Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/28 Desember 2012
http://mjeducation.co/berbagi-inspirasi-lewat-jalur-edukasi/
http://mjeducation.co/berbagi-inspirasi-lewat-jalur-edukasi/
Judul: Indonesia Mengajar 2
Subjudul: Kisah para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air
Penulis: 72 Pengajar Muda Angkatan 2
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: xviii + 435 halaman
ISBN: 978-602-8811-82-8
Harga: Rp59.000
Bagi seorang pejabat tinggi negara, jarak dari Jakarta ke Maluku
Tenggara Barat (MTB) dapat dicapai hanya dalam hitungan jam dengan
menumpang pesawat terbang. Sebaliknya, bagi rakyat yang berdomisili di
wilayah bagian timur Indonesia jaraknya sepanjang usia. Sebab, belum
tentu sekali seumur hidup mereka menginjakkan kaki di ibukota. Gerakan Indonesia Mengajar mendekatkan jarak antara pusat dan pinggiran tersebut. Bukan lewat seminar di hotel berbintang, tapi dengan terjun langsung blusukan setahun penuh di pedalaman.
Diastri Satriantini salah satu contohnya. Ia pengajar muda dari kota
Pahlawan yang mendampingi Alfonsina Melsasail belajar menulis cerita
anak. Foni, nama panggilan siswi kelas 5 SD Kristen Lumasebu MTB itu. Ia
hendak mengikuti Konferensi Anak Indonesia (2011). Panitia di Jakarta
akan memilih 36 anak dari seluruh kepulauan Nusantara. Seleksinya
dilakukan dengan cara mengirim karangan ihwal kejujuran.
Semula Diastri meminta seluruh murid dari kelas 5 dan 6 SD di Desa
Lumasebu, Kecamatan Kormomolin, MTB menulis cerita pendek. Ia mau
menganalisis sejauh mana kemampuan mengarang mereka. Hasilnya, membuat
geleng-geleng kepala. Banyak yang belum kenal format S-P-O-K, bahkan ada
yang tak bisa berbahasa Indonesia. Selain itu, karena tidak ada buku
cerita dalam bentuk hard file (cetak), alumnus Hubungan Internasional (HI) UNAIR terpaksa mencetak sendiri (print) kumpulan cerita anak dari buku digital e-book. Kemudian, ia membagikan kepada anak didiknya. Agar mereka bisa melihat contoh penulisan cerita yang tepat.
Hari-hari terus berlalu, deadline (tenggat) pengumpulan
karangan semakin dekat. Ironisnya, belum ada perkembangan signifikan.
Anak-anak tak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Kendati
demikian, ada satu karangan yang menggelitik hati sejak kali pertama
dibaca. Yakni, tulisan Foni ihwal pengalamannya menginjak tanaman di
kebun orang.
Alkisah, pada suatu hari ia dan teman-temannya pergi mencari kayu bakar
di hutan. Dalam perjalanan pulang, salah satu dari mereka tak sengaja
menginjak tanaman keladi di kebun milik Pak Batlajangin. Mereka
akhirnya memutuskan untuk diam saja dan tidak mendatangi pemilik kebun
untuk mengaku bersalah. Berikut petikan kalimat penutup dalam karangan
Foni, “Aku mau kasih tahu Pak Batlajangin, tapi aku tidak suka melihat
temanku dipukuli orang, aku jadi sedih melihat mereka sedih.” (halaman
202).
Nah, karangan itulah yang dikirim ke Redaksi Majalah Bobo. Karena
awalnya hanya sepanjang 1 alinea, perlu banyak perbaikan, kemudian
Diastri membimbing Foni mengggali aspek-aspek cerita dari pengalamannya
tersebut. Alhasil, pada 17 September 2011, sang guru mengirimkan karya
tulis anak didiknya via pos. Panjangnya 278 kata, sesuai ketentuan
panitia, maksimal 500 kata.
Singkat cerita, hari pengumuman pemenang pun tiba. Salah satu murid
Angga, Pengajar Muda di Fak-Fak terpilih mewakili delegasi Papua Barat.
Perasaan Diastri biasa saja saat itu. Karena ia tak terlalu berharap
muridnya juga bisa lolos. Mengingat karangan Foni sangat polos. Tapi
ternyata, Alfonsina Melsasail alias Foni pun terpilih. Ia mewakili
delegasi dari Provinsi Maluku. Setengah tak percaya tapi nyata adanya.
Pada halaman 204 terpampang foto bersama Diastri, Foni, dan Anies
Baswedan di Jakarta. Tampak di latar belakang spanduk bertuliskan, “Ayo
kita jujur!”
Dua Semester Penuh Makna
Masih banyak kisah-kisah inspiratif lain termaktub dalam Indonesia Mengajar 2 ini. Isinya secara kolektif ditulis oleh 72 orang. Berupa sharing
pengalaman para pengajar muda yang bertugas selama dua semester penuh
makna. Generasi muda terbaik bangsa itu meninggalkan kenyamanan kota,
kemapanan pekerjaan, dan kehangatan keluarga demi menunaikan janji
kemerdekaan (men)cerdaskan kehidupan bangsa.
Tapi banyak orang bertanya pada Anies Baswedan, Pendiri sekaligus Ketua Gerakan Indonesia Mengajar,
“Bagaimana mungkin ribuan anak muda mau bersusah-payah mengabdi di
tempat sulit dengan tugas berat?” Memang bagi sebagian kalangan,
fenomena bekerja tanpa pamrih ini terkesan aneh. Namun baginya, itu
bukan hal baru. “Anak muda Indonesia memang sejatinya seperti ini!
Lihatlah sejarah. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang pada
dasarnya punya kesempatan untuk menikmati hidup bagi dirinya sendiri,
tetapi mereka memilih mengabdi dan berbuat untuk bangsanya (hal xv).”
Ir. Soekarno misalnya, ia lulus sebagai insinyur saat 95% bangsa kita
masih buta huruf. Mohammad Hatta, seorang doktorandus dari Rotterdam.
Hebatnya, mereka berdua memilih bersimbah peluh menjadi aktivis
pergerakan kemerdekaan. Padahal keduanya bisa hidup enak, jadi pegawai
pemerintahan Belanda atau korporasi lain di dunia kala itu. Menurut
Rektor Universitas Paramadina tersebut, sejatinya anak muda dan
putra-putri Ibu Pertiwi memang memiliki DNA pejuang.
Sistematikanya, buku “Indonesia Mengajar 2” terdiri atas empat bab:
“Cinta dan Pengabdian”, “Cerita Anak-anak Kami”, “Memupuk Optimisme”,
dan “Buah Manis dari Usaha.” Ibarat potret apik dan juga menawan, di
sini terdengar sorak sorai dan isak tangis haru, terasa kehangatan dan
keramahtamahan warga setempat .
Sebelumnya pada masa persiapan, personel pengajar muda diseleksi secara ketat dan dilatih secara khusus oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Dari ribuan pendaftar hanya puluhan orang saja yang berhasil lolos. Mereka merupakan kader-kader pilihan. Sejak tahun 2010, Gerakan Indonesia Mengajar
telah memberangkatkan 241 pengajar muda ke 143 sekolah di 16 kabupaten
yang tersebar di 15 provinsi, yakni dari Aceh sampai Papua.
Pelancong Spesial
“Rasa lelah setelah berjalan satu jam hilang oleh segarnya air Sungai
Mansat. Sungguh pengalaman tak terlupakan. Tidak ada bus, tempat
rekreasi, makanan fast food, atau apa pun yang biasa menghiasi karya
wisataku. Namun, inilah karya wisata paling sederhana dan unik yang
pernah aku lakukan…“ (halaman 109).
Semula, Retnosari Hardaningsih enggan diajak bermain air di desa.
Pengajar muda yang ditempatkan di SDN 09 Nanga Lungu, Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat itu berdalih airnya kotor. Tapi kini di Sungai Mansat
tiada alasan lagi. Di sana airnya jernih, melimpah, dan dingin.
Akhirnya, semua terjun, berenang, dan menari bersama sampai basah kuyup.
Begitu salah satu penggalan kisah lain dari seorang gadis kota di
pedalaman pulau Borneo. Di sana pula, karyawati perusahaan otomotif
terkemuka tersebut kali pertama melihat kalajengking secara langsung (live). Sebelumnya, juara beladiri Shonriji Kempo tingkat nasional ini hanya melihat di gambar.
Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu juga
merasakan asyiknya menjadi pelancong spesial. Biasanya seorang pemandu
wisata (tour guide) memandu lebih dari satu orang wisatawan,
tapi di Kalimantan 20 pemandu wisata memandu 1 orang. Bahkan jika ada
buah-buahan segar di atas pohon, mereka bersedia memanjat dan
mengambilkan. Murid-murid kelas 5 dan 6 SD itu sungguh sayang pada
gurunya.
Akhir Juni 2012 silam, 72 pengajar muda kembali dari lokasi penempatan.
Buku ini merangkum kisah pergulatan mereka di daerah pedalaman. Cara
mereka menulis pun mengundang decak kagum. Bagaimana tidak? Tidak ada
listrik bukan halangan. Mereka mengandalkan temaram cahaya pelita
sebagai penerangan seadanya.
Karena semula merupakan kumpulan testimoni di blog Indonesia Mengajar,
gaya bahasanya cenderung informal. Dalam konteks ini, peran editor
sangat signifikan untuk “membakukannya” sesuai EYD. Pada beberapa bagian
juga memuat foto-foto cantik, melukiskan keindahan alam dan aktivitas
pembelajaran.
Sekadar rekomendasi, alangkah lebih baik jika gerakan semacam ini
dilakukan oleh Universitas yang ada di Indonesia. Caranya dengan
mengirim para mahasiswa tingkat akhirnya berbagi ilmu di daerah
pedalaman. Konsepnya, semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata) tapi relatif
lebih lama. Sebab menyitir anjuran Anies Baswedan, bukankah pendidikan
anak bangsa memang tanggungjawab setiap akademisi?
Akhir kata, buku setebal 435 halaman ini membagikan inspirasi lewat
jalur edukasi. Menyitir pendapat fotografer Edward Suhadi yang
mengabadikan kontribusi anak bangsa tersebut, “Indonesia Mengajar
ibarat senandung “lagu baru”. Pasca sekian lama kita melulu
mendengarkan “lagu lama” tentang korupsi, kekerasan, dan ketidakpedulian
yang menjemukan, kaum muda menyuarakan semangat perubahan demi masa
depan Republik (res publica) yang lebih baik.” Selamat membaca dan salam
pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar