Februari 06, 2013

Novel Spiritual dalam Balutan Sejarah

Dimuat di Kompas.com, Selasa/5 Februari 2013


Judul: Lauh Mahfuz
Penulis: Nugroho Suksmanto
Editor: Triyanto Triwikromo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                  
Cetakan: 1/ September 2012                                                                                            
Tebal: vii + 499 halaman
ISBN: 978-979-22-8874-8
Harga: Rp75.000                                                      

J. Sumardianta mengaku bahwa ia generasi yang terlahir berkalung usus. Ibarat kapal selam, geraknya perlahan di kedalaman. Saat itu, penulis seperti Linus Suryadi, Umar Kayam, dan Romo Sindhunata piawai menciptakan karya sastra yang mensyaratkan permenungan. Kumpulan cerpen “Senyum Karyamin” besutan Ahmad Tohari merupakan buku perdana yang diresensi Guru Sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta tersebut (1989).

Sedangkan generasi kelahiran pasca 1990-an, analoginya terlahir pun sudah membawa mouse. Ibarat speed boat, anak zaman modern bergerak cepat di permukaan. Alhasil, karya yang digemari berbeda 180 derajat dengan selera generasi kelahiran sebelum 1970-an. Kini, sinetron televisi rating-nya relatif tinggi.

Novel “Lauh Mahfuz” ini sebuah pengecualian, walau terbit di awal milenium ketiga isinya mengajak pembaca menyelam ke pedalaman diri. Jika novel lainnya dapat “disantap” dalam hitungan hari bahkan jam, karya besutan Nugroho Suksmanto (selanjutnya disingkat NS) ini sarat renungan kontemplatif. Dalam arti butuh nafas panjang dan stamina ekstra untuk mencecap pesannya.

Penulis kumpulan cerpen “Celana Dalam” dan “Impian Perawan” tersebut mengawali kisah dengan selarik puisi “Tuhanku” karya Agus Suwage, “Dia Tuhan semua manusia yang hidupnya tersekat-sekat kepercayaan, yang menapak dipandu pancaran iman, yang merindukan kehadiran-Nya. Dalam kedamaian dan kerusuhan. Dalam ketentraman dan kekacauan. Dalam kerukunan dan permusuhan…(halaman 3).” Ibarat sebuah lagu, intronya saja sudah memberi sinyalemen bahwa NS akan berkutat pada fenomena paradoks eksistensial.

Pembantaian massal 1965 menjadi latar belakang kisah dalam buku ini. NS menceritakan sepasang anak kembar bernama Menik dan Menuk. Tragedi kemanusiaan yang menelan jutaan korban tersebut turut memisahkan keduanya. Menuk tewas terpanggang pasca desanya dibakar massa. Ketika peritiwa naas itu terjadi, ia tak masuk sekolah karena terserang demam. Sedangkan, Menik bisa selamat karena ia disembunyikan para guru di ruang kelas.

Lantas, Panji Wisesa - tokoh utama novel ini - mengajak Menuk mengungsi ke rumah Mbah Kasan. Bekas pembantu yang menghabiskan masa tua dengan berjualan rujak pecel di Cela-celu. Namun, Menik hanya beristirahat sejenak di sana. Pada malam hari, ia menyelinap mencari jenasah Menuk di balik reruntuhan rumahnya yang legam menghitam.

Menik hanya menemukan kerangka saudarinya itu. Gelang batu giok pemberian ibu mereka oleh-oleh dari Peking masih melingkar di pergelangan tangan kiri. Ia mengumpulkan tulang-belulang tersebut dan memasukkan ke tas sekolah. Kemudian mengebumikan di kebun papringan di perbatasan Pendrikan dan Kampung Magersari. Di sana juga ada kuburan korban kekejaman tentara Jepang.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, Menik juga kehilangan ingatan. Karena kepalanya terbentur ketika bis yang ditumpangi menuju Magelang mengalami kecelakaan. Di satu sisi, amnesia merenggut memori masa silam, tapi di sisi lain kecelakaan tersebut meringankan beban jiwa. Setiba di Magelang, Menik berupaya mengingat namanya, tapi semua sia-sia. Alhasi, ia memandang dunia dengan paradigma baru.

Lantas, Menik kecil yang kebingungan itu diasuh Bernadine Wirasti, Suster Kepala dari Biara Gereja Katolik Santa Ursula. Ia pun memperoleh nama baru, Maria Secunda. Kebetulan gereja setempat sedang melakukan kegiatan kemanusiaan untuk menyelamatkan anak-anak tak berdosa yang kehilangan keluarga akibat insiden G 30 S. Saat itu, banyak yang beranggapan bukan hanya pentolan PKI yang harus dihabisi, tapi juga anak-cucunya. Kenapa? Karena kalau tidak ditumpas maka suatu ketika mereka akan membalas dendam.

Daya imaginasi NS mengundang decak kagum. Ia menggambarkan ruh Panji yang bisa bolak-balik dari dunia fana ke alam sesudah kematian (barzakh). Sejak kecil ternyata Panji sudah  memiliki cita-cita mencapai Lauh Mahfuz di langit ke-7 sana.

Dalam bahasa ilmiah disebut Akashic Record (Catatan Akashic). Akashic ibarat perpustakaan jagat raya,  di dalamnya termaktub segala pengetahuan sejak awal alam semesta terbentuk hingga saat kiamat tiba. Menurut Bani Mustajab, kata akashic berasal dari kata akasha, bahasa Sansekerta yang artinya ruang atau ether. Samkya, seorang filsuf dan teolog India yang pertama memperkenalkan istilah tersebut.

Catatan rahasia ini memuat rangkaian kode-kode khusus. Selain penuh misteri juga sulit dipahami khalayak ramai. Hanya individu tertentu yang bisa mengungkap makna di baliknya. Selain itu, lokusnya pun berada di alam gaib. Agar mendapat akses ke Catatan Akashic, setiap orang perlu tekun berlatih olah pikiran dan berdisiplin rohani. Terakhir tapi penting, si pencari harus dapat ijin-Nya.

Menurut penuturan Syeck Ibnu Khalaf, leluhur kita seperti Empu Jayabaya dan Pujangga Ranggawarsita juga memiliki kemampuan linuwih untuk mengakses Lauh Mahfuz. Kisah tersebut termaktub dalam lakon pewayangan di Kitab Jitapsara. Tokoh besar yang memiliki pengetahuan seputar Catatan Akashic antara lain Charles Webster Leadbeater, Annie Besant, Alice Bailey, Samuel Aun Weor, William Lilly, Anand Krishna dan sederet praktisi spiritual lainnya. Dalam masa kehidupan kali ini, Panji Wisesa pun bisa mengaksesnya.

Novel setebal 499 halaman ini kental aroma spiritual. Karena dibalut kisah sejarah, tak semudah membalik telapak tangan untuk pahami pesan esoterisnya. Oleh sebab itu, kembali ke prolog resensi ini, mari menyelami dengan filosofi kapal selam. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air Yogyakarta) 

Tidak ada komentar: