Dimuat di Kompas.com Kamis, 31 Januari 2013 | 00:54 WIB
Judul: Go West and Gowes
Penulis: Budiman Hakim
Penerbit: B-first Bentang Pustaka
Cetakan: 1/November 2012
Tebal: xv + 264 halaman
ISBN: 899-221-308-2
Harga: Rp48.000
Jika Anda berniat belajar bahasa
Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah EYD, jangan membaca buku
ini. Kenapa? Sebab walau penulisnya sarjana S1 jebolan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Budiman Hakim lebih memilih
penggunaan bahasa yang luwes.
Argumentasi adik kandung Chappy Hakim
ini cukup masuk akal. Menurut observasinya, orang Indonesia enggan
membaca karena lebih suka berbicara secara lisan. Oleh sebab itu,
lewat buku ini ayah 2 anak tersebut sekadar ngobrol dengan
pembaca. “Go West and Gowes, Catatan Seorang Copywriter 3” merupakan
buah pena ke-5-nya. Ia relatif konsisten dengan kekhasan gaya bahasa
santainya.
Pada bab “Pengecut-pengecut Dunia Maya” pekerja periklanan ini mengkritisi para pemilik akun palsu di jagat cyber.
Kaum anonim tersebut tak berani menggunakan nama asli. Foto profilnya
pun disamarkan. Mereka “hobi” sekali mengomentari pendapat orang lain
dengan bahasa kasar dan kata-kata kotor.
Isinya melulu berhasrat menyerang dan
menghakimi pemikiran seseorang. Mulai dari memaki-maki, mengadu domba,
memfitnah, menyebarkan sentimen kebencian bernuansa SARA, sampai
menjelek-jelekkan karakter member lainnya (halaman 135).
Penulis menganalogikan mereka itu
ibarat tikus got. Binatang yang mendekam di dalam got di pojok tempat
gelap. Kadang memang tikus itu nongol keluar dari sarangnya, tapi kalau ada gerakan dan suara sedikit saja, syahdan terbirit-birit kembali ke liang persembunyian.
Ada sebuah kisah nyata, tatkala gempa
dahsyat menggoyang daerah Padang pada 30 September 2009 silam, penulis
membaca berita di Facebook, “Nasi goreng dan air minum
cuma-cuma untuk siapa saja….Tolong sebarkan ke orang yang
membutuhkan.” Lalu, teman sekantornya, Melissa mengecek kebenaran
pengumuman tersebut. Ternyata berita itu hoax (bohong) yang membuat orang gigit jari.
Ketika salah satu kerabat Melissa datang ke restoran tersebut, mereka tetap disuruh membayar, “Bayangin orang udah kehilangan orang tercinta, tiada tempat berteduh, laper, jalan kaki ke sana eh malah dibohongin oleh para tikus got…”(halaman 137).
Sistematika buku ini terdiri atas 27
refleksi pendek. Sehingga bisa dibaca sembari menikmati secangkir teh
hangat. Antara lain, “Yuyun Akupunkturis Hebat,”
“Putal…Putaal…Putaall!,” “Filosofi Uban,” dan “Anak Kecil Adalah Peniru
Yang Hebat.” Menurut penulis, pada hakikatnya dunia ini ibarat sebuah
bioskop raksasa. Kadang seseorang menjadi penonton, kadang ia
terlibat dalam lakon cerita, tapi yang jelas ada Sutradaranya.
Lewat buku ini, penulis juga berbagi
pengalaman menyentuh hati. Ia mengutip renungan kakak ke-2-nya, Chappy
Hakim. Beliau sempat menjadi KASAU (Kepala Staf Angkatan Udara)
Republik Indonesia (RI).
Alkisah, Charles Plumb sukses
menjalankan misi terbang tempur dalam 75 sorti (penerbangan) selama
perang Vietnam berlangsung. Namun, akhirnya pesawat Fighter Pilot USA kebanggaannya tertembak jatuh oleh rudal SAM (Surface to Air Missile), senjata penangkis serangan udara tentara Vietcong.
Untung Plumb berhasil menyelamatkan
diri dengan kursi pelontar dan mendarat mulus berkat parasutnya yang
berfungsi optimal. Tapi karena mendarat di daerah musuh, ia ditangkap,
disiksa, dan dipenjara selama 6 tahun.
Sekembalinya ke Amerika Serikat, ia
mengajar dan berceramah ihwal bagaimana seorang prajurit menjalankan
tugas negara dengan setia. Dari mulai berperang sebagai pilot jet
tempur, tertembak musuh, ditangkap, ditawan, disiksa, hingga selamat
pulang ke tanah air. Pengalaman berharga itu ia bagikan secara
cuma-cuma kepada generasi masa depan penerus bangsa USA (halaman 176).
Pada suatu sore, saat Plum dan istrinya
sedang bersantai di sebuah restoran, seseorang di seberang meja datang
menghampiri. Orang tersebut menyapa dengan ramah, “Halo, Anda Charles
Plum, pilot jet tempur yang berpangkalan di Kapal Induk Kitty Hawk dan pernah tertembak jatuh di Vietnam, bukan?” Setengah tertegun, Plumb balik bertanya, “Bagaimana Anda bisa tahu?”
Ternyata orang tersebut ialah awak
kapal yang bertugas melipat parasut. Terbayang kembali di layar benak
Plumb. Sang kelasi laut yang penuh dedikasi itu menghabiskan waktu
berjam-jam di salah satu sudut kapal perang yang panas, ia melipat
dengan super hati-hati setiap parasut yang kelak akan digunakan oleh
para pilot menyelamatkan diri bila tertembak musuh.
Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari
manusia cenderung terjebak dalam rutinitas. Sehingga lupa atau bahkan
terlalu angkuh untuk sekadar menyapa orang lain dengan “halo,” “monggo
silakan,” atau “maaf,” dan juga untuk menyampaikan rasa “terimakasih”.
Kita alpa bahwa bisa jadi salah satu dari mereka ialah orang yang
“melipat parasut” kita (halaman 179).
Buku setebal 264 ini sejatinya
kumpulan renungan filosofis. Bacaan yang pas untuk merenungkan makna
ziarah hidup. Walau gaya bahasa Om Bud (panggilan akrab penulis)
terkesan slengean (santai), aneka nilai keutamaan tersaji di dalamnya. Go West and Gowes sebuah penghiburan bagi masyarakat Indonesia yang galau. Selamat membaca! (T.
Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah
Alam), Ekskul bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan
TK Pangudi Luhur, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar