September 14, 2010

Ihwal Minat Baca

Makalah Bank Dunia (World Bank) bertajuk Educational in Indonesia - From Crisis to Recovery (1998) mencatat minimnya tingkat kemampuan baca anak Indonesia. Vincent Greanary menemukan bahwa kemampuan membaca murid kelas 6 SD rata-rata hanya 51,7. Padahal di Filipina angkanya mencapai 52,6, di Thailand 65,1, di Singapura 74 dan di Hongkong 75,5.

Sama sebangun dengan kebiasaan membaca orang dewasa. Jumlah pembaca koran menjadi salah satu indikator. Idealnya, setiap surat kabar dikonsumsi oleh sepuluh orang, tetapi di Indonesia perbandingannya hanya 1:45. Artinya, setiap 45 orang membaca satu koran. Padahal di Filipina angkanya 1:30 dan di Sri Lanka 1:38. Pada tahun 2003 Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %.

Ketersediaan buku di Indonesia juga relatif terbatas. Bandingkan dengan Cina yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa, setiap tahun mereka mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru, Vietnam yang berpenduduk 80 juta jiwa, setiap tahun mampu menerbitkan 15.000 judul buku baru, Malaysia yang berpenduduk 26 juta jiwa, setiap tahun mampu menerbitkan 10.000 judul buku baru, sedangkan Indonesia yang berpenduduk 230 juta jiwa, hanya bisa menerbitkan 10.000 judul buku baru pertahun.

Di lapangan bisa kita saksikan dengan kasat mata tatkala menunggu angkutan di terminal, stasiun, atau bandara. Memang orang Indonesia jarang menggunakan waktu luangnya untuk membaca. Biasanya malah bergosip, merokok, atau sekedar melamun. Situasi ini berbanding terbalik dengan fakta di luar negeri, terutama di negara-negara maju seperti USA, Inggris, dan Jepang. Kemanapun mereka berada selalu membawa buku dan memanfaatkan waktu senggangnya untuk membaca. Misal tatkala bersantai di taman, menunggu bus di halte ataupun ketika menempuh perjalanan jauh.

Kenapa minat baca di Indonesia relatif rendah karena secara turun-temurun budaya leluhur yang dominan bukan membaca dan menulis (literacy) melainkan bercerita dan mendongeng (oralty). Ironisnya lagi, kini bangsa ini justru langsung meloncat ke kebisaan menonton TV. Pada tahun 2006 BPS mencatat bahwa penduduk yang membaca untuk mendapatkan informasi terkini hanya 23,5 %. Sedangkan, jumlah yang menonton televisi mencapai 85,9 persen.

Solusi

Menurut hemat penulis, perlu ada pembenahan alokasi dana. Misalnya soal kebiasaan rokok. Bila per hari menghabiskan minimal 1 bungkus. Berapa total biaya yang dikeluarkanse tiap bulannya? Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk membeli buku atau berlangganan koran. Jauh sekali bedanya, padahal begitu besar manfaat buku dan surat kabar bagi masa depan generasi penerus bangsa.

Dalam konteks ini perpustakaan menjadi altenatif agar masyarakat tetap bisa membaca secara murah. Sebab perpustakaan menyediakan koleksi buku dan media lain dalam jumlah besar. Sehingga bisa dimanfaatkan oleh wong cilik yang memiliki daya beli relaif rendah. Memang salah satu tujuan pendirian perpustakaan ialah untuk memfasilitasi masyarakat bawah agar dapat mendidik dirinya sendiri, meningkatkan taraf hidup dan menggunakan waktu senggang dengan baik.

Mari menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Ajakan tersebut digagas oleh Prof. Dr. Frans Susilo, SJ. Istilah "rumah" di sini menyiratkan unsur kenyamanan. Kepala Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mendorong segenap civitas akademika untuk memanfaatkan perpustakaan secara optimal.

Alfons Taryadi mencatat dalam ”Buku dalam Indonesia Baru” terdapat: 1 perpustakaan nasional di Indonesia, 117.000 perpustakaan sekolah/universitas, dan 798 perpustakaan khusus. Sedangkan, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum hanya ada 2.583. Tapi sebelum menganjurkan masyarakat untuk sering berkunjung ke perpustakaan, kaum akademisi musti terlebih memberi teladan. Bukankah bahan acuan sekolah/kuliah dan informasi mutakhir tersedia melimpah di perpustakaan? Berupa koleksi book material seperti buku, kamus, ensiklopedia, majalah, koran, jurnal, dll serta koleksi non-book material seperti kaset, film, CD, slides, peta, globe, dll.

Kemampuan inteligensia sangat tergantung pada proses pembelajaran. Aktifitas membaca menjadi salah satu cara belajar yang mandiri dan efektif. Pengertian ”membaca” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis. Selain itu, membaca juga niscaya mengembangkan daya imajinasi, kreatifitas, serta membuka cakrawala pandang.

Lebih lanjut, Suwondo Atmodjahnawi memaparkan fungsi perpustakaan. Ternyata selain sebagai sarana pembelajaran (education), perpustakaan juga merupakan sebagai wahana rekreasi (recreation). Perpustakaan ialah gudang ilmu dan laboratorium penelitian (science and research). Terakhir tapi penting, perpustakaan menjadi sumber informasi dan dokumentasi (information and documentation)

Di lapangan upaya meningkatkan minat baca kini sudah banyak dilakukan. Misalnya pembuatan majalah dinding di sekolah/universitas, penerbitan buletin di komunitas seni dan budaya, pemasangan papan koran di desa-desa terpencil, dan pembangunan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Sehingga penduduk setempat bisa membaca secara beramai-ramai secara bergiliran. Satu buku/surat kabar bisa dinikmati bersama. Begitupula di warung burjo (bubur kacang ijo), mereka pun berlangganan koran sehingga para pelanggan bisa membaca informasi terkini sembari menikmati hidangan.

Segenap civitas akademika bertangungjawab untuk mempromosikan manfaat membaca kepada khalayak ramai. Sebab kita memiliki fasilitas dan akses informasi yang lebih memadai. Caranya dengan berbagi pemahaman dan pengalaman lewat tulisan di media massa. Misalnya menulis opini publik ihwal minat baca, meresensi buku-buku terbaru, dll.

Ada serangkaian penelitian menarik di Prancis. Para budak belian asal Alzajair diajari ketrampilan membaca. Lantas wajah mereka difoto. Ternyata mereka nampak lebih rupawan seiring proses pembelajaran. Kesimpulannya, ada korelasi erat antara ilmu dan keindahan paras seseorang.

Tidak ada komentar: