November 08, 2010

Mengungsi Memang (Tidak) Enak

Setidaknya terdapat 700 pengungsi Merapi di GOR UNY. Mereka berebahan di atas lapangan basket. Beralaskan matras dan tikar, tanpa bantal. Di setiap sudutnya tersedia toilet. Masing-masing memiliki 2 kamar mandi dan WC. Karena digunakan oleh banyak orang. Tentu saja aromanya cukup menyengat.

Para relawan menyediakan kantong plastik berukuran raksasa untuk tempat sampah. Sehingga kebersihan relatif terjaga. Saya berada di sana pada Sabtu malam antara jam 21.00-24.00, kebetulan ada siaran langsung sepakbola. Panitia memasang layar berukuran 2×1 m agar para pengungsi bisa nonton bareng. Tapi berbeda sekali rasanya dengan saat Piala Dunia. Misal saat terjadi gol, ada yang keceplosan berteriak. Buru-buru relawan mengingatkan agar pengungsi jangan ramai, karena banyak ibu dan balita yang sedang terlelap.

Aula GOR UNY tersebut juga non smoking area. Sehingga para remaja yang hobi merokok terpaksa keluar ruangan bila hendak menyesap kreteknya. Mereka membawa kartu remi dan snack kacang sebagai teman untuk menghabiskan malam panjang tersebut.

Tempat penampungan pengungsi ini menyediakan 1 posko kesehatan. Seorang dokter jaga bekerja cekatan dibantu oleh para asisten yang muda dan cantik dari STIKES, ”Nama siapa? Asal dari dusun mana? Usia berapa dan keluhannya apa Mas?” begitulah cara para perawat menyapa para pengungsi yang sakit. Kebanyakan pasien menderita infeksi saluran pernafasan akibat terlalu banyak menghisap abu vulkanik.

Pos pelayanan pengungsi di GOR UNY ini juga memiliki ruang khusus balita dan anak-anak. Di sana tersedia kasur, mainan serta buku bacaan berupa komik. Tapi kebanyakan anak-anak lebih memilih tetap bersama orang tuanya di lapangan basket. Hanya beberapa keluarga saja yang memanfaatkan sarana tersebut. Terutama yang mempunyai bayi.

Persediaan logistik, berupa nasi bungkus, nasi sterofoam (karena di taruh di sterofoam), aneka makanan ringan dan air mineral melimpah. Pengungsi relatif tercukupi kebutuhan perutnya. Bila hendak menyeduh kopi, teh, dan susu juga tersedia air panas.

Para pengungsi yang butuh men-cash Hp juga disediakan stop kontak dengan banyak colokan. Sehingga mereka tetap bisa berkomunikasi dengan sanak famili di luar Jogja yang tentu saja ingin mengetahui perkembangan dan situasi terkini.

Setiap kali ada pengungsi baru yang datang. Segera para relawan menghampiri, mempersilakan mereka untuk menempati tikar-tkar yang sudah digelar. Kemudian membagikan masker, selimut, dan nasi bungkus/nasi sterofoam kepada masing-masing keluarga.

2 rekomendasi kecil dari penulis ialah:

1.

Penyediaan layanan konseling dan terapi psikis bagi para pengungsi. Sebab bencana berkepanjangan ini niscaya menimbulkan luka secara psikologis. Apalagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta. Bila berlarut-larut bisa menyebabkan trauma, stres, dan depresi. Termasuk bagi anak-anak.

Mungkin sudah ada pelayanan tersebut pada siang atau pagi hari. Sebab saya melihat ada papan pajangan gambar anak-anak. Bagus sekali bila anak-anak pengungsi difasilitasi untuk menyalurkan kreatifitasnya lewat seni dan permainan lainya. Lanjutkan :-)

Pada jadwal acara di depan aula juga terpasang program senam massal pada pagi hari. Ini sangat membantu pengungsi agar tetap fit secara fisik.

2.

Saat masih di barak-barak pengungsian di atas. Para pasutri memohon agar disediakan “bilik bercinta”. Semoga petugas relawan di GOR UNY juga mendengarkan aspirasi tersebut.

Bencana Merapi belum tahu kapan akan berakhirnya, para pasangan suami-istri juga manusia biasa yang notabene butuh untuk sejenak rileks dan berkasih-kasihan.

Hiburan juga perlu ditambah. Misalnya dengan mengundang kelompok campur sari, keroncong, organ tunggal, dan kesenian daerah lainnya. Pasti banyak seniman Jogja yang bersedia menghibur para pengungsi secara cuma-cuma.

Walau sudah relatif memadai sarana dan pelayanan dari 300-an relawan di GOR UNY, tetap saja yang namanya mengungsi memang (tidak) enak. Privasi tidak ada dan ruang gerak terbatas sekali.

Saat menulis reportase ini untuk kompasiana.com, saya menyadari betapa berharganya kehidupan saya dalam kehidupan “biasa” sehari-hari. Tapi kadang saya lupa untuk bersyukur. Atas kamar pribadi, kasur empuk, selimut hangat, dan hal-hal sepele lainnya.

Acungan dua jempol buat UNY yang bersedia menyediakan tempat bagi para pengungsi Merapi, angkat topi kepada semua relawan yang bekerja tanpa pamrih siang dan malam. Tuhan yang Maha Esa yang membalas jasa dan budi baik kalian.

Akhirkata, bagi sidang pembaca kompasiana.com, semoga ada manfaatnya coretan singkat ini. Terimakasih…

Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/11/08/mengungsi-memang-tidak-enak/

Tidak ada komentar: