Oktober 01, 2013

Bakar Buku? No! Bakar Batu? Yes!

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/30 September 2013

“Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya…
karena setiap aksara membuka jendela dunia…” – (Efek Rumah Kaca)

Begitulah cara grup band ERK memaknai sebuah buku. Selain jendela dunia, bagi mereka buku merupakan puncak peradaban manusia. Namun sungguh ironis. Buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karangan Douglas Wilson kini telah tiada. Umurnya tak lebih dari 4 bulan. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) itu sudah dibakar jadi abu.

Awalnya, anggota ormas berkedok agama melaporkan ke Polda Metro Jaya. Karena 2 kalimat (halaman 24) dalam buku tersebut dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Alhasil, pada 13 Juni lalu, disaksikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, GPU memusnahkan 3.000 buku yang berjudul asli 5 Cities That Ruled the World itu.

Dalam artikel ini penulis sepakat dengan pendapat ERK. Pada hemat saya, salah satu tragedi terbesar kemanusiaan ialah insiden pembakaran buku. Sebuah penistaan terhadap progresivitas manusia. Terutama dalam konteks perkembangan inteligensianya.

Pun amat disayangkan kebijakan Gramedia membakar buku secara sukarela. Padahal sebelumnya sudah diterbitkannya dengan susah payah. Hanya karena desakan segelintir ormas berkedok agama.

Entah apa pertimbangan penerbit besar tersebut. Secara moralis bisa jadi agar tidak menyakiti hati umat Islam. Pertanyaannya umat Islam yang mana? Toh mayoritas saudara-saudari Muslim berbesar hati menerima perbedaan persepsi atas sebuah teks. Karena sadar ada konteks yang lebih luas nan melingkupi.

Barangkali pertimbangan aspek ekonomis. Kenapa? Karena kalau terlibat dalam proses hukum akan memakan waktu, energi dan biaya yang besar sekali. Bahkan kalau sampai membahayakan perusahaan bisa mengancam hajat hidup jutaan pegawainya di seluruh Indonesia.

Penulis sekadar berbela rasa dengan pihak penerjemah dan editor buku tersebut. Di satu sisi memang kita perlu lebih berhati-hati dalam mengalihbahasakan dan memeriksa redaksional beserta isi buku.

Saat kuliah translation dulu, para dosen senantiasa mengajarkan agar penerjemahan buku lebih bersifat kontekstual dan meaning-based. Karena kalau diterjemahkan letter leck alias kata per kata berpotensi bias dan multitafsir.

Di sisi lain, perlu diketahui publik bahwa proses ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk menterjemahkan dan mengedit 300 halaman buku, setidaknya dibutuhkan masing-masing sebulan. Jadi totalnya sekitar 2 bulan lebih. Masih ditambah durasi di percetakan. Artinya ada proses panjang sebelum sebuah karya tulis sampai ke tangan pembaca.

Dalam konteks ini, cara instan menuntut lewat jalur hukum masih terlalu dini. Bukankah budaya nusantara mengedepankan dialog sehingga menguntungkan kedua belah pihak? Alangkah lebih bijak bila buku tersebut ditarik sementara dulu dari peredaran. Kemudian diedit bagian kalimat/halaman yang kurang pas sehingga bisa diedarkan kembali kepada publik. Cara ini lebih manusiawi (baca: beradab).

Belajar dari Sejarah

Menarik apa yang disampaikan Hendri F. Isnaeni di historia.co.id (18 Juni 2012). Ternyata insiden pembakaran buku bukan kali pertama. Pada masa kolonial Belanda, kasus serupa pernah terjadi. Namun saat itu tanpa pengerahan massa, yang ada hanya polemik di media massa.

Alkisah, sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson terbit dan diresensi koran Java Bode. Peresensinya mengutip buku tersebut sebagai berikut: “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya…”

Hasilnya banyak reaksi keras bermunculan. Koran Pemandangan, dalam sanggahannya yang ditulis Anwar Tjokroaminoto, keberatan terhadap penyamaan itu. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler.

Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab,” demikian tulis Pemandangan, 4 Desember 1940. “Bagi kita lebih baik kalau kalimat-kalimat itu tidak ada, baik dalam terbitan berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Belanda.”

Kemudian, pelbagai tulisan pun berdatangan ke meja redaksi Pemandangan. Isinya menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson itu. Koran lain seperti Tjaja Timoer ikut menyerang balik Java Bode. Namun JB bersikukuh bahwa buku Henderson tak bermaksud menghina Nabi Muhammad SAW.

Munculnya polemik itu, bagi Pemandangan, memiliki hikmah tersendiri. “Kita harus sanggup membicarakan benar-tidaknya lukisan itu secara objektif menurut ilmu pengetahuan dan sejarah. Umat Islam harus menjunjung agamanya dengan cara yang lebih nyata.”

Pungkasnya, isu agama memang sensitif. Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin. Senada dengan petuah kejawen, “Nak ana masalah yo dirembug.” Kalau ada masalah dimusyawarahkan. Pun kalau berpolemik lakukanlah secara cerdas lewat bahasa yang santun. Semoga ke depan tiada lagi pembakaran buku. Kalau bakar batu? Boleh!

Tidak ada komentar: