Dimuat di Kompas.com, Selasa/19 Februari 2013
Judul: Pancasila Kekuatan Pembebas
Penulis Bersama: Andreas Doweng Bolo, Bartolomeus Samho, Stephanus Djunatan, Sylvester Kanisius Laku
Penerbit: Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan dan Kanisius Yogyakarta
Cetakan: 1/ Oktober 2012
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-979-21-3360
Harga: Rp40.000
Hasil
survei BPS (Badan Pusat Statistik) yang digelar pada 27-29 Mei 2011 di
33 provinsi di Indonesia membuat tersentak. Ternyata dari 12.000
responden di 181 kota dan kabupaten dari Sabang sampai Merauke, peran
media (termasuk buku) dalam sosialisasi Pancasila (hanya) 2%.
Selebihnya, 30% dari sekolah/universitas, 19% dari teladan pejabat pusat
dan daerah, 14% dari penataran P4, dan 10% dari ceramah keagamaan.
Artinya,
perlu ada upaya lebih intensif untuk merevitalisasi nilai-nilai
Pancasila lewat media tertulis (written text). Buku “Pancasila Kekuatan
Pembebas” ini menjawab kebutuhan tersebut. Universitas Katolik
Parahyangan (Unpar) Bandung tergolong relatif rajin mendiseminasi
falsafah bangsa ini. Perintisnya ialah Prof. Mr. Soediman
Kartohadiprodjo. Dosen dan Dekan Fakultas Hukum (FH) Unpar itu pernah
menulis buku “Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
(1961).” Lantas, diterbitkan ulang pada 2010.
Menurut
Sylvestre Kanisius Laku, latar belakang penulisan referensi MKU (Mata
Kuliah Umum) Pancasila ini karena kesadaran mahasiswa dan masyarakat
Indonesia terhadap eksistensi Pancasila sebagai dasar negara mulai
mengalami polarisasi. Ada segelintir kelompok yang tak setuju, bahkan
hendak menggantinya dengan ideologi agama. Tapi di sisi mayoritas,
terdapat banyak elemen bangsa yang mendesak Pancasila mutlak
dipertahankan.
Dalam konteks ini, perlu ada kajian ilmiah
untuk menelaah nilai-nilai Pancasila. Metode yang ditawarkan ialah
hermeuneutika (penafsiran teks berdasarkan konteks). Alasannya ada 2.
Pertama, Pancasila lahir dalam sejarah pergulatan yang dinamis dan
kompleks. Dinamisitas dan kompleksitas historis tersebut meniscayakan
friksi dan konflik mendasar.
Kedua, kelima sila
Pancasila merupakan hasil refleksi terhadap realitas Indonesia yang
luas dan besar dalam seluruh aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi,
budaya, agama, dsb yang terumus secara singkat dan padat. Senada dengan
tesis Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ, Pancasila ialah dasar filosofis
yang merumuskan realitas manusia dalam semesta realita, jadi merupakan
weltanschauung (halaman 29).
Sistematikanya, Pancasila
Kekuatan Pembebas terdiri atas 8 pokok bahasan. Bab I memaparkan
justifikasi dasar negara Republik Indonesia (RI) tersebut, baik dari
aspek yuridis (hukum), filosofis (makna), historis (sejarah), maupun
kultural (budaya). Lantas, bab II menziarahi dinamika sejarah
Pancasila, yakni sejak periode (29 Mei 1945-17 Mei 1945), (18 Agustus
1945-26 Desember 1949), Orde Baru (Orba) hingga era reformasi. Pada bab
III, IV, V, VI, VII berturut-turut fokus mengkaji filosofi kelima sila
Pancasila. Bagian penutup, bab VIII mengkontekstualiasikannya dengan
isu terkini.
Bung Karno dan Pancasila ibarat 2 sisi dari
sekeping mata uang yang sama. Presiden I RI tersebut merupakan “penemu”
5 mutiara tersebut. Buku ini juga menyuguhkan kerendah-hatian Ir.
Soekarno tatkala menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, “Oleh karena saya, dalam hal Pancasila
itu, sekadar menjadi “perumus” dari pada perasaaan-perasaan yang telah
lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia, sekadar menjadi
“pengutara” dari pada keinginan-keinginan dan jiwa bangsa Indonesia
turun-temurun…saya menganggap Pancasila itu corak karakternya bangsa
Indonesia (halaman 24).”
Selanjutnya, keempat
penulis buku ini (kebetulan semuanya dosen) bersepakat bahwa proses
perumusan Pancasila oleh para bapa bangsa (founding fathers) tidak
dengan cara pandang monodimensional. Pun lebih dengan perspektif
multidimensional. Artinya, Pancasila lahir dari rahim pengalaman
keberagaman Ibu Pertiwi. Mempelajari serta mendalami Pancasila di
bangku kuliah merupakan salah satu cara merawat dan memelihara
keberagaman itu sampai akhir masa.
Dinamika akademis
tersebut niscaya mengkristalisasikan Estetika Pancasila sebagai
representasi 5 lokus penting dalam kehidupan manusia. Dari aspek
religius, aspek humanum, aspek sosial, aspek demokrasi, dan aspek
keadilan. Menurut Andreas Doweng Bolo, mengejawantahkan kelima nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari sinonim dengan mengarahkan hidup
menuju kepenuhan dan keutuhan martabat sebagai manusia (halaman 41).
Buku setebal 272 halaman ini merupakan saripati refleksi dan diskusi
mendalam ihwal hakikat Pancasila. Penting dibaca oleh para akademisi,
pejabat publik, pengusaha, dan masyarakat luas yang bertekad mengukuhkan
Pancasila bukan sekadar sebagai ideologi negara, tapi lebih sebagai
panduan hidup (way of life) dan ruh zaman (zeitgeist). Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar