http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/85794
“Hidup ini indah jika tak menjadikan alam sebagai kuda tunggangan. Alam harus dijadikan mitra sehingga dia menjadikan manusia kawan.” (halaman 6)
Ngelmu srawung menjadi jurus ampuh Romo Kir, bukan untuk menjatuhkan lawan, melainkan untuk menjalin relasi. Secara khusus, dia berkarya di lereng barat Merapi selama 10 tahun. Mantan guru SD di Semarang tersebut menjabat sebagai Kepala Paroki Santa Maria Lourdes di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (2001-2011).
Pada bagian awal buku ini, Romo Vincentius Kirjito menyampaikan pesan mendalam (viii). Seyogianya manusia perlu meluangkan waktu untuk berhitung mundur. Mengapa? Hal itu dilakukan agar manusia dapat meninjau kejadian yang telah dialami.
Salah satu keuntungannya bisa sedikit bernostalgia. Kendati demikian, pada hakikatnya, hitung mundur niscaya melesatkan gerakan cepat ke masa depan. Ibarat roket, berhitung 9-8-7-6-5-4-3-2-1-0 dapat meluncurkan pesawat antariksa ke luar angkasa.
Tapak Romo Kir merupakan kumpulan tulisan para wartawan/wartawati seputar dinamika di lereng gunung berapi berketinggian 2.911 di atas permukaan laut itu. Sebelumnya, komunitas budaya ini pernah menerbitkan buku Kriwikan Tuk Mancur (2010).
Ada cerita unik di balik penjualan karya tulis di hadapan Uskup Agung Jakarta, Mgr Ign Suharyo, yang membeli dua eksemplar dengan harga 10 juta rupiah, kemudian dana tersebut digunakan untuk membangun Gubug Toya (halaman xiv).
Buku ini juga memuat artikel Bernard Kieser, SJ berjudul Saudara Merapi. Refleksi tersebut sempat dipublikasikan di majalah Weltweit. Ada korelasi erat antara orang kota dan masyarakat di pedesaan. Orang kota makin banyak mendirikan bangunan, maka kian sibuklah bisnis penambangan di lereng Merapi.
Ironisnya, penambangan tak hanya dilakukan di sungai, tetapi juga di ladang, sawah, dan hutan. Bahkan, mereka tak lagi menggunakan cara manual dengan cangkul, tetapi mengoperasikan back hoe. Akibatnya, daerah aliran sungai menjadi kering. Air tanah menguap sehingga pengobat dahaga bagi hamparan rumpun padi dan sayuran hijau kian langka.
Oleh sebab itulah, Romo Kir menggagas Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA). Air bisa menyatukan kelompok pro maupun kontra penambangan dengan alat berat. Maklum, keduanya toh sama-sama membutuhkan H2O.
Hebatnya lagi, program edukasi ini juga menarik minat para siswa/siswi dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan, ada dari negeri mancanegara. Salah satu agenda favorit para siswa adalah jelajah sungai. Mereka harus melewati begitu banyak rintangan berupa bebatuan licin, lintah yang siap mengisap darah segar, serta gigitan nyamuk.
Christine Rossiana Atmodjo, seorang siswi dari SMA Ricci Jakarta, berbagi pengalamannya. “Membayar 650 ribu rupiah namun yang diperoleh jauh lebih banyak dari uang itu. Kami memperoleh ilmu yang langka, seperti kasih sayang yang begitu besar dari keluarga angkat, udara sejuk pegunungan, pemandangan indah setiap pagi, padi menguning, dan cekdam curam tempat memancing ikan. Semuanya sungguh tak ternilai,” katanya. Christine jadi lebih menghargai air, alam, lingkungan, dan diri sendiri (halaman 154).
Di sisi lain, aktivitas ini dapat meningkatkan rasa percaya diri wong ndesa (masyarakat pedesaan). Walau hanya tamatan Sekolah Rakyat, mereka piawai mengajari orang kota ngiles padi. Padi yang sudah dipanen dipisahkan dengan diinjak-injak.
Tapak Romo Kir dapat menjadi sumber inspirasi untuk lebih menghargai orang desa, air, alam, dan kearifan lokal. “Semua, terutama warga kota, harus berterima kasih kepada desa karena desa ibarat ibu yang melahirkan kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara,” ujar Kir, peraih Maarif Award 2010 tersebut.
Diresensi T Nugroho Angkasa, seorang guru di Yogyakarta
Judul : Tapak Romo Kir
Penulis : Kumpulan Tulisan Wartawan
Penerbit : Waktoe
Cetakan : 1/Februari 2012
Tebal : xx 273 halaman
Harga : Rp50.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar