Dimuat di Tabloid Bola, Kamis-Jumat/3-4 Januari 2013
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi BOLA
Oposan - Tahun 2012 telah
menjadi silam, ditandai dengan ritus pergantian kalender di rumah
masing-masing. Setahun penuh lembar sejarah pesepakbolaan nasional
dinodai kisruh antara PSSI dan KPSI. Kedua belah pihak bersikukuh
dengan ego yang menjulang. Alhasil, prestasi timnas Merah-Putih
anjlok. Tim Garuda kurang bertaji, walau hanya berlaga di kancah Asia
Tenggara (AFF) sekalipun. Pertanyaannya, adakah semangat rekonsiliasi
di tahun 2013 yang baru ini?
Mari sejenak kita urai akar dualisme
kompetisi, klub, dan timnas di tanah air. Awalnya, publik menuntut
Nurdin Halid lengser. Lantas, muncul kelompok K-78 yang mengusung
Djohar Arifin Husein sebagai kandidat suksesor. Tapi paska terpilih,
ia melanggar statuta, terutama terkait penentuan peserta liga IPL.
Kongres PSSI semula menetapkan ada 18 kontestan, sebagai kelanjutan
kompetisi ISL terdahulu. Tapi kemudian keputusan itu diubah secara
sepihak menjadi 24 tim.
Akhirnya, kelompok K-78 yang dimotori La
Nyalla Mattalitti pun meradang. Mereka menggelar kompetisi tandingan
dan menggagas berdirinya Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia
(KPSI). Alih-alih mencair, semakin lama konflik KPSI versus PSSI kian
panas. Hingga berbuntut pada dualisme yang notabene menggembosi
kekuatan timnas kebanggaan kita bersama.
Padahal gelaran paling dekat ialah ajang
kualifikasi Piala Asia 2015. Indonesia berada di grup yang relatif
berat. Kita harus bersaing ketat dengan Irak, Arab Saudi, dan China.
Mereka itu tim-tim besar yang memiliki materi pemain berkualitas,
tradisi, dan mental juara. Berdasar jadwal yang dirilis Konfederasi
Sepak bola Asia, pada pertandingan pertama timnas akan bertandang ke
markas juara Piala Asia 2007, Irak pada 6 Februari 2013 mendatang.
Dalam konteks ini, rekonsiliasi menjadi
harga mati. Setidaknya dengan komposisi pemain gabungan dari kompetisi
ISL dan IPL, kita bisa memberi perlawanan berarti. Tanpa bermaksud
meremehkan, jika nekad bertarung dengan timnas yang saat ini diakui
AFC dan FIFA, Indonesia bisa menjadi lumbung gol.
Otoritas sepakbola tertinggi dunia FIFA memang memerpanjang tenggat sampai Maret 2013 mendatang. Semula deadline
PSSI dan KPSI untuk berdamai jatuh pada tanggal 10 Desember 2012 lalu.
Untungnya, Zhang Jiong (Pelaksana Tugas Presiden AFC) berhasil melobi
FIFA. Jadi menyitir pendapat Sarman El Hakim, “Indonesia lolos dari
sanksi FIFA bukan atas jerih payah tim task force.” (Suara Merdeka: 30 Desember 2012).
Lebih lanjut, Ketua Masyarakat Sepak
Bola Indonesia (MSBI) Pusat tersebut memaparkan rasionalisasinya.
Ternyata beberapa bulan lagi akan digelar pemilihan Presiden AFC.
Andai Indonesia dikenai sanksi FIFA, otomatis hak suara kita hangus.
Nah…kesempatan itu dipakai Zhang Jiong untuk membantu Indonesia.
Harapannya, ketika pemilihan berlangusng, Indonesia sudi membalas
budi.
Energi Perubahan
Menurut Anthony Giddens, ada 3 kekuatan yang menopang kehidupan sebuah negara. Komponen tersebut ialah pemerintah (state), pihak swasta (private), dan gerakan civil society
(masyarakat madani). Sama halnya dalam sepak bola, jika menanti
intervensi pemerintah ibarat pungguk merindukan bulan. Pembiaran oleh
pemerintah (omission by state) masih terus berlanjut sampai detik ini. Selain itu, kepentingan politis dan bisnis begitu dominan menghegemoni ruh fair play yang seyogianya mengemuka di lapangan hijau.
Pada hemat penulis, guna menemukan solusi atas dualisme sepak bola Indonesia, kekuatan rakyat (people power) perlu
lebih dioptimalkan. Konkritnya, harus ada gerakan massa(l) seperti
saat kita menggulingkan Nurdin Halid. Tapi belajar dari pengalaman,
sepak bola harus dijauhkan dari kepentingan sempit dan egoistik. Sebab raison d’etre
PSSI yang digagas mendiang Ir. Soeratin ialah alat perjuangan untuk
mempersatukan bangsa dari Sabang sampai Merauke dan mengharumkan nama
Ibu Pertiwi di dunia internasional.
Alkisah, Soeratin melakukan pertemuan
marathon dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta,
Magelang, Jakarta, dan Bandung. Pertemuan itu diadakan secara
sembunyi-sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID). Pada
19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota di Indonesia
berkumpul di Yogyakarta. Mereka semua bersepakat mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia).
Istilah “sepakraga” kemudian
diganti dengan “sepakbola” dalam Kongres PSSI di Solo pada 1950. PSSI
mulai melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931. Hebatnya, ada
instruksi lisan yang diberikan kepada para pengurus inti tatkala kita
bertanding melawan klub Belanda, “Kalian harus menang!” Alhasil,
Soeratin menjadi ketua umum organisasi ini 11 kali berturut-turut.
Tapi kesibukan mengurus PSSI menyebabkan
Soeratin terpaksa keluar dari perusahaan Belanda tempat ia bekerja.
Lantas, ia mendirikan usaha sendiri (enterpreneuship). Paska
Jepang menjajah Indonesia dan perang revolusi kemerdekaan berkecamuk,
kehidupan ekonomi Soeratin menjadi semakin sulit. Rumahnya pun
diobrak-abrik militer Belanda. Ia kemudian terjun menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (Letkol)
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Soeratin_Sosrosoegondo).
Akhir kata, energi perubahan itu
bersifat netral. Alih-alih menggunakannya untuk berkonflik internal
lebih baik dimaksimalkan guna mengelola pembinaan usia dini, kompetisi
reguler, klub profesional, dan last but not least timnas yang solid. Bravo sepakbola Indonesia! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Yogyakarta dan Pecinta Timnas Garuda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar