Berikut ini resensi versi awalnya. Nuwun
Judul: 366 Reflections of Life, Kisah-kisah Kehidupan yang Meneduhkan Hati
Penulis: Sidik Nugroho
Editor: Leo Paramadita G
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cetakan: 1/Februari 2012
Tebal: x + 384 halaman
ISBN: 979-978-074-893-4
Harga: Rp54.000
Judul di atas terinspirasi oleh kegigihan Sansan (Ketabahan dan Kesabaran Ibu, halaman 374). Semula anaknya terlahir normal, tapi kemudian terserang virus ganas.
Si buah hati tercinta mendadak menjadi tuli. Kendati demikian, Sansan tidak menyerah. Ia justru memboyong Gwen, nama anaknya, ke Australia. Sansan terpaksa berjauhan dengan suami dan menjadi ibu tunggal. Ia bertekad melanjutkan studi ke jenjang S2.
Sansan memilih jurusan Special Education. Sebuah fakultas yang mendalami masalah pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sansan sangat disiplin dalam membagi waktu. Yakni antara berangkat kuliah, menggarap tugas makalah dari dosen, merampungkan pekerjaan rumah tangga, mengurus serta melatih Gwen.
Berbekal seluruh pengalamannya tersebut, ia menulis sebuah buku berjudul, “I Can (not) Hear.” Sansan berbagi ilmu pada khalayak ramai. Terutama ihwal bagaimana metode memfasilitasi proses belajar anak berkebutuhan khusus. Generasi masa depan dapat memperoleh kesempatan pendidikan yang setara.
Dari kisah nyata di atas, Sidik Nugroho mau mengatakan satu hal. Seyogianya, pengorbanan, usaha, ucapan syukur, dan kepasrahan musti dilakoni secara seimbang. Sebab, selama ini manusia cenderung pasif tatkala ditimpa kemalangan. Pun enggan bekerja keras dengan dalih (sok) moralis, “…semuanya sudah ada yang mengatur.” Padahal ini sekedar pembenaran untuk menutupi rasa malas.
Buku ini juga mengajak sidang pembaca menggeser sudut pandang (paradigm shift). Alkisah, seorang remaja merasa hidupnya sia-sia. Barangkali ia baru ditolak wanita idamannya ataupun (di)putus cinta. Di tengah keputusasaan tersebut, ia mendatangi seorang guru spiritual.
Sang guru menyimak keluh-kesah anak didiknya. Setelah si pemuda puas ber-curhat (curahan hati) ria, kini giliran guru yang berbicara, “Nak, tolong ambilkan sesendok garam, campurkan ke dalam segelas air, dan minumlah...” Si anak manut (menurut) saja. “Bagaimana rasanya?” tanya sang guru. “Piuuuh! Asin sekali!” jawab si murid sembari menyemburkan air tersebut.
Kemudian, sang guru mengajak si murid ke tepi telaga yang luas. Airnya begitu jernih dan segar. Guru itu kembali meminta murid melarutkan sesendok garam ke dalam telaga dan mengaduknya dengan sebilah bambu. “Sekarang rasakan bagaimana rasa air telaga tersebut!” perintah sang guru. “Air ini segar guru. Tak terasa asin sama sekali,” ujar si murid dengan mata berbinar.
Lewat kisah “Hati bak Telaga” (halaman 232) ini, Sidik Nugroho merayu sidang pembaca agar memiliki hati seluas telaga. Kenapa? Karena kalau kita memiliki hati sempit, niscaya setiap persoalan kecil akan membuat stres dan depresi.
Ketegaran warga Porong dapat menjadi teladan nyata. Walau sejak Mei 2006 hingga kini belum mendapat ganti rugi, toh mereka tetap bertahan (survive) dan kreatif. Bahkan bencana - raibnya 10.000 rumah, belasan pabrik, serta puluhan sekolah dari SD-SMA akibat lumpur Lapindo - diubah menjadi objek wisata. Turis dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan mancanegara berduyun-duyun datang menonton "kawah" raksasa tersebut (halaman 281).
Sama halnya dengan masyarakat di lereng Merapi. Mereka menjadikan puing-puing rumah (almarhum) Mbah Maridjan di dusun Kinahrejo sebagai petilasan dan tempat ziarah. Tentu inisiatif rakyat di akar rumput (grassroot) tersebut tak boleh melenakan para pejabat yang pernah berjanji untuk memberi ganti rugi, membayar seluruh ternak warga yang mati, membangun hunian sementara (huntara), dan menyiapkan hunian tetap.
Buku ini juga memuat kisah romantis. Setiap subuh Mbah Khatijah menyuguhkan secangkir teh hangat. Pasangan hidupnya bernama Mbah Setyowikromo. Beliau bekerja sebagai penjual arang.
Mereka berdua tinggal di dusun Suko, berjarak 40 km dari kota Yogyakarta. Pemasukannya berkisar Rp2.000-Rp5.000/hari. Profesi ini telah ditekuni sejak zaman Belanda. Uniknya, tatkala berjualan arang di Kota Gudeg, Mbah Setyowikromo tak pernah mau jajan. Bahkan ia hanya makan sekali - itu pun selalu hasil masakan Mbah Khatijah sendiri - yakni pada petang hari.
Sang istri berjualan daun jati di pasar tradisional. Dengan menjalani kehidupan sederhana semacam ini, mereka bisa menabung di dalam celengan bambu. Sehingga kalau ada tetangga menggelar hajatan, mereka bisa memberi amplop berisi Rp20.000-Rp25.000. “Kami tidak tega menyantap makanan kenduren dengan lauk ayam ingkung goreng utuh jika belum membayarnya,“ jelas Mbah Khatijah (halaman 161).
Lewat kisah nyata tersebut, penulis buku ini mengajak sidang pembaca bercermin diri. Ternyata, martabat seseorang tak hanya ditentukan oleh kekayaan dan ketenaran. Namun lebih pada setiap tetes keringat untuk mencecap kebahagiaan hidup.
Bukankah saat ini banyak pejabat dan anggota dewan yang mencari uang dengan cara tak lazim (baca: korupsi). Padahal, kerja keras, kejujuran, dan pengorbanan merupakan rumusan universal untuk meraih keberhasilan. Tak ada jalan pintas, apalagi dengan menghisap uang rakyat.
Proses Panjang
Sidik Nugroho menulis buku “366 Reflections of Life, Kisah-kisah Kehidupan yang Meneduhkan Hati” ini dalam waktu relatif panjang. Yakni dari 2003-2011 (8 tahun). Isinya terdiri atas 366 refleksi kehidupan.
Ibarat menu pengobat rasa lapar, satu hari cukup 1 renungan. Sehingga bisa dikonsumsi selama setahun penuh. Sumbernya beragam sekali. Antara lain dari buku bacaan, film bioskop, interaksi di kelas, sampai pada perjumpaan dengan orang gila di warung kopi.
Ada sebuah inspirasi apik dari biografi On Writing karya Stephen King. Ketika kecil, ia sudah bisa mengarang cerita sendiri. Isinya tentang Mr. Rabbit Trick. Tokoh utama ini menjadi pemimpin 4 binatang ajaib. Setiap hari mereka berkeliling guna memberi pertolongan kepada anak-anak kecil.
Stephen lantas menyerahkan manuskrip itu kepada ibunya. Sang ibu merasa terkesan sekali dan memberi pujian penyemangat. Bahkan ia membayar 25 sen untuk setiap cerita yang dibuat King.
Tentu saja, hal ini memompa motivasi Stephen untuk terus menulis. Dalam waktu singkat, ia berhasil membuat 4 cerita dengan tokoh utama yang sama. “Empat cerita. Masing-masing 25 sen. Itulah upahku yang pertama dalam bisnis ini,” demikian tulis Stephen King dalam memoarnya (halaman 107).
Sejatinya sang ibu bukan sekedar mengajarkan anaknya menjadi mata duitan. Menurut Sidik, itu merupakan keberuntungan Stephen kecil. Kenapa? Karena ibunya menghargai kreatifitas dan jerih payahnya sejak usia dini.
Penulis buku ini piawai mengklasifikasikan materi seturut peristiwa penting. Misalnya, beberapa tulisan yang bernuansa pendidikan, ia tempatkan pada bulan Mei. Kenapa? Karena untuk memaknai hari Pendidikan Nasional. Sedangkan materi yang bernuansa cinta, tentu saja di bulan Februari. Tema ihwal nasionalisme ada di bulan Agustus.
Pada tahun 1929, Soekarno ditahan oleh Belanda. Karena pidato-pidato Bung Karno dinilai berbahaya. Tatkala ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) itu berdiri di atas mimbar, ia bisa membius para pendengar sekaligus mengobarkan semangat perlawanan untuk meraih kemerdekaan.
Tak heran presiden R1 pertama itu dijuluki Singa Podium. Pun selama mendekam di dalam penjara Bung Karno tetap berjuang. Medianya ialah kertas dan pena. Ia menulis pledoi selama satu setengah bulan. Hebatnya, alas kertas tempatnya menulis ialah pispot. Ya, tempat pembuangan air seni dan tinja. Kelak buah pena dari balik jeruji itu dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat (halaman 235).
Sebagai seorang guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, Sidik Nugroho memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan anak-anak. Ia berbagi juga 1 kisah unik. Pasca mengajar, penulis sering mengadakan kuis tanya-jawab. Mulai dari tebak lagu dengan merujuk pada nada-nada yang dimainkannya dengan gitar, tebak gambar yang dilukis seorang siswa di papan tulis, sampai sesi cerdas-cermat seputar materi yang telah disampaikan.
Tapi tak ubahnya orang dewasa, anak-anak juga tak siap menerima kekalahan. Bahkan ada yang sampai menangis jika kelompoknya tak menjadi pemenang. Solusinya ialah dengan menulis, “Siap Menang, Siap Kalah!” di papan tulis. Jadi setiap akhir kuis, sang guru menunjuk ke depan kelas. Serentak semua murid berteriak lantang - baik yang kalah maupun yang menang - membaca kesepakatan awal tersebut.
Satu kelemahan buku ini ialah ketiadaan daftar isi. Sehingga sidang pembaca agak kesulitan mencari judul refleksi tertentu. Kendati demikian, karya tulis ini dapat menjadi oasis di padang gersang rutinitas. Sepakat dengan pendapat Sidik Nugroho, "Salah satu alasan untuk membuat semangat hidup tetap terjaga ialah kenangan akan suatu momen yang indah." Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekstrakurikuler English Club di SMP Kanisius, Sleman, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar