Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, MJEDUCATION.CO, Kamis/17 Januari 2013
http://mjeducation.co/kisah-memikat-7-manusia-berhati-malaikat/
http://mjeducation.co/kisah-memikat-7-manusia-berhati-malaikat/
Judul: Hidden Heroes, Para Pahlawan Sunyi dengan Tindak Nyata
Penulis: Arif Koes dan Tim Kick Andy
Penyunting: Ikhdah Henny dan Ayu Windiyaningrum
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I/2012
Tebal: x + 238 halaman
ISBN: 978-602-8811-70-5
Harga: Rp49.000
Di sudut sunyi republik (res publica),
jauh dari hingar-bingar arogansi kekuasaan, rakyat berjuang dengan
penuh pengorbanan. Walau keterbatasan fisik dan kecingkrangan materi
melilit urat nadi, toh mereka terus berkontribusi bagi negeri. Pengabdian mereka melahirkan secercah harapan, masa depan Indonesia niscaya lebih baik.
Buku “Hidden Heroes, Para
Pahlawan Sunyi dengan Tindak Nyata” ini sebuah bukti bahwa masih ada
cinta di antara sesama putra-putri Ibu Pertiwi. Budaya gotong-royong
dan kesediaan berbagi belum sirna dari persada Nusantara.
Contohnya seperti termaktub dalam kisah
“Semangat Baja Manusia Gua” Cak Pepeng. Kenapa disebut “Manusia Gua”?
Karena sejak Ferrasta Soebardi mengalami Multiple Sclerosis (MS)
pada Juli 2005 - MS ialah penyakit yang menyerang Sistem Saraf Pusat
(SSP) – ia lebih sering berebahan di tempat tidur. Sekadar menegakkan
tubuh saja Cak Pepeng butuh bantuan piranti mekanik. Kamar tidurnya
tak begitu luas, hanya berukuran 5 x 4 meter, kemudian ia menamainya
“Gua Cinere”.
Tapi dua acungan jempol bagi Cak
Pepeng, keterbatasan fisik tak memadamkan jiwa sosial pria kelahiran
Sumenep, 23 September 1954 tersebut. Ia bertekad melestarikan kearifan
lokal. Langkah awalnya, Cak Pepeng menggagas penelitian ilmiah di 118
titik, mulai dari Jawa, Batak, hingga Manado. “Riset ini untuk
mengumpulkan dan mengidentifikasi semua local wisdom di Indonesia,” tandas komedian yang terkenal dengan gimmick khas “jaree-jareee” tersebut (halaman 30).
Tak sekadar berpangku tangan, eks
personil Sersan Prambors ini segera menyiapkan kader yang bersedia
tinggal selama minimal 3 bulan di sejumlah desa di pedalaman.
Tujuannya menggali potensi dan kepemimpinan lokal (local leadership).
Ia pun mengkritisi sistem pendidikan konvensional. Kenapa? Karena
sekolah umum cenderung mentransfer informasi saja. Sebagai solusi, pria
yang pernah bekerja sebagai event organizer GM Selo ini menawarkan konsep local job for local boy.
Artinya, generasi muda setempat musti mengembangkan potensi desanya masing-masing. Misalnya dengan berwirausaha alias menjadi entrepreneur.
Dalam konteks ini, pertumbuhan potensi lokal berbanding lurus dengan
kemajuan ekonomi warga. Alhasil, terbuka aneka lapangan kerja sehingga
tak usah lagi hijrah ke kota (urbanisasi).
Buku ini juga menyiratkan kecintaan Cak
Pepeng pada ilmu pengetahuan (sains). Ia bersikukuh melanjutkan studi
untuk meraih gelar Master di Fakultas Psikologi UI (Universitas
Indonesia). Pun tatkala menggarap tesis, ia terjun langsung ke Desa
Sumurugul, Purwokerto. Selama berhari-hari, salah satu penerima
penghargaan Kick Andy Heroes (2011) tersebut mewawancarai dan memberikan training dari atas kursi roda.
Sang bed-man juga tak pernah
kehilangan rasa humor. Salah satu yang paling dikenang warga Sumurugul
ialah dagelan berikut, “Saya adalah manusia yang tak perlu berebut
kursi dengan siapa pun. Karena saya sudah bawa kursi sendiri dari
rumah (halaman 33).” Bahkan pada perayaaan malam pergantian tahun, ia
juga melontarkan lawakan segar. Kata dia, ada selebritas yang terlebih
dahulu terserang MS ketimbang dirinya, yakni Addie MS. Penonton pun
sontak tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Apa resep Cak Pepang tetap ceria
kendati hidup bersama penyakit langka tersebut? Ia berbagi tips di
buku ini, caranya dengan memupuk innerchild. Tapi bukan childish alias kekanak-kanakan, menurutnya perilaku childish itu mudah marah, suka mengeluh, gampang menyerah, minta diperhatikan melulu, dan suka dilayani. Sebaliknya, innerchild ialah jiwa anak-anak yang ada dalam tubuh orang dewasa. “Coba perhatiin anak-anak kecil. Mereka pemaaf, enggak pernah jadi victim dari keadaannya,” ujarnya saat diwawancarai tim penulis (halaman 25).
Cak Pepeng juga menempuh jalur
pengobatan alternatif. Lintah disebar sebanyak-banyaknya dari ujung
kaki sampai kepala, mereka dibiarkan nacep dan menghisap
sendiri. Lintah-lintah tersebut mengumpul di bagian tubuh yang
darahnya paling kotor. Dari lintah yang hanya berukuran sekitar 2 ruas
jari, bisa menjadi 20 cm dan membesar dengan diameter 2-3 cm. Menurut
Cak Pepeng, seperti ada gelang-gelang di sekujur tubuhnya. Awalnya ia
merasa pegal-pegal, tapi lebih baik ketimbang kemoterapi yang justru
meninggalkan racun baru.
Pada aspek psikis, ia belajar
merelaksasikan diri agar terhindar dari stres dan emosi berlebihan. Ia
tak boleh terlalu senang atau pun terlalu sedih. Kemudian, Cak Pepeng
mengikuti milis khusus dan saling berbalas e-mail dengan Gary Craigh, seorang pakar EFT (Emotional Freedom Technique).
Intinya bagaimana senantiasa berbicara jujur dengan diri sendiri dan
menerima segala sesuatunya dengan ikhlas (halaman 23). Dalam konteks
ini, saraf boleh jadi tidak bekerja optimal tapi saraf semangat Pepeng
sungguh terbuat dari baja.
Di Balik Sampul Merah Putih
Masih ada kisah 6 tokoh lainnya dalam
buku bersampul merah putih ini. Antara lain, Andi Suhandi, pendiri
Sanggar Anak Matahari untuk para anak jalanan (anjal). Mengapa Andi
begitu perhatian kepada mereka? Karena anak kelima dari 6 bersaudara
itu notabene juga pernah malang-melintang di jalanan. Ia berkomitmen
mengentaskan anjal dari lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan yang
membelenggu jiwa mereka. Kisahnya termaktub dalam bab “Menerbitkan
‘Matahari’ dari Jalanan.”
Pria kelahiran Sukabumi ini sungguh
telaten mendidik para anjal. Dia mengajarkan pendidikan karakter,
keterampilan, seni, kemandirian, dan kepemimpinan. Sanggar yang
terletak di Kampung Pintu Air, Bekasi tersebut menjadi tempat
berkumpul, belajar, berkarya, dan berprestasi 100 anak binaannya.
Kini, tidak hanya anjal yang berproses di sanggar, tapi juga anak
yatim, golongan tidak mampu, dan putra-putri warga sekitar kampung.
Kisah selanjutnya tak kalah mengundang
decak kagum. Sepasang suami istri; Priska dan Fandy turut “Menyalakan
Asa dari Kegelapan.” Mereka merawat 80-an orang terbuang dengan aneka
keterbatasan. Baik difabel secara fisik maupun mental-emosional.
Kisaran usianya dari bayi, anak-anak, hingga kaum dewasa.
Ternyata, Priska pun tuna netra sejak
lahir. Dulu ia pernah diacuhkan keluarganya. Alhasil, dia dapat
berempati pada para penyandang disabilitas tersebut. Priska menamai
tempat perawatannya sebagai School of Life (SOL) (halaman 76 – 103).
Keteladanan hidup demi sebuah perubahan
lainnya datang dari Paris Sembiring. Awalnya, Direktur Bank Pohon ini
dikenal sebagai seorang pengayuh becak. Mirip Archimides yang
menemukan insight (pemahaman mendalam) saat sedang berendam di bak
mandi. Eureka! Paris juga menemukan ide membuat bank pohon ketika berteduh di bawah pohon mahoni.
Alkisah, pada penghujung tahun 1970-an,
siang itu kota Medan sedang panas-panasnya. Paska letih mengayuh
becak, Paris Sembiring memarkirkan alat transportasi sumber periuk
nasinya tersebut. Ia bernaung di bawah pohon sambil tidur-tiduran.
“Siapa tahu, rejeki datang dan penumpang datang membutuhkan jasanya,”
pikirnya.
Namun bukan penumpang yang datang, melainkan pluk! sebulir
biji mahoni jatuh tepat mengenai wajahnya. Lantas, ia menebar
pandangan ke sekitar. Ternyata biji-biji itu berserakan di mana-mana.
“Biji mahoni itu saya ambil, saya tanam, berkembang besar seperti ini,”
ujarnya saat diwawancarai tim penulis di rumah rindang berpepohonan
lebat di Jalan Pijer Podi Nomor 36, Simpang Pos, Medan.
Uniknya, ia juga membagikan bibit-bibit
pohonnya secara gratis kepada masyarakat. Paris mengatakan bahwa
tema-tema besar seperti global warming dan green life style
tak hinggap di benak lulusan SD ini. “Pohon mahoni besar itu sudah
memberiku keteduhan saat tidur siang. Jadi, tergerak hatiku membibitkan
bijinya, menanamnya, dan membagi-bagikan bibitnya kepada sebanyak
mungkin orang” (halaman 109).
Hasilnya, ia tercatat 3 kali mendapat
penghargaan sebagai penyumbang pohon terbanyak. Anugerah tersebut
diberikan oleh Gubernur Sumatera Utara dan Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) Republik Indonesia (RI). Ada pula sekitar 45 piagam
berkaitan kiprahnya memperbaiki ekosistem, salah satunya Piala
Kalpataru 2003.
Menjadikan hidup lebih bermakna juga
dilakukan “Sang Pendobrak Jeratan Adat” bernama Johannes Barnabas
Ndolu. Ia berjuang untuk tanah leluhurnnya di Rote Ndao NTT (Nusa
Tenggara Timur). Sehingga masyarakat setempat bisa terbebas dari
lilitan hutang turun-temurun. Dulu mereka begitu loyal menghamburkan
uang demi sebuah ritual adat, padahal ada 130.000 warga Rote Ndao yang
belum sekolah dan masih buta huruf.
Sebagai solusi John menggagas “Mahar” alias Tu’u Pendidikan.
Ia ingin generasi muda Rote mengikuti jejak langkah Prof. Dr.
Adrianus Mooy, mantan gubernur Bank Indonesia (BI) dan Prof. Dr. Ir.
Herman Johannes, yang pernah menjabat sebagai Rektor UGM (Universitas
Gadjah Mada) Yogyakarta. “Sekalipun sebagai ketua forum adat tidak
mendapatkan gaji dari pemerintah, tetapi ini merupakan tugas mulia.
Oleh sebab itu, saya ikhlas mengabdikan hidup saya bagi masyarakat
Rote Ndao tercinta” (halaman 160).
Selanjutnya, Lies Koesbiono menyediakan
“Panggung Dunia untuk Penyandang Cacat”. Berkat dedikasi Lies, ia
memberi kaum difabel ruang untuk mengembangkan bakat lewat Yayasan GR
Siswa Terpadu. Alhasil, pertunjukan mereka sungguh naik panggung di
dalam dan luar negeri. Sejak 1994, mereka pernah pentas di Surabaya,
Medan, Padang, Cirebon, Bali, Bandung, dan Pontianak. Setahun
berselang, mereka juga merambah mancanegara di Beijing, China (halaman
183).
Terakhir tapi penting, kisah Robin Lim
yang menyelamatkan kaum ibu dan para generasi baru. Berawal dari
kehilangan ketiga perempuan terdekatnya, ia tergerak menolong ibu-ibu
yang akan melahirkan. Sudah banyak sekali pasien yang ditolongnya, ia
rela menjual rumah dan harta bendanya di Amerika Seriakat sana. Kini
Robin tinggal di Indonesia, tepatnya di Banjar Nyuh Kuning, Ubud,
Bali.
Menurutnya, risiko kematian saat
persalinan dan komplikasi kehamilan perempuan di Indonesia 300 kali
lebih besar ketimbang perempuan di negara maju, mayoritas disebabkan
oleh masalah finansial. Tidak sekadar bermanis kata, Robin Lim bersama
stafnya memfasilitasi proses persalinan sehat tanpa biaya. Selain
itu, lewat Yayasan Bumi Sehat, Robin juga mempromosikan kehamilan
sehat, alami, dan nyaman, salah satunya dengan proses bersalin di
dalam air (waterbirth).
Tiada mawar tanpa duri, satu kelemahan
buku ini ialah pada bagian foto-foto karena masih hitam-putih.
Alangkah baiknya, jika pada edisi cetak selanjutnya juga menampilkan
versi berwarna.
Terlepas dari kelemahan tersebut, buku
setebal 238 halaman ini sukses mendokumentasikan semangat 7 manusia
berhati malaikat. Akhir kata, sepakat dengan pendapat Andy F. Noya,
“Besar harapan saya cerita tentang para pahlawan dalam buku ini dapat
mendorong Anda – apa pun pekerjaan Anda – untuk berbuat sesuatu yang
berarti bagi masyarakat di sekitar Anda. Dengan demikian suatu hari
nanti saya berharap tidak lagi melihat tayangan kekerasan di televisi.
Tidak lagi melihat antarsesama saling membantai. Tidak lagi melihat
rumah-rumah yang dibakar hanya karena perkara kecil, tidak lagi
melihat bentrokan berdarah antarwarga, dan tak lagi melihat kejahatan
merajarela. Semua itu akan berganti dengan semangat berbagi, semangat
saling menolong, dan semangat saling mencintai antarsesama manusia.
Dan perubahan itu berawal dari diri Anda…” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar