang ibu menjawab, “Hati-hati dengan keinginanmu sayang.” Yana tampak diam sejenak, lalu ia berkata lagi,  
“Aku ingin pergi naik pesawat ke tempat yang menyenangkan, ya aku mau ke Chichago.” “Kenapa ke sana?” tanya ibunya. “Karena Rachel baru dari sana dan katanya kota itu tempat bermain yang asyik.” Lalu, di dasbor depan mobil, sang ibu menemukan sebuah amplop. Ternyata, Yana memenangkan sebuah kuis, ia mendapat tiket gratis terbang dengan pesawat eksekutif ke Chicago (halaman 47).

Pesan implisit kisah di atas meremangkan bulu roma. Orang dewasa sering berdiskusi ihwal keyakinan, kekuatan niat, dan mukzijat. Namun, anak kecil langsung melakoni imannya. Oleh sebab itu, dalam setiap tradisi agama dan kepercayaan, diajarkan agar manusia memiliki jiwa seperti anak-anak, lugu, polos, dan apa-adanya (childlike).

Pada awal buku ini halaman 85, Brunton Paulus (1898-1981) mewawancarai Maharishi Ramana (1879-1950). Dialog legendaris ini pernah dimuat di majalah Peace di Pradesh, India (September 1931) dan dicetak ulang oleh Mountain Path (April 1966) di Ramanasramam. Namun demikian, isinya tetap relevan untuk sidang pembaca di abad 21.

Hurst (nama asli Paul Brunton) adalah seorang filsuf Inggris. Ia suka sekali mengeksplorasi mistisisme Timur. Berikut adalah kutipan dari wawancara bersejarah tersebut. Hurst bertanya, “Apakah perlu untuk berdekatan secara fisik dengan Guru, dan jika demikian, untuk berapa lama?”

Ramana Maharshi menjawab, “Itu tergantung pada kematangan murid. Gunpowder (bubuk mesiu) terbakar dalam sekejap, sementara dibutuhkan waktu untuk menyalakan batubara.” Artinya, sang muridlah yang musti memberdaya diri. Sebab seperti pepatah Zen, “Ketika murid siap, Guru hadir.”

Keunggulan buku ini tak hanya memuat teori semata, tapi menyajikan pula latihan praktis. Ken Wilber (1941 -…), seorang penulis termasyur Amerika berbagi resep rahasia. Filsuf pelopor psikologi Transpersonal (Transpersonal Psychology) itu rajin bangun pagi pada jam 3-5 subuh. Ia bermeditasi selama 1-2 jam, lantas segera bekerja di mejanya sampai jam 1 siang.

Bagaimana teknik meditasinya? Sederhana saja, ibarat memancing di kolam mind (benak). Umpannya ialah pertanyaan, “Siapa/apa aku ini?”. Ketika mencari jawabannya, diri pribadi terlampaui, ia tertelan oleh radiasi Kekosongan. Akhirnya, kesadaran kita beristirahat (sejenak) dalam pelukan Bunda Alam Semesta (halaman 74).

Buku setebal 85 halaman ini dapat menjadi sarana meniti ke dalam diri. Caranya persis dengan kebiasaan ke-8 (almarhum) Stephen R. Covey, “Dengarkan suara hati nuranimu.” Selamat membaca!

Tidak ada komentar: