Februari 01, 2013

Konsistensi (Belajar) Hidup secara Alami

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, MJEDUCATION.CO, Sabtu 2 Februari 2013

Sejak medio 2012 silam hingga kini PKBM Angon bekerjasama dengan Yayasan Mata Air Yogyakarta. Kebetulan penulis didaulat menjadi guru ekstrakurikuler bahasa Inggris di sana. Setiap Jumat pagi (09.00-10.00 WIB) mengampu Kelas Persiapan (KP) Besar. Walau muridnya hanya 5 anak tapi suasana belajar cukup meriah. Usia Farel, Juan, Pandya, Amabel, dan Tita masih 4-5 tahun, jadi sedang lucu-lucunya. Tapi dalam opini ini penulis tak akan membahas ihwal pembelajaran bahasa Inggrisnya, melainkan tentang kesadaran ekologis yang ditanamkan sejak dini oleh para pendidik.

Bunda Sisca, nama salah satu guru kelas itu. Beliau begitu konsisten dengan pola pembelajaran ramah lingkungan. Tak sekadar beretorika tapi lewat kegiatan nyata, misalnya ketika membuat kerajinan tangan anyaman menggunakan daun pisang. Selain itu, saat belajar tentang binatang, mereka membuat miniatur aneka satwa dari kertas, sedotan, dan kardus bekas (recycle). Tapi yang paling kasat mata ialah waktu makan siang bersama di aula sekolah. Nasi, sayur, dan lauknya organik, pun semua masakan tanpa dibumbui MSG. Bahkan ketika minum selalu dihabiskan dan bila membilas gelas harus hemat air. Caranya dengan menghidupkan aliran air keran secukupnya saja.

Menurut penulis, kebiasaan menghemat air memang perlu dilatih. Kenapa? Karena kelangkaan air dunia kian terasa. Awalnya, minyak bumi dianggap sebagai sumber daya alam (SDA) yang paling besar mengalami penyusutan. Ternyata, tersedia alternatif energi manakala minyak  benar-benar habis, semisal lewat tenaga surya alias sinar matahari. Justru kelangkaan air bersihlah yang tak dapat digantikan oleh sumber lain sebab air termasuk kategori SDA indispensable. Sehingga, menyitir pendapat Mikhail (Sergeyevich) Gorbachev dalam buku karya Anand Krishna, From Bali to Belo Horizonte, “Jika Perang Dunia (PD) III terjadi, itu bukan karena rebutan sumur minyak ataupun wilayah kekuasaan tapi karena memperebutkan sumber mata air.” (Koperasi Global Anand Krishna, 2009)

Lebih lanjut, menurut Anwari WMK, seorang penulis dan pengamat lingkungan, ada dua aspek penyebab kelangkaan air.

Pertama, berkaitan erat dengan penyedotan air tanah seperti terjadi di Jakarta. Baik rumah tangga, kantor pemerintahan, pengelola gedung, ruko maupun apartemen berkompetisi menghisap air dari perut bumi. Akibatnya, selain air bersih kian langka, tanah juga ambles sedalam 60-180 cm (1982-1997). Penyedotan air tanah itu pun berdampak pada terjadinya intrusi air laut. Tak ayal kini banjir telah menjangkau kawasan Jakarta Pusat, korosi atau pengeroposan pondasi dan tiang pancang gedung-gedung pencakar langit menjadi ancaman yang menghantui warga.

Kedua, berhubungan erat pula dengan pasokan air bersih oleh perusahaan air minum. Tak kurang dari 40% kebutuhan air bersih penduduk di kawasan perkotaan dipasok oleh perusahaan air mineral dalam kemasan. Akibatnya, perlombaan menyedot air tanah secara masif dalam skala makro kian menjadi-jadi.

Ironisnya, ternyata kualitas air mineral tersebut tak semurni layaknya di iklan. Pada perayaan Natal (25/12/2012) di Dusun Surowono, Romo Paroki Stasi Santo Petrus Paulus Klaten Jawa Tengah, V. Kirdjito Pr membawa TDS (Total Dissolved Solids) meter, yakni sebuah alat sederhana untuk mengukur tingkat kelayakan air minum. Lantas, alat tersebut dicelupkan ke dalam air hujan yang ada di kendi-kendi yang dibawa warga setempat. Angkanya (hanya) 28 yang notabene lebih sehat ketimbang air mineral dalam kemasan di pasaran.

“Air mineral dalam botol yang biasa kita minum itu angkanya 200. Sementara standar air PDAM di berbagai daerah di Indonesia angkanya 1.000. Jadi, air hujan yang kita tampung ini jauh lebih sehat karena tingkat cemarannya sangat rendah,” tandas Romo V. Kirdjito dengan mantap (Cinta Malem Ginting, Sinar Harapan Online: 2012)

Kenapa Organik?

Penulis bersepakat dengan tesis Tri Kusumastuti (38). Pemilik resto Basilia Café and Dine di Semarang itu berpendapat bahwa makanan tidak sekadar enak, mengenyangkan, tapi juga harus bergizi, menyehatkan, dan ramah lingkungan. Wanita kelahiran Kudus tersebut membuka restoran organik dengan konsep Natural Kitchen. Ia sudah menyiapkan diri sejak 17 tahun silam. Diawali dengan riset lapangan dan berinteraksi langsung dengan para petani organik di Salatiga dan Solo (Noni Arnee, Suara Merdeka: 2012).

Kemudian, untuk konsumsi sehari-hari siswa-siswi Mata Air Yogyakarta, mereka bekerja sama dengan Komunitas Anak Lereng (Merapi) Indonesia. Lahan pertanian organiknya tersebar di Medari Sleman, Kulon Progo, Cangkringan Kaliurang, dan Bale Bambu Farm di Pakem.

Agar tak sekadar menyantap makanan organik siap saji di meja makan, anak-anak juga diajak langsung blusukan ke kebun sayur organik di PKBM Angon Dusun Mustokoredjo, Pasar Stan, Maguwoharjo, Yogyakarta. Pada Selasa (27/11/2012) mereka praktik menyemaikan biji-biji cabai. Kemudian, menanam bibit cabai di bedengan. Tak lupa turut memupuk dengan pupuk kandang dan menyirami dengan air dari irigasi sederhana di sekitar kebun.

Seluruh areal pertanian dan peternakan di Angon memang tak memakai pestisida. Bahkan untuk pakan ternak bebek, kambing, ayam, ikan semua menggunakan metode fermentasi. Sisa-sisa tanaman enceng gondok, kangkung, pelepah pisang, dll diolah menjadi pakan sehat dan murah. Memang butuh kesabaran untuk menanti proses peragiannya.

Lewat aktivitas tersebut, anak-anak belajar menghargai proses dan (mukjizat) kehidupan. Ternyata untuk menghasilkan cabai merah yang siap petik untuk dibuat sambal butuh waktu minimal 3 bulan. Itu pun harus tekun merawat dengan menyiangi rumput dan menyirami bila hujan tak sedang turun.

Sebagai puncaknya, mereka boleh memanen cabai langsung dari tanaman. Cara memetiknya pun ada teknik khusus, bagian cuping cabai harus diikutsertakan, karena kaya kandungan zat antioksidan yang berguna bagi kesehatan tubuh. Seluruh hasil panen tersebut boleh dibawa pulang, “Silakan minta Mama membuatkan sambal untuk sajian tempe penyet!” Bonusnya, mereka juga boleh memetik kacang panjang, tomat, terong (buah), seledri, loncang, bayam, kangkung, selada (daun), dan kacang tanah, ubi jalar (umbi).

Akhir kata, kehidupan umat manusia dewasa ini memang sarat kerusakan ekologis yang parah. Dari menipisnya cadangan sumber daya alam, polusi air dan udara, hujan asam, rusaknya habitat flora dan fauna, terancamnya terumbu karang, pemanasan global (global warming), efek rumah kaca, hingga membesarnya lubang ozon. Dunia pendidikan butuh proses pembelajaran yang menghasilkan perubahan sikap, sehingga generasi penerus bangsa (lebih) menghargai lingkungan hidup dari mikrokosmos hingga makrokosmos. Salam hijau!

Tidak ada komentar: