Februari 27, 2013

Petualangan Multikultur di Negeri Kangguru

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/28 Februari 2013

Judul: Meditasi di Sydney
Subjudul: Sebuah Perjalanan Hening di Tengah Keramaian Kota Sydney, Australia
Penulis: Krishnamurti
Penerbit: Pohon Cahaya Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-602-9485-32-5
Harga: Rp50.000

Pernahkah Anda mendengar ihwal gaya menulis live in? Krishnamurti ialah salah satu praktisinya. Ia memakai kalimat-kalimat pendek dan memaparkan latar belakang lahirnya petuah bijak. Salah satu contohnya, “Ibarat sebuah sepeda, demikian juga pikiran manusia. Ada waktunya untuk diparkir sejenak. Tidak digunakan, cukup hanya didiamkan (halaman 67).”

Insight (pemahaman) tersebut diperoleh di Sydney. Penulis mengamati keberadaan tempat parkir sepeda di salah satu kota di negeri kangguru itu. Kendaraan kayuh memang mendapat tempat terhormat di sana. Pengendara sepeda memiliki hak yang sama dengan pengemudi kendaraan bermotor.

Hingga tahun 2013 ini, Krishnamurti sudah menulis 4 buku. Meditasi di Sydney  terbit pasca 3 buku lainnya, yakni Si Monyet Cerdik, Hypno Visual dan NLP ala Backpacker. Ia juga menggandeng rekan penulis lain, seperti Vanditya dan Istoto.

Bukunya kali ini memuat otokritik seorang pembicara publik. Semakin memahami cara kerja otak, serta kaitan antara kata dan bahasa, semakin takut ia berbicara. Sebab, dampaknya begitu kuat terhadap diri pendengar. Dalam konteks ini, kesadaran menjadi penting. Sistematikanya terdiri atas 25 bab, dari “Persiapan Sebelum Berangkat” sampai “Ada Awal Ada Akhir”,  isinya semacam petualangan multikultur.

Di Australia, ia bertemu dengan beragam tipe manusia dari pelbagai latar belakang budaya. Salah satunya bernama Pablo Melendez, seorang backpacker asal Chile. Sejak berusia 28 tahun, Pablo sudah memutuskan keliling dunia. Ia menjual seluruh aset kekayaan miliknya. Selama 3 tahun nonstop, Pablo blusukan dari satu negara melintasi negara lainnya. “Saya mau keluar dari jebakan kerja yang seolah membuat diri saya jadi seperti kuda,” jelasnya di halaman 182.

Buku ini juga jeli memotret hal sederhana yang membuat pembaca berdecak kagum. Salah satunya termaktub dalam puisi, “Tuhan ada dimana-mana. Ia ada di terik cerah mentari, Ia ada di empat burung yang terbang melintas di awan, Ia ada di udara segar yang melayang-layang membawa damai di dada, Ia ada di kehijauan dedaunan, Ia ada di detak nafas, Ia ada di hangat secangkir teh, Ia ada di aneka suara pelbagai bahasa dan bangsa… (Pagi di Pelabuhan Sydney, 29 Maret 2012)”

Pada bagian pengantar, penulis mengakui bahwa buku ini bukan fiksi alias semua berdasarkan kisah nyata. Tujuannya untuk menginspirasi kaum muda Indonesia, agar mereka berani keluar dari kamar dan pergi melanglang buana, “Kuasailah dunia, kibarkan Sang Saka Merah Putih di negeri-negeri yang engkau singgahi (halaman 204).”

Di buku ini terungkap pula bahwa kota Darwin berbeda 180 derajat dari Sydney. Darwin relatif sepi dan jauh lebih teduh, di sepanjang tepi jalan banyak ditumbuhi pohon besar. Di sana, penulis bertemu dengan Beth, seorang pekerja sosial dari Filipina. Pasca berbelanja buku, CD, dan beberapa potong kaos, ransel penulis penuh sesak, sehingga ia mau menyumbangkan pakaian lamanya.

Bersedekah di negara miskin itu mudah, tapi beramal di negara kaya susahnya minta ampun. Ketika pertama kali bertemu Beth, sekilas mirip orang Indonesia karena warna kulitnya hampir sama dengan WNI. Lantas, penulis bertanya di mana lokasi penampungan orang-orang miskin. Dengan senang hati Beth menunjukkan tempat untuk memberikan sumbangan. Salah satu pakaian yang diberikan berupa celana panjang dari kain batik. Para donator mengatur sendiri pakaiannya ke gantungan yang disediakan, sehingga orang-orang yang tak berpunya leluasa memilih apa yang mereka butuhkan.

Jurgen Granner, pria Jerman yang sudah menetap di Australia sejak 1969 tertarik dengan celana berkaret kolor tersebut. Dulu ia lumayan sukses, tapi pasca bercerai dengan istrinya, Granner menjadi depresi dan terlunta-lunta. Untungnya, ia boleh tinggal di tempat pelayanan sosial. Sebuah celana kain batik berkaret kolor pun menjadi tali pengikat persaudaraan antara dua anak manusia. Walau mereka berbeda bangsa dan bahasa tak jadi halangan, hanya ada rasa haru dan pelukan hangat saat itu, “Kalau manusia menjadikan dirinya sahabat, di mana-mana niscaya bertemu kerabat (halaman 69).”

Buku setebal 256 ini dapat menjadi sarana refleksi sidang pembaca. Ternyata kejadian-kejadian sederhana dalam keseharian hidup menyimpan aneka makna. Pengalaman tersebut hanya perlu dibingkai agar lebih indah. Selamat membaca!

13620330001408093423

Tidak ada komentar: