Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/13 Februari 2013
http://mjeducation.co/resensi-meredifinisi-pemahaman-psikologi-populer/
http://mjeducation.co/resensi-meredifinisi-pemahaman-psikologi-populer/
Judul: 50 Mitos Keliru dalam Psikologi
Penulis: Scott O. Lilienfeld, Steven Jay Lynn, John Ruscio, Barry L. Beyerstein
Penerbit : B-First PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Cetakan: I/2012.
Tebal: xviii + 364 halaman.
ISBN: 978-602-8864-42-8
Menabur pikiran, menuai pemahaman. Menabur pemahaman, menuai sikap.
Menabur sikap, menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan, menuai karakter.
Terakhir tapi penting (last but not least) menabur karakter,
menuai nasib. Begitulah petuah para bijak. Tapi sungguh ironis kalau
pada taraf pemahaman saja sudah keliru. Alhasil sikap, kebiasaan,
karakter, dan bahkan nasib menjadi suram.
Dalam konteks ini, redefinisi tata pemahaman (mindset) sangat
signifikan. Buku “50 Mitos Keliru dalam Psikologi” mendedah sederet
salah kaprah kepercayaan manusia. Sehingga memungkinkan pembaca
mengambil langkah perubahan segera. Misalnya, psikologi populer
menandaskan bahwa manusia hanya menggunakan 10% kapasitas otak. Apakah
sungguh demikian?
Lewat penelitian EEG (electro encephalo grams), PET (positron emission tomography), dan MRI (magnetic resonance imaging)
para neurosurgeon (ahli bedah saraf) mengintip aktivitas otak manusia.
Ternyata mereka tak menemukan 90 persen “daerah tenang” sedang menanti
giliran piket kerja. Artinya, tugas sederhana sekalipun membutuhkan
kontribusi berbagai lokus pemrosesan yang tersebar di seluruh batang
otak (halaman 4).
Mitos selanjutnya tak kalah mengejutkan. Selama ini, rasa rendah diri
dianggap sebagai penyebab seabreg masalah psikologis. Apakah seperti
itu kenyataannya? Kuartet penulis Scott O. Lilienfeld, Steven Jay
Lynn, John Ruscio, Barry L. Beyerstein memakai metode deduktif. Basis
material mereka adalah insiden tragis pada 20 April 1999 di Littleton,
Colorado, Amerika Serikat.
Pagi itu - kebetulan bersamaan dengan HUT Adolf Hitler ke-110 - dua
siswa remaja memakai jas hujan berwarna hitam. Mereka memasuki
kompleks Columbine High School. Peristiwa tragis pun terjadi.
Eric Harris dan Dylan Klebold membantai 12 siswa dan seorang guru
sebelum akhirnya menghabisi diri mereka sendiri dengan senjata api.
Publik cenderung mempercayai bahwa rasa minder berbanding lurus dengan
tindak kekerasan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat terlarang,
gangguan makan, mogok sekolah, kehamilan di luar nikah, bunuh diri,
dan anjloknya nilai akademis (Reasoner, 2000). Namun lewat
rangkaian 1.500 studi intensif Roy Baumeiter, Jennifer Campbel,
Joachim Krueger, dan Kathleen Vohs (2003) merontokkan asumsi tersebut.
Ternyata kepercayaan diri yang berlebihanlah biang keladi
kecenderungan agresif.
Harris dan Klebold bukan remaja yang terjangkiti perasaan rendah diri,
keduanya bahkan begitu mengagumi ajaran NAZI. Mereka berkhayal untuk
bisa menguasai dunia. Buku catatan harian Harris mengungkapkan bahwa
ia menganggap diri jauh lebih bermoral ketimbang orang lain. Mereka
pun sangat membenci teman sebayanya (halaman 187).
Sistematika buku ini terdiri atas 11 bab, masing-masing memuat
sejumlah mitos psikologis yang bertebaran dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis mengklasifikasikannya ke dalam “Mitos tentang Otak dan
Persepsi”, “Mitos tentang Tumbuh Kembang dan Penuaan”, “Mitos tentang
Ingatan”, “Mitos tentang Kecerdasan dan Pembelajaran”, “Mitos tentang
Kesadaran”, “Mitos tentang Emosi dan Motivasi”, “Mitos tentang
Perilaku Antarpribadi”, “Mitos tentang Kepribadian”, “Mitos tentang
Sakit Jiwa”, “Mitos tentang Psikologi dan Hukum”, dan “Mitos tentang
Perawatan Psikologis.”
Pada mitos ke-39 penulis menguraikan ihwal skizoprenia. Carlson
menyebutnya sebagai istilah psikologi yang paling banyak
disalahgunakan (1990). Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat, George
W. Bush menggunakannya sebagai legitimasi ‘kebijakan” perang di Irak,
“Tentu saja ada jawaban mudah untuk skizofrenia moral ini, perbedaan
antara prinsip dan kebijakan…antara perang terhadap teror dan perang
di Irak.”
Padahal skizoprenia tidak identik dengan manusia berkepribadian ganda.
Seperti yang lazim dipahami khalayak ramai. Skizoprenia berbeda 360
derajat dengan DID (Dissociative Identity Disorder) alias
gangguan identitas disosiasi. Menurut Asosiasi Psikiatris Amerika,
skizoprenia merupakan penyakit neurotis parah yang ditandai dengan
gangguan untuk menghadapi kenyataan, antara lain depresi klinis,
kecemasan berlebihan, keinginan bunuh diri, dan penyalahgunaan obat
terlarang. Dalam konteks ini, si korban hanya memiliki satu
kepribadian. Itulah yang membuatnya dihantui rasa kesepian mendalam.
Karena sebuah karya terjemahan, mayoritas contoh kasus terjadi di luar
negeri, utamanya di negara Paman Sam. Sekadar rekomendasi, alangkah
baiknya bila ada penulis lokal yang mengembangkan tesis ini. Pun
memasukkan contoh-contoh kasus di Indonesia sebagai ilustrasi. Besar
kemungkinan aneka problem sosial-kemasyarakatan di Republik tercinta
disebabkan pula oleh sesat pikir pemahaman psikologis.
Misalnya, hakim agung di MA (Mahkamah Agung) yang tertangkap basah
mengonsumsi narkoba. Dalih yang santer terdengar ialah agar mereka
merasa PD (Percaya Diri) saat mengetuk palu di meja hijau. Bukankah
penyalahgunaan wewenang tersebut justru karena arogansi berlebihan?
Seperti termaktub dalam kasus Harris dan Klebold.
Buku setebal 364 halaman ini ibarat shock therapy (terapi
kejut). Sebab isinya menjungkirbalikkan hegemoni pemahaman dominan
terkait ranah psikologi populer. Sebuah referensi berharga bagi pakar
kejiwaan, dosen, mahasiswa, para guru, dan masyarakat luas. Menyitir
pendapat Sir Karl Popper (1975), “Ilmu pengetahuan dimulai dengan
mitos dan penilaian kritis terhadapnya.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar