Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, MJEDUCATION.CO, Sabtu 2 Februari 2013
http://mjeducation.co/konsistensi-belajar-hidup-secara-alami-konsistensi-belajar-hidup-secara-alami/
Sejak medio 2012 silam hingga kini
PKBM Angon bekerjasama dengan Yayasan Mata Air Yogyakarta. Kebetulan
penulis didaulat menjadi guru ekstrakurikuler bahasa Inggris di sana.
Setiap Jumat pagi (09.00-10.00 WIB) mengampu Kelas Persiapan (KP)
Besar. Walau muridnya hanya 5 anak tapi suasana belajar cukup meriah.
Usia Farel, Juan, Pandya, Amabel, dan Tita masih 4-5 tahun, jadi
sedang lucu-lucunya. Tapi dalam opini ini penulis tak akan membahas
ihwal pembelajaran bahasa Inggrisnya, melainkan tentang kesadaran
ekologis yang ditanamkan sejak dini oleh para pendidik.
Bunda Sisca, nama salah satu guru
kelas itu. Beliau begitu konsisten dengan pola pembelajaran ramah
lingkungan. Tak sekadar beretorika tapi lewat kegiatan nyata, misalnya
ketika membuat kerajinan tangan anyaman menggunakan daun pisang.
Selain itu, saat belajar tentang binatang, mereka membuat miniatur
aneka satwa dari kertas, sedotan, dan kardus bekas (recycle). Tapi
yang paling kasat mata ialah waktu makan siang bersama di aula
sekolah. Nasi, sayur, dan lauknya organik, pun semua masakan tanpa
dibumbui MSG. Bahkan ketika minum selalu dihabiskan dan bila membilas
gelas harus hemat air. Caranya dengan menghidupkan aliran air keran
secukupnya saja.
Menurut penulis, kebiasaan
menghemat air memang perlu dilatih. Kenapa? Karena kelangkaan air
dunia kian terasa. Awalnya, minyak bumi dianggap sebagai sumber daya
alam (SDA) yang paling besar mengalami penyusutan. Ternyata, tersedia
alternatif energi manakala minyak benar-benar habis, semisal lewat
tenaga surya alias sinar matahari. Justru kelangkaan air bersihlah
yang tak dapat digantikan oleh sumber lain sebab air termasuk kategori
SDA indispensable. Sehingga, menyitir pendapat Mikhail (Sergeyevich) Gorbachev dalam buku karya Anand Krishna, From Bali to Belo Horizonte,
“Jika Perang Dunia (PD) III terjadi, itu bukan karena rebutan sumur
minyak ataupun wilayah kekuasaan tapi karena memperebutkan sumber mata
air.” (Koperasi Global Anand Krishna, 2009)
Lebih lanjut, menurut Anwari WMK, seorang penulis dan pengamat lingkungan, ada dua aspek penyebab kelangkaan air.
Pertama, berkaitan erat
dengan penyedotan air tanah seperti terjadi di Jakarta. Baik rumah
tangga, kantor pemerintahan, pengelola gedung, ruko maupun apartemen
berkompetisi menghisap air dari perut bumi. Akibatnya, selain air
bersih kian langka, tanah juga ambles sedalam 60-180 cm (1982-1997).
Penyedotan air tanah itu pun berdampak pada terjadinya intrusi air
laut. Tak ayal kini banjir telah menjangkau kawasan Jakarta Pusat,
korosi atau pengeroposan pondasi dan tiang pancang gedung-gedung
pencakar langit menjadi ancaman yang menghantui warga.
Kedua, berhubungan erat
pula dengan pasokan air bersih oleh perusahaan air minum. Tak kurang
dari 40% kebutuhan air bersih penduduk di kawasan perkotaan dipasok
oleh perusahaan air mineral dalam kemasan. Akibatnya, perlombaan
menyedot air tanah secara masif dalam skala makro kian menjadi-jadi.
Ironisnya, ternyata kualitas air
mineral tersebut tak semurni layaknya di iklan. Pada perayaan Natal
(25/12/2012) di Dusun Surowono, Romo Paroki Stasi Santo Petrus Paulus
Klaten Jawa Tengah, V. Kirdjito Pr membawa TDS (Total Dissolved Solids)
meter, yakni sebuah alat sederhana untuk mengukur tingkat kelayakan air
minum. Lantas, alat tersebut dicelupkan ke dalam air hujan yang ada
di kendi-kendi yang dibawa warga setempat. Angkanya (hanya) 28 yang
notabene lebih sehat ketimbang air mineral dalam kemasan di pasaran.
“Air mineral dalam botol yang
biasa kita minum itu angkanya 200. Sementara standar air PDAM di
berbagai daerah di Indonesia angkanya 1.000. Jadi, air hujan yang kita
tampung ini jauh lebih sehat karena tingkat cemarannya sangat
rendah,” tandas Romo V. Kirdjito dengan mantap (Cinta Malem Ginting, Sinar Harapan Online: 2012)
Kenapa Organik?
Penulis bersepakat dengan tesis Tri Kusumastuti (38). Pemilik resto Basilia Café and Dine
di Semarang itu berpendapat bahwa makanan tidak sekadar enak,
mengenyangkan, tapi juga harus bergizi, menyehatkan, dan ramah
lingkungan. Wanita kelahiran Kudus tersebut membuka restoran organik
dengan konsep Natural Kitchen. Ia sudah menyiapkan diri sejak
17 tahun silam. Diawali dengan riset lapangan dan berinteraksi langsung
dengan para petani organik di Salatiga dan Solo (Noni Arnee, Suara Merdeka: 2012).
Kemudian, untuk konsumsi
sehari-hari siswa-siswi Mata Air Yogyakarta, mereka bekerja sama
dengan Komunitas Anak Lereng (Merapi) Indonesia. Lahan pertanian
organiknya tersebar di Medari Sleman, Kulon Progo, Cangkringan
Kaliurang, dan Bale Bambu Farm di Pakem.
Agar tak sekadar menyantap makanan organik siap saji di meja makan, anak-anak juga diajak langsung blusukan
ke kebun sayur organik di PKBM Angon Dusun Mustokoredjo, Pasar Stan,
Maguwoharjo, Yogyakarta. Pada Selasa (27/11/2012) mereka praktik
menyemaikan biji-biji cabai. Kemudian, menanam bibit cabai di bedengan.
Tak lupa turut memupuk dengan pupuk kandang dan menyirami dengan air
dari irigasi sederhana di sekitar kebun.
Seluruh areal pertanian dan
peternakan di Angon memang tak memakai pestisida. Bahkan untuk pakan
ternak bebek, kambing, ayam, ikan semua menggunakan metode fermentasi.
Sisa-sisa tanaman enceng gondok, kangkung, pelepah pisang, dll diolah
menjadi pakan sehat dan murah. Memang butuh kesabaran untuk menanti
proses peragiannya.
Lewat aktivitas tersebut,
anak-anak belajar menghargai proses dan (mukjizat) kehidupan. Ternyata
untuk menghasilkan cabai merah yang siap petik untuk dibuat sambal
butuh waktu minimal 3 bulan. Itu pun harus tekun merawat dengan
menyiangi rumput dan menyirami bila hujan tak sedang turun.
Sebagai puncaknya, mereka boleh memanen cabai langsung dari tanaman. Cara memetiknya pun ada teknik khusus, bagian cuping
cabai harus diikutsertakan, karena kaya kandungan zat antioksidan yang
berguna bagi kesehatan tubuh. Seluruh hasil panen tersebut boleh
dibawa pulang, “Silakan minta Mama membuatkan sambal untuk sajian
tempe penyet!” Bonusnya, mereka juga boleh memetik kacang panjang,
tomat, terong (buah), seledri, loncang, bayam, kangkung, selada
(daun), dan kacang tanah, ubi jalar (umbi).
Akhir kata, kehidupan umat manusia
dewasa ini memang sarat kerusakan ekologis yang parah. Dari
menipisnya cadangan sumber daya alam, polusi air dan udara, hujan
asam, rusaknya habitat flora dan fauna, terancamnya terumbu karang,
pemanasan global (global warming), efek rumah kaca, hingga
membesarnya lubang ozon. Dunia pendidikan butuh proses pembelajaran
yang menghasilkan perubahan sikap, sehingga generasi penerus bangsa
(lebih) menghargai lingkungan hidup dari mikrokosmos hingga
makrokosmos. Salam hijau!
Sumber Foto: http://thegreenliferesourcecenter.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar