Desember 27, 2012

Berbagi Inspirasi lewat Jalur Edukasi

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/28 Desember 2012
http://mjeducation.co/berbagi-inspirasi-lewat-jalur-edukasi/

1356667208575052743

Judul: Indonesia Mengajar 2
Subjudul: Kisah para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air
Penulis: 72 Pengajar Muda Angkatan 2
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: xviii + 435 halaman
ISBN: 978-602-8811-82-8
Harga: Rp59.000

Bagi seorang pejabat tinggi negara, jarak dari Jakarta ke Maluku Tenggara Barat (MTB) dapat dicapai hanya dalam hitungan jam dengan menumpang pesawat terbang. Sebaliknya, bagi rakyat yang berdomisili di wilayah bagian timur Indonesia jaraknya sepanjang usia. Sebab, belum tentu sekali seumur hidup mereka menginjakkan kaki di ibukota. Gerakan Indonesia Mengajar mendekatkan jarak antara pusat dan pinggiran tersebut. Bukan lewat seminar di hotel berbintang, tapi dengan terjun langsung blusukan setahun penuh di pedalaman.

Diastri Satriantini salah satu contohnya. Ia  pengajar muda dari kota Pahlawan yang mendampingi Alfonsina Melsasail belajar menulis cerita anak. Foni, nama panggilan siswi kelas 5 SD Kristen Lumasebu MTB itu. Ia hendak mengikuti Konferensi Anak Indonesia (2011). Panitia di Jakarta akan memilih 36 anak dari seluruh kepulauan Nusantara. Seleksinya dilakukan dengan cara mengirim karangan ihwal kejujuran.

Semula Diastri meminta seluruh murid dari kelas 5 dan 6 SD di Desa Lumasebu, Kecamatan Kormomolin, MTB menulis cerita pendek. Ia mau menganalisis sejauh mana kemampuan mengarang mereka. Hasilnya, membuat geleng-geleng kepala. Banyak yang belum kenal format S-P-O-K, bahkan ada yang tak bisa berbahasa Indonesia. Selain itu, karena tidak ada buku cerita dalam bentuk hard file (cetak), alumnus Hubungan Internasional (HI) UNAIR terpaksa mencetak sendiri (print) kumpulan cerita anak dari buku digital e-book. Kemudian,  ia membagikan kepada anak didiknya. Agar mereka bisa melihat contoh penulisan cerita yang tepat.

Hari-hari terus berlalu, deadline (tenggat) pengumpulan karangan semakin dekat. Ironisnya, belum ada perkembangan signifikan. Anak-anak tak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Kendati demikian, ada satu karangan yang menggelitik hati sejak kali pertama dibaca. Yakni, tulisan Foni ihwal pengalamannya menginjak tanaman di kebun orang.

Alkisah, pada suatu hari ia dan teman-temannya pergi mencari kayu bakar di hutan. Dalam perjalanan pulang, salah satu dari mereka tak sengaja menginjak tanaman keladi di kebun milik Pak Batlajangin. Mereka akhirnya memutuskan untuk diam saja dan tidak mendatangi pemilik kebun untuk mengaku bersalah. Berikut petikan kalimat penutup dalam karangan Foni, “Aku mau kasih tahu Pak Batlajangin, tapi aku tidak suka melihat temanku dipukuli orang, aku jadi sedih melihat mereka sedih.” (halaman 202).

Nah, karangan itulah yang dikirim ke Redaksi Majalah Bobo. Karena awalnya hanya sepanjang 1 alinea, perlu banyak perbaikan, kemudian Diastri membimbing Foni mengggali aspek-aspek cerita dari pengalamannya tersebut. Alhasil, pada 17 September 2011, sang guru mengirimkan karya tulis anak didiknya via pos. Panjangnya 278 kata, sesuai ketentuan panitia, maksimal 500 kata.

Singkat cerita, hari pengumuman pemenang pun tiba. Salah satu murid Angga, Pengajar Muda di Fak-Fak terpilih mewakili delegasi Papua Barat. Perasaan Diastri biasa saja saat itu. Karena ia tak terlalu berharap muridnya juga bisa lolos. Mengingat karangan Foni sangat polos. Tapi ternyata, Alfonsina Melsasail alias Foni pun terpilih. Ia mewakili delegasi dari Provinsi Maluku. Setengah tak percaya tapi nyata adanya. Pada halaman 204 terpampang foto bersama Diastri, Foni, dan Anies Baswedan di Jakarta. Tampak di latar belakang spanduk bertuliskan, “Ayo kita jujur!”
Dua Semester Penuh Makna

Masih banyak kisah-kisah inspiratif lain termaktub dalam Indonesia Mengajar 2 ini. Isinya secara kolektif ditulis oleh 72 orang. Berupa sharing pengalaman para pengajar muda yang bertugas selama dua semester penuh makna. Generasi muda terbaik bangsa itu meninggalkan kenyamanan kota, kemapanan pekerjaan, dan kehangatan keluarga demi menunaikan janji kemerdekaan (men)cerdaskan kehidupan bangsa.

Tapi banyak orang bertanya pada Anies Baswedan, Pendiri sekaligus Ketua Gerakan Indonesia Mengajar, “Bagaimana mungkin ribuan anak muda mau bersusah-payah  mengabdi di tempat sulit dengan tugas berat?” Memang bagi sebagian kalangan, fenomena bekerja tanpa pamrih ini terkesan aneh. Namun baginya, itu bukan hal baru. “Anak muda Indonesia memang sejatinya seperti ini! Lihatlah sejarah. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang pada dasarnya punya kesempatan untuk menikmati hidup bagi dirinya sendiri, tetapi mereka memilih mengabdi dan berbuat untuk bangsanya (hal xv).”

Ir. Soekarno misalnya, ia lulus sebagai insinyur saat 95% bangsa kita masih buta huruf. Mohammad Hatta, seorang doktorandus dari Rotterdam. Hebatnya, mereka berdua memilih bersimbah peluh menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan. Padahal keduanya bisa hidup enak, jadi pegawai pemerintahan Belanda atau korporasi lain di dunia kala itu. Menurut Rektor Universitas Paramadina tersebut, sejatinya anak muda dan putra-putri Ibu Pertiwi memang memiliki DNA pejuang.

Sistematikanya, buku “Indonesia Mengajar 2” terdiri atas empat bab: “Cinta dan Pengabdian”, “Cerita Anak-anak Kami”, “Memupuk Optimisme”, dan “Buah Manis dari Usaha.” Ibarat potret apik dan juga menawan, di sini terdengar sorak sorai dan isak tangis haru, terasa kehangatan dan keramahtamahan warga setempat .

Sebelumnya pada masa persiapan, personel pengajar muda diseleksi secara ketat dan dilatih secara khusus oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Dari ribuan pendaftar hanya puluhan orang saja yang berhasil lolos. Mereka merupakan kader-kader pilihan. Sejak tahun 2010, Gerakan Indonesia Mengajar telah memberangkatkan 241 pengajar muda ke 143 sekolah di 16 kabupaten yang tersebar di 15 provinsi, yakni dari Aceh sampai Papua.
Pelancong Spesial

“Rasa lelah setelah berjalan satu jam hilang oleh segarnya air Sungai Mansat. Sungguh pengalaman tak terlupakan. Tidak ada bus, tempat rekreasi, makanan fast food, atau apa pun yang biasa menghiasi karya wisataku. Namun, inilah karya wisata paling sederhana dan unik yang pernah aku lakukan…“ (halaman 109).

Semula, Retnosari Hardaningsih enggan diajak bermain air di desa. Pengajar muda yang ditempatkan di SDN 09 Nanga Lungu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat itu berdalih  airnya kotor. Tapi kini di Sungai Mansat tiada alasan lagi. Di sana airnya jernih, melimpah, dan dingin. Akhirnya, semua terjun, berenang, dan menari bersama sampai basah kuyup.

Begitu salah satu penggalan kisah lain dari seorang gadis kota di pedalaman pulau Borneo. Di sana pula, karyawati perusahaan otomotif terkemuka tersebut kali pertama melihat kalajengking secara langsung (live). Sebelumnya, juara beladiri Shonriji Kempo tingkat nasional ini hanya melihat di gambar.

Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu juga merasakan asyiknya menjadi pelancong spesial. Biasanya seorang pemandu wisata (tour guide) memandu lebih dari satu orang wisatawan, tapi di Kalimantan 20 pemandu wisata memandu 1 orang. Bahkan jika ada buah-buahan segar di atas pohon, mereka bersedia memanjat dan mengambilkan. Murid-murid kelas 5 dan 6 SD itu sungguh sayang pada gurunya.

Akhir Juni 2012 silam, 72 pengajar muda kembali dari lokasi penempatan. Buku ini merangkum kisah pergulatan mereka di daerah pedalaman. Cara mereka menulis pun mengundang decak kagum. Bagaimana tidak? Tidak ada listrik bukan halangan. Mereka mengandalkan temaram cahaya pelita sebagai penerangan seadanya.

Karena semula merupakan kumpulan testimoni di blog Indonesia Mengajar, gaya bahasanya cenderung informal. Dalam konteks ini, peran editor sangat signifikan untuk “membakukannya” sesuai EYD. Pada beberapa bagian juga memuat foto-foto cantik, melukiskan keindahan alam dan aktivitas pembelajaran.

Sekadar rekomendasi, alangkah lebih baik jika gerakan semacam ini dilakukan oleh Universitas yang ada di Indonesia. Caranya dengan mengirim para mahasiswa tingkat akhirnya berbagi ilmu di daerah pedalaman. Konsepnya, semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata) tapi relatif lebih lama. Sebab menyitir anjuran Anies Baswedan, bukankah pendidikan anak bangsa memang tanggungjawab setiap akademisi?

Akhir kata, buku setebal 435 halaman ini membagikan inspirasi lewat jalur edukasi. Menyitir pendapat fotografer Edward Suhadi yang mengabadikan kontribusi anak bangsa tersebut, “Indonesia Mengajar ibarat senandung “lagu baru”. Pasca sekian lama kita melulu mendengarkan “lagu lama” tentang korupsi, kekerasan, dan ketidakpedulian yang menjemukan, kaum muda menyuarakan semangat perubahan demi masa depan Republik (res publica) yang lebih baik.” Selamat membaca dan salam pendidikan!

Tidak ada komentar: