Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/28 Februari 2013
Judul: Meditasi di Sydney
Subjudul: Sebuah Perjalanan Hening di Tengah Keramaian Kota Sydney, Australia
Penulis: Krishnamurti
Penerbit: Pohon Cahaya Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-602-9485-32-5
Harga: Rp50.000
Pernahkah Anda mendengar ihwal gaya menulis live in? Krishnamurti
ialah salah satu praktisinya. Ia memakai kalimat-kalimat pendek dan
memaparkan latar belakang lahirnya petuah bijak. Salah satu contohnya,
“Ibarat sebuah sepeda, demikian juga pikiran manusia. Ada waktunya
untuk diparkir sejenak. Tidak digunakan, cukup hanya didiamkan
(halaman 67).”
Insight (pemahaman) tersebut diperoleh di Sydney. Penulis mengamati
keberadaan tempat parkir sepeda di salah satu kota di negeri kangguru
itu. Kendaraan kayuh memang mendapat tempat terhormat di sana.
Pengendara sepeda memiliki hak yang sama dengan pengemudi kendaraan
bermotor.
Hingga tahun 2013 ini, Krishnamurti sudah menulis 4 buku. Meditasi di
Sydney terbit pasca 3 buku lainnya, yakni Si Monyet Cerdik, Hypno
Visual dan NLP ala Backpacker. Ia juga menggandeng rekan penulis lain,
seperti Vanditya dan Istoto.
Bukunya kali ini memuat otokritik seorang pembicara publik. Semakin
memahami cara kerja otak, serta kaitan antara kata dan bahasa, semakin
takut ia berbicara. Sebab, dampaknya begitu kuat terhadap diri
pendengar. Dalam konteks ini, kesadaran menjadi penting.
Sistematikanya terdiri atas 25 bab, dari “Persiapan Sebelum Berangkat”
sampai “Ada Awal Ada Akhir”, isinya semacam petualangan multikultur.
Di Australia, ia bertemu dengan beragam tipe manusia dari pelbagai
latar belakang budaya. Salah satunya bernama Pablo Melendez, seorang
backpacker asal Chile. Sejak berusia 28 tahun, Pablo sudah memutuskan
keliling dunia. Ia menjual seluruh aset kekayaan miliknya. Selama 3
tahun nonstop, Pablo blusukan dari satu negara melintasi negara
lainnya. “Saya mau keluar dari jebakan kerja yang seolah membuat diri
saya jadi seperti kuda,” jelasnya di halaman 182.
Buku ini juga jeli memotret hal sederhana yang membuat pembaca
berdecak kagum. Salah satunya termaktub dalam puisi, “Tuhan ada
dimana-mana. Ia ada di terik cerah mentari, Ia ada di empat burung
yang terbang melintas di awan, Ia ada di udara segar yang
melayang-layang membawa damai di dada, Ia ada di kehijauan dedaunan,
Ia ada di detak nafas, Ia ada di hangat secangkir teh, Ia ada di aneka
suara pelbagai bahasa dan bangsa… (Pagi di Pelabuhan Sydney, 29 Maret
2012)”
Pada bagian pengantar, penulis mengakui bahwa buku ini bukan fiksi
alias semua berdasarkan kisah nyata. Tujuannya untuk menginspirasi
kaum muda Indonesia, agar mereka berani keluar dari kamar dan pergi
melanglang buana, “Kuasailah dunia, kibarkan Sang Saka Merah Putih di
negeri-negeri yang engkau singgahi (halaman 204).”
Di buku ini terungkap pula bahwa kota Darwin berbeda 180 derajat dari
Sydney. Darwin relatif sepi dan jauh lebih teduh, di sepanjang tepi
jalan banyak ditumbuhi pohon besar. Di sana, penulis bertemu dengan
Beth, seorang pekerja sosial dari Filipina. Pasca berbelanja buku, CD,
dan beberapa potong kaos, ransel penulis penuh sesak, sehingga ia mau
menyumbangkan pakaian lamanya.
Bersedekah di negara miskin itu mudah, tapi beramal di negara kaya
susahnya minta ampun. Ketika pertama kali bertemu Beth, sekilas mirip
orang Indonesia karena warna kulitnya hampir sama dengan WNI. Lantas,
penulis bertanya di mana lokasi penampungan orang-orang miskin. Dengan
senang hati Beth menunjukkan tempat untuk memberikan sumbangan. Salah
satu pakaian yang diberikan berupa celana panjang dari kain batik.
Para donator mengatur sendiri pakaiannya ke gantungan yang disediakan,
sehingga orang-orang yang tak berpunya leluasa memilih apa yang
mereka butuhkan.
Jurgen Granner, pria Jerman yang sudah menetap di Australia sejak 1969
tertarik dengan celana berkaret kolor tersebut. Dulu ia lumayan
sukses, tapi pasca bercerai dengan istrinya, Granner menjadi depresi
dan terlunta-lunta. Untungnya, ia boleh tinggal di tempat pelayanan
sosial. Sebuah celana kain batik berkaret kolor pun menjadi tali
pengikat persaudaraan antara dua anak manusia. Walau mereka berbeda
bangsa dan bahasa tak jadi halangan, hanya ada rasa haru dan pelukan
hangat saat itu, “Kalau manusia menjadikan dirinya sahabat, di
mana-mana niscaya bertemu kerabat (halaman 69).”
Buku setebal 256 ini dapat menjadi sarana refleksi sidang pembaca.
Ternyata kejadian-kejadian sederhana dalam keseharian hidup menyimpan
aneka makna. Pengalaman tersebut hanya perlu dibingkai agar lebih
indah. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar