Oktober 13, 2013

Menjadi Kreatif itu Mudah

Dimuat di Banten Muda, Edisi Oktober 2013 

Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya                                      
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/ Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000

“Aku melihat malaikat dalam marmer dan aku ukir sampai aku membebaskannya.” – Michelangelo (halaman 195).

Bagaimana tahap awal dalam berkarya? Jawabnya dengan meniru untuk berlatih. Dalam konteks ini, meniru tidak sama dengan plagiat. Plagiat ialah melakukan copy-paste tanpa penambahan makna sama sekali. Sedangkan, meniru ialah cara berlatih dengan sistem teknik dibalik. Analoginya ibarat ahli mekanik yang membongkar mobil untuk mengetahui bagaimana cara kerja mesin.

Lewat buku ini, penulis berbagi kisah masa kecilnya. Ternyata ia mulai belajar menggambar pada era 1980-an. Saat itu, acara “Mari Menggambar Bersama Pak Tino Sidin” di TVRI tak pernah absen ia lewatkan. Lantas, Pendiri HelloMotion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000 siswa tersebut menirukan setiap garis dan lekuk yang diinstruksikan Pak Tino Sidin di layar kaca. Dari bulat, ditambah bulat, garis, dan garis lagi akhirnya menjadi kucing. Dari kotak ditambah segitiga, lanjut beberapa kotak akhirnya menjadi rumah. Ia seolah dipandu untuk menyusun kembali konstruksi yang telah dibongkar oleh beliau (halaman 46).

Menurut seniman desain dan aktivis animasi tersebut, pendidikan kesenian memiliki banyak manfaat. Antara lain memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengemukakan pendapat, berani mengekspresikan imajinasi, melatih berpikir kreatif, membina rasa sensitivitas, melatih keterampilan, dan sebagainya. Secara lebih mendalam, juara dunia British Council Young Creative Entrepreneur 2007 ini pelajaran kesenian bukan sekadar mempelajari cara menggambar tapi belajar meminjam istilah Romo Driyarkara SJ, “memanusiakan manusia”.

Penggagas HelloFest, salah satu festival Pop Culture terbesar di Indonesia yang setiap tahunnya menyedot lebih dari 20.000 penonton ini juga menceritakan pengalaman Phil Hansen. Ia memiliki keterbatasan, saat remaja tangan Phil selalu gemetar ketika menggambar garis lurus. Hingga menginjak usia dewasa, mimpi buruk itu terus berlanjut. Lalu, ia memeriksakan tangannya ke dokter ahli neurologi. Penelitian dokter menyimpulkan bahwa ada kerusakan saraf di tangan Phil yang tak tersembuhkan.

Mendengar berita tersebut, Phil merasa seperti ditampar rasa frustasi. Hebatnya, Phil Hansen justru merangkul keterbatasan. Phil menerima kondisi tangannya yang selalu gemetar. Phil mengambil pensil dan membiarkan tangannya yang gemetar itu untuk menggores, menggambar, dan berekspresi. Dia tekun bereksperimen dengan guncangan-guncangan garis yang dihasilkan. Sampai pada akhirnya, ia berhasil menemukan polanya sendiri. Selain itu, untuk menghindari rasa sakit, Phil bereksperimen dengan menggunakan objek-objek berskala besar.

Ia bahkan pernah menggambar profil Bruce Lee dengan cara memukul-mukulkan kepalan tangannya yang berlumuran cat ke tembok dengan teknik kungfu. Lantas, ia mendokumetasikan proses pembuatannya di You Tube dan sudah ditonton lebih dari 3 juta orang. Silakan lihat hasilnya di halaman 115. Lewat kisah Phil Hansen tersebut, pemilik toko pakaian online KDRI (Kementrian Desain Republik Indonesia, Belum/Tidak Sah) ini menandaskan bahwa keterbatasan tak harus dimusuhi tapi harus dirangkul. Keterbatasan justru membuat karya seseorang terlihat berbeda. Terbukti akhirnya, Phil mendapatkan penghormatan membuat official artwork untuk 51st Annual GRAMMY Awards.

Sistematikanya, “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” terdiri atas 17 butir pencerahan kreatif. Antara lain berjudul, “Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,” “Fleksibel Saja,” dll. Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang sengaja mendesain buku ini agar bisa dibaca tanpa harus dirunut dari awal sampai akhir. Pembaca dapat menikmatinya secara acak (random).

Pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 ini juga memberikan contoh nyata kreativitas anak negeri. Elang Gumilang, seorang developer yang masih berusia relatif muda (belum 30 tahun) tapi sudah memiliki perusahaan dengan omset puluhan miliar rupiah. Dia mencoba berpikir dengan pola arah berlawanan tentang bisnis perumahan. Kebanyakan developer lebih fokus pada pembangunan untuk orang kaya. Uniknya, Elang lebih tergerak menyediakan rumah murah bagi rakyat miskin.

Para pembeli dapat memiliki rumah dengan biaya cicilan per bulan Rp90.000 saja selama 15 tahun. Walau tergolong murah, tapi fasilitas pendukung di dalamnya sangat komplet, seperti klinik 24 jam, lapangan olahraga, rumah ibadah, sekolah, dan juga dekat dengan pasar. Dalam konteks ini, Elang berhasil merubah paradigma enterpreneurship bahwa berbisnis bukan semata untuk mencari keuntungan pribadi, tapi juga menguntungkan masyarakat kebanyakan juga (halaman 31).

Buku setebal 302 halaman ini menyadarkan bahwa kreativitas senantiasa memberikan solusi alternatif. Layak dibaca oleh siapa saja yang masih kesulitan menemukan ide kreatif dalam keseharian. Sebab, menyitir pendapat Dimas Ganjar Merdeka, Dirut CV. Maicih, “Menjadi kreatif itu mudah, sederhana, dan tidak baku.” Selamat membaca!  

Tidak ada komentar: