Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Trimargono SH memancing kontroversi. Ia menuntut 2 terdakwa kasus
pemotongan bambu tumbang Budi Hermawan (28) dan M Misbachul Munir (21)
dengan hukuman bui satu bulan. Budi dan Munir dinilai JPU terbukti
melakukan kekerasan terhadap barang. Sungguh ironis karena menurut
kesaksian warga Desa Tampingan, Kecamatan Tegalrejo, keduanya justru
berniat membantu warga yang rumahnya tertimpa pohon bambu tumbang.
Kendati demikian, dalam sidang di
Pengadilan Negeri (PN) Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu
(2/1/2012) silam, Trimargono tetap bersikukuh keduanya terbukti
melakukan tindak pidana, “Kedua terdakwa kami nilai terbukti bersalah.
Kami meminta majelis hakim menghukum selama satu bulan penjara
dikurangi masa tahanan.”
Kadus Tampingan 1 Zazin memohon agar JPU
tidak menuntut terdakwa satu bulan penjara. “Kami undang Trimargono
untuk datang ke desa kami. Silahkan melihat sendiri fakta di lapangan,
jangan hanya berdasarkan laporan saja. Dia sama sekali belum pernah
melihat TKP. Silahkan melihat desa kami,” katanya (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/01/03/210590/Sidang-Bambu-Berakhir-Ricuh )
Pada hemat penulis, proses demokratisasi
berbanding lurus dengan independensi lembaga kejaksaan. Investigasi
khusus PBB (2002) menyatakan bahwa kemandirian para jaksa Indonesia
paling buruk di dunia (news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/2147019.stm). Rinciannya dapat dibaca di www.humanrights.asia/resources/journals-magazines/article2/0502/report-on-visit-to-indonesia-by-the-un-special-rapporteur-on-the-independence-of-judges-and-lawyers).
Tenyata ada oknum jaksa “hanky-panky”
yang menjalankan profesinya secara korup, sarat intervensi, dan “hobi”
menerima suap. Alhasil, ibarat kata pepatah akibat nila setitik rusak
susu sebelanga, seluruh Korps Kejaksaaan dari Sabang sampai Merauke pun
tercemar karena ulahnya.
Dua acungan jempol untuk Jaksa Agung
Basrief Arief karena berani melakukan otokritik. Basrief Arief secara
terbuka membeberkan jumlah personil yang dihukum sepanjang 2012.
Totalnya ada 188 jaksa dan 109 pegawai Tata Usaha (TU). Total ada 15
orang jaksa dibebaskan dari jabatan fungsional jaksa, 17 pegawai TU dan
dua orang jaksa dibebaskan dari jabatan struktural, 14 pegawai TU dan 8
jaksa dipecat. Sebanyak satu pegawai TU dan 5 Jaksa diberhentikan
tidak dengan hormat sebagai PNS (http://www.beritasatu.com/hukum/89665-delapan-jaksa-dipecat-sepanjang-2012.html)
Tuntutan Palsu
Tuntutan Palsu
Yang paling heboh tentu kasus Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing. Martha telah melancarkan
tuntutan palsu. Ia memasukkan kasus merek orang lain di Jawa Barat dalam
berkas kasasi Anand Krishna. Andi Saputra menemukan kejanggalan dalam
putusan kasasi MA terhadap Krishna Kumar Tolaram Gangtani alias Anand
Krishna (56) itu. Dalam amar memori kasasi, JPU mencantumkan kasus
pidana merek sebagai salah satu alasan kasasi.
Seperti termaktub dalam salinan putusan Anand Krishna yang diunduh Detikcom dari situs resmi MA (Rabu, 14/11/2012), pada halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi sbb:
“Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris
tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat
dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor
20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun
menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup
beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir
putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.”
Ternyata nomor perkara
20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek.
Dalam berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya
Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU
No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2
tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang
terdaftar milik pihak lain.
Anehnya, alasan kasasi JPU dalam perkara
Anand Krishna ternyata muncul dalam salinan putusan Anand Krishna.
Dalam salinan putusan Anand Krishna tersebut tertulis Panitera
Pengganti adalah Dulhusin dan Panitera Muda Pidana MA Machmud Rachmi.
Pertanyaannya, mengapa bisa muncul pertimbangan pidana merek versi JPU
Martha Berliana? Kenapa pula Hakim Agung Sofyan Sitompul, salah satu
anggota majelis kasasi MA yang menangani kasus Anand Krishna
menyetujuinya? (http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai-kasus-pidana-merek-untuk-kasasi-anand-krishna)
Mahfud MD pun berpendapat bahwa
kecerobohan semacam itu sudah menjadi modus operandi. Ada juga vonis
seseorang dalam pidana umum yang pertimbangannya menggunakan kasus
korupsi. Tragis bukan?
Dunia Memantau
Dunia Memantau
Kedatangan pengacara dari Komisi Hukum
Internasional Sir John Walsh dan Sekretaris Lewis Montaque menunjukkan
bahwa sistem hukum nasional sedang berada dalam titik nadir. Sebab di
seluruh dunia, putusan bebas tak bisa dikasasi oleh seorang jaksa. Tapi
kenapa ada pengecualian untuk kasus Anand Krishna di Indonesia?
Kini Open Trial UK fokus
menyoroti kejanggalan kasus baik secara formal acara maupun materi yang
menimpa aktivis spiritualis lintas agama tersebut http://www.opentrial.org/legal-dysfunction/item/162-the-intriguing-case-of-anand-krishna-in-indonesia.
Open Trial didirikan oleh Frank Richardson dengan motto “Seeing Justice Done”. Tujuannya untuk melawan secara sistematis ketidakadilan lembaga hukum yang bobrok lewat transparansi dan akuntabilitas. Caranya dengan mengadopsi metode lexpose, monitoring peradilan, dan mengungkap kedok oknum korup yang menggerogoti sistem yudisial.
Open Trial didirikan oleh Frank Richardson dengan motto “Seeing Justice Done”. Tujuannya untuk melawan secara sistematis ketidakadilan lembaga hukum yang bobrok lewat transparansi dan akuntabilitas. Caranya dengan mengadopsi metode lexpose, monitoring peradilan, dan mengungkap kedok oknum korup yang menggerogoti sistem yudisial.
Kemudian, Vishva Hindu Parishad
atau Dewan Hindu Dunia juga mengirimkan surat resmi kepada Presiden
Republik Indonesia (RI), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
disampaikan kepada Kedubes RI di New Delhi. Dalam surat yang
ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen)-nya, Swami Vigyananand
meminta agar, “Otoritas Indonesia yang terkait untuk segera mengambil
langkah-langkah untuk menegakkan dan memulihkan kebebasan Anand
Krishna.”
Swami Vigyananand menandaskan agar para
penjahat - termasuk oknum-oknum penegak hukum yang bertanggung jawab
telah merongrong Hak Asasi Manusia (HAM) Anand Krishna - harus dituntut
dan dijatuhi hukuman. Sehingga tidak ada orang lain lagi yang berani
mengulangi (kejahatan) serupa di masa depan.
Vishva Hindu Parishad merupakan
salah satu organisasi Hindu terbesar di dunia dan sangat berpengaruh
secara politik di India. Organisasi ini didirikan tahun 1964 dan
berpusat di New Delhi. Cabangnya ada di berbagai negara termasuk di
Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya lembaga internasional lain, Humanitad dan Natural World Organization (NWO) juga menunjukkan dukungan untuk Anand. Pendiri Humanitad, Sacha Stone yang juga Executive Director Program Millenium Development Goal (MDG)
kala itu mengingatkan, “Ketika hukum telah dilecehkan, dan ketika
integritas mereka-mereka yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum
malah diragukan, maka adalah tanggung jawab setiap orang untuk membantu
menegakkan hukum. Jika kita ingin mempertahankan kebebasan manusia yang
paling sakral.”
Ada TTS Saat Sidang?
Attitude is a little thing that makes a big difference.
Sikap ialah hal kecil yang membuat perbedaan besar. Begitu tandas
Winston Churchill (30 November 1874 – 24 Januari 1965). Alkisah, M
Irfan, pewarta foto harian Media Indonesia secara jeli berhasil mengabadikan seorang anggota DPR sedang menikmati film porno via Galaxy Tab
saat sidang paripurna di Gedung Parlemen (8/4/2011). Anggota DPR
tersebut bernama Arifinto. Aneka tanggapan negatif muncul terkait
tindakan anggota DPR RI dari komisi 5 itu.
Ironisnya, peristiwa memalukan semacam
itu kembali terjadi. Kali ini pelakunya ialah Jaksa Martha Berliana.
Selain suka datang telat dan tidur saat sidang, ia juga tertangkap
kamera mengisi TTS (Teka-Teki Silang) pada sidang Anand Krishna tanggal
15 November 2011 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Pada hemat penulis, kalau suka mengisi TTS silakan, toh itu hak dan selera pribadi. Tapi kenapa harus saat bersidang? Simak videonya yang sudah menyebarluas di http://www.youtube.com/watch?v=5Jd9kzwt8-E. Bukankah pejabat publik dibayar dengan uang pajak hasil keringat rakyat? Kami menggajimu bukan untuk mengisi TTS saat sidang.
Kelalaian fatal JPU Martha Berliana
Tobing di atas menjadi tamparan keras bagi korps kejaksaan. Karena
Kejaksaan Agung dan jajaran di bawahnya di daerah tengah melakukan
pembenahan internal. Kendati demikian, di balik setiap kejadian, selalu
ada hikmah yang bisa dipetik. Inilah momentum untuk becermin dan
membersihkan diri, sekaligus menunjukkan konsistensi Jaksa Agung
Basrief Arief untuk menindak oknum jaksa nakal yang melanggar sumpah
jabatan dan mengkhianati amanah penderitaan rakyat.
Pungkasnya, tahun 2013 bukan lagi zamannya semangat esprit de corps (kebersamaan satu korps) untuk menutup-nutupi tindakan tidak terpuji. Esprit de corps seyogianya
diabdikan demi hal-hal yang lebih positif, produktif, dan proporsional
sesuai dengan fungsi lembaga penegakan hukum di Indonesia. Salam
keadilan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar