Dimuat di Majalah Gita Sang Surya OFM, Vol.7 No.4 edisi Juli-Agustus 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi
Judul: Guru Yoga
Penulis: Anand Krishna
Editor: Gerard Barrie dan Ma Anand Bhagawati
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1/ Februari 2012
Tebal :xxii + 85 halaman
Harga: Rp30.000
ISBN: 978-602-95405-6-7
Penulis: Anand Krishna
Editor: Gerard Barrie dan Ma Anand Bhagawati
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1/ Februari 2012
Tebal :xxii + 85 halaman
Harga: Rp30.000
ISBN: 978-602-95405-6-7
“Sebelum kamu meminta sesuatu pada Tuhan, berterimakasihlah terlebih dahulu atas apa yang sudah kamu peroleh selama ini.” (Kitab Talmud, B’rachat 30 b, halaman 45)
Tersingkap fakta mengejutkan dalam buku
ini. Anand Krishna sempat mendapat tugas dari Sai Baba. Ia harus
mewawancarai 300 orang. Semua koresponden memiliki beragam latar
belakang sosial. Karena mereka datang dari pelbagai penjuru dunia.
Pertanyaannya sederhana, “Apakah waktu kecil kalian pernah diberitahu
bahwa Tuhan tak hanya berada di luar diri tetapi juga bersemayam dalam
diri?”
Sungguh ironis, tak ada seorang pun
ingat pernah diajar demikian. Selama ini manusia cenderung melihat ke
luar diri. Ibarat menunjuk dengan jari, telunjuk mengarah ke orang
lain, 3 jari lain mengarah ke diri sendiri, dan ibu jari menjadi saksi.
Cara efektif mengalihkan perhatian ke dalam dengan menutup mata.
Sebab, 70 persen energi keluar dari indera penglihatan.
Tatkala seseorang memejamkan kedua
kelopak mata, otomatis fokus mengalir ke dalam relung batin ini. Secara
medis hal itu pun dibenarkan. Hormon pineal di batang otak memproduksi
enzim endhorpin (morphin alami) dan seretonin. Zat penenang alami ini hanya merembes saat tertidur lelap atau kita berbaring dalam ruangan bercahaya redup.
Penulis buku ini piawai menggunakan
metafor. Misalnya, ketika Sai Baba ditanya seorang jurnalis. “Engkau
tak mau disebut Guru, tapi tampaknya engkau menikmati penghormatan dari
para muridmu, kenapa?”
Jawabannya gamblang, “Itu urusan mereka,
urusan saya ialah menjaga kesadaran saya sendiri. Kita semua ibarat
ikan yang berenang dalam lautan yang sama. Seekor ikan menundukkan ego
di hadapan ikan lainnya, seekor ikan menghormati ikan lainnya, atau
mengolok-olok ketololan ikan lain - apa bedanya sih, semua ini
urusan bangsa ikan kawan. Mari kita fokus untuk berenang dan hidup,
bukannya sibuk membahas urusan ikan lain.” (halaman 17).
Dalam konteks ini, pendapat Romo
Mangunwijaya Pr. sungguh relevan. Religiositas memang berkelindan
dengan aspek internal. Berupa riak getaran hati nurani dan relasi
personal dengan Tuhan. Sehingga wajar kalau prosesnya relatif
misterius. Pun menapaskan intimitas jiwa. Semacam cita rasa nan
melingkupi totalitas seorang individu. Selain itu, religiusitas juga
melampaui ritual dan formalitas. Artinya lebih bergerak dalam tata
paguyuban (gemeinschaft) (Sastra dan Religiositas: 1988).
Dalam buku ini Anand Krishna juga memperkenalkan satu istilah baru. Kita belum menemukannya di kamus Oxford
sekalipun. Yakni, kata “egosin” (halaman 5). Tatkala manusia menganggap
dirinya bukan apa-apa, itu merupakan “dosa”. Kenapa? Karena manusia
ialah ciptaan Tuhan. Bagaimana mungkin Dia Hyang Mahakuasa menciptakan
titah yang nir-makna. Seorang sutradara jempolan niscaya menciptakan
film berkualitas pula. Senada dengan pendapat pemimpin spiritual
kharismatis dari India, Swami Vivekananda, “Dosa terbesar ialah
menganggap dirimu sebagai seorang pendosa.”
Sebaliknya, ketika seeorang menganggap
dirinya yang terbesar. Ini merupakan “dosa” juga. Kenapa? karena
manusia memposisikan diri setara dengan Tuhan. Pertanyaannya, apakah
manusia bisa membuat Gunung Everest, atau setidaknya Gunung Merapi
saja? Apakah ia bisa mengecat tanaman cabe menjadi merah, atau minimal
menciptakan sebulir beras organik? Jika tidak bisa, maka usah
menganggap diri kita sebagai yang paling benar. Lantas, memaksakan
kehendak kepada orang lain dengan kekerasan. Walau dengan dalih agama
sekalipun.
Anand Krishna mengajak kita bercermin
pada John Lennon, Marthin Luther King, Jr, dan Mahatma Gandhi, Aung San
Suu Kyi, Gus Dur, dll. Sebab, mereka telah menempatkan derajat
kemanusiaan di atas kepingan materi. Sheila on 7 menegaskan kembali
lewat tembang Khaylila, “Dengan senyummu senjata membeku/Tentara
bernyanyi ikuti tingkahmu/Tak ada lagi naluri menguasai/Perlahan
berganti naluri berbagi…”
Buku ini dibumbui kisah inspiratif. Sumbernya dari Ultimate Wish Book karya Melanie Calitri Holden. Ia berkisah ihwal putrinya bernama Yana. Suatu hari mereka baru pulang mengantar teman di bandara. Dalam perjalanan di dalam mobil, Yana bertanya, “Kenapa aku tak pernah naik pesawat Bu? Kenapa hanya CJ (nama teman sekelasnya) yang sering naik kapal terbang?”
Buku ini dibumbui kisah inspiratif. Sumbernya dari Ultimate Wish Book karya Melanie Calitri Holden. Ia berkisah ihwal putrinya bernama Yana. Suatu hari mereka baru pulang mengantar teman di bandara. Dalam perjalanan di dalam mobil, Yana bertanya, “Kenapa aku tak pernah naik pesawat Bu? Kenapa hanya CJ (nama teman sekelasnya) yang sering naik kapal terbang?”
Sang ibu menjawab, “Hati-hati dengan
keinginanmu sayang.” Yana tampak diam sejenak, lalu ia berkata lagi,
“Aku ingin pergi naik pesawat ke tempat yang menyenangkan, ya aku mau
ke Chichago.” “Kenapa ke sana?” tanya ibunya. “Karena Rachel baru dari
sana dan katanya kota itu tempat bermain yang asyik.” Lalu, di dasbor
depan mobil, sang ibu menemukan sebuah amplop. Ternyata, Yana
memenangkan sebuah kuis, ia mendapat tiket gratis terbang dengan
pesawat eksekutif ke Chicago (halaman 47).
Pesan implisit kisah di atas meremangkan
bulu roma. Orang dewasa sering berdiskusi ihwal keyakinan, kekuatan
niat, dan mukzijat. Namun, anak kecil langsung melakoni imannya. Oleh
sebab itu, dalam setiap tradisi agama dan kepercayaan, diajarkan agar
manusia memiliki jiwa seperti anak-anak, lugu, polos, dan apa-adanya (childlike).
Pada awal buku ini halaman 85, Brunton
Paulus (1898-1981) mewawancarai Maharishi Ramana (1879-1950). Dialog
legendaris ini pernah dimuat di majalah Peace di Pradesh, India (September 1931) dan dicetak ulang oleh Mountain Path (April 1966) di Ramanasramam. Namun demikian, isinya tetap relevan untuk sidang pembaca di abad 21.
Hurst (nama asli Paul Brunton) adalah
seorang filsuf Inggris. Ia suka sekali mengeksplorasi mistisisme Timur.
Berikut adalah kutipan dari wawancara bersejarah tersebut. Hurst
bertanya, “Apakah perlu untuk berdekatan secara fisik dengan Guru, dan
jika demikian, untuk berapa lama?”
Ramana Maharshi menjawab, “Itu tergantung pada kematangan murid. Gunpowder (bubuk
mesiu) terbakar dalam sekejap, sementara dibutuhkan waktu untuk
menyalakan batubara.” Artinya, sang muridlah yang musti memberdaya diri.
Sebab seperti pepatah Zen, “Ketika murid siap, Guru hadir.”
Keunggulan buku ini tak hanya memuat
teori semata, tapi menyajikan pula latihan praktis. Ken Wilber (1941
-…), seorang penulis termasyur Amerika berbagi resep rahasia. Filsuf
pelopor psikologi Transpersonal (Transpersonal Psychology) itu rajin bangun pagi pada jam 3-5 subuh. Ia bermeditasi selama 1-2 jam, lantas segera bekerja di mejanya sampai jam 1 siang.
Bagaimana teknik meditasinya? Sederhana saja, ibarat memancing di kolam mind
(benak). Umpannya ialah pertanyaan, “Siapa/apa aku ini?”. Ketika
mencari jawabannya, diri pribadi terlampaui, ia tertelan oleh radiasi
Kekosongan. Akhirnya, kesadaran kita beristirahat (sejenak) dalam
pelukan Bunda Alam Semesta (halaman 74).
Buku setebal 85 halaman ini dapat
menjadi sarana meniti ke dalam diri. Caranya persis dengan kebiasaan
ke-8 (almarhum) Stephen R. Covey, “Dengarkan suara hati nuranimu.”
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar