Dimuat di Kompas.com, Selasa/5 Februari 2013
Judul: Lauh Mahfuz
Penulis: Nugroho Suksmanto
Editor: Triyanto Triwikromo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/ September 2012
Tebal: vii + 499 halaman
ISBN: 978-979-22-8874-8
Harga: Rp75.000
J.
Sumardianta mengaku bahwa ia generasi yang terlahir berkalung usus.
Ibarat kapal selam, geraknya perlahan di kedalaman. Saat itu, penulis
seperti Linus Suryadi, Umar Kayam, dan Romo Sindhunata piawai
menciptakan karya sastra yang mensyaratkan permenungan. Kumpulan cerpen
“Senyum Karyamin” besutan Ahmad Tohari merupakan buku perdana yang
diresensi Guru Sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta tersebut
(1989).
Sedangkan generasi kelahiran pasca 1990-an, analoginya terlahir pun sudah membawa mouse. Ibarat speed boat,
anak zaman modern bergerak cepat di permukaan. Alhasil, karya yang
digemari berbeda 180 derajat dengan selera generasi kelahiran sebelum
1970-an. Kini, sinetron televisi rating-nya relatif tinggi.
Novel “Lauh Mahfuz” ini
sebuah pengecualian, walau terbit di awal milenium ketiga isinya
mengajak pembaca menyelam ke pedalaman diri. Jika novel lainnya dapat
“disantap” dalam hitungan hari bahkan jam, karya besutan Nugroho
Suksmanto (selanjutnya disingkat NS) ini sarat renungan kontemplatif.
Dalam arti butuh nafas panjang dan stamina ekstra untuk mencecap
pesannya.
Penulis kumpulan cerpen “Celana Dalam” dan
“Impian Perawan” tersebut mengawali kisah dengan selarik puisi “Tuhanku”
karya Agus Suwage, “Dia Tuhan semua manusia yang hidupnya
tersekat-sekat kepercayaan, yang menapak dipandu pancaran iman, yang
merindukan kehadiran-Nya. Dalam kedamaian dan kerusuhan. Dalam
ketentraman dan kekacauan. Dalam kerukunan dan permusuhan…(halaman
3).” Ibarat sebuah lagu, intronya saja sudah memberi sinyalemen bahwa NS
akan berkutat pada fenomena paradoks eksistensial.
Pembantaian
massal 1965 menjadi latar belakang kisah dalam buku ini. NS
menceritakan sepasang anak kembar bernama Menik dan Menuk. Tragedi
kemanusiaan yang menelan jutaan korban tersebut turut memisahkan
keduanya. Menuk tewas terpanggang pasca desanya dibakar massa. Ketika
peritiwa naas itu terjadi, ia tak masuk sekolah karena terserang demam.
Sedangkan, Menik bisa selamat karena ia disembunyikan para guru di ruang
kelas.
Lantas, Panji Wisesa - tokoh utama novel ini -
mengajak Menuk mengungsi ke rumah Mbah Kasan. Bekas pembantu yang
menghabiskan masa tua dengan berjualan rujak pecel di Cela-celu. Namun,
Menik hanya beristirahat sejenak di sana. Pada malam hari, ia menyelinap
mencari jenasah Menuk di balik reruntuhan rumahnya yang legam
menghitam.
Menik hanya menemukan kerangka saudarinya itu.
Gelang batu giok pemberian ibu mereka oleh-oleh dari Peking masih
melingkar di pergelangan tangan kiri. Ia mengumpulkan tulang-belulang
tersebut dan memasukkan ke tas sekolah. Kemudian mengebumikan di kebun papringan di perbatasan Pendrikan dan Kampung Magersari. Di sana juga ada kuburan korban kekejaman tentara Jepang.
Ibarat
sudah jatuh tertimpa tangga, Menik juga kehilangan ingatan. Karena
kepalanya terbentur ketika bis yang ditumpangi menuju Magelang mengalami
kecelakaan. Di satu sisi, amnesia merenggut memori masa silam, tapi di
sisi lain kecelakaan tersebut meringankan beban jiwa. Setiba di
Magelang, Menik berupaya mengingat namanya, tapi semua sia-sia. Alhasi,
ia memandang dunia dengan paradigma baru.
Lantas, Menik
kecil yang kebingungan itu diasuh Bernadine Wirasti, Suster Kepala dari
Biara Gereja Katolik Santa Ursula. Ia pun memperoleh nama baru, Maria
Secunda. Kebetulan gereja setempat sedang melakukan kegiatan kemanusiaan
untuk menyelamatkan anak-anak tak berdosa yang kehilangan keluarga
akibat insiden G 30 S. Saat itu, banyak yang beranggapan bukan hanya
pentolan PKI yang harus dihabisi, tapi juga anak-cucunya. Kenapa? Karena
kalau tidak ditumpas maka suatu ketika mereka akan membalas dendam.
Daya
imaginasi NS mengundang decak kagum. Ia menggambarkan ruh Panji yang
bisa bolak-balik dari dunia fana ke alam sesudah kematian (barzakh). Sejak kecil ternyata Panji sudah memiliki cita-cita mencapai Lauh Mahfuz di langit ke-7 sana.
Dalam bahasa ilmiah disebut Akashic Record (Catatan Akashic). Akashic ibarat
perpustakaan jagat raya, di dalamnya termaktub segala pengetahuan
sejak awal alam semesta terbentuk hingga saat kiamat tiba. Menurut Bani
Mustajab, kata akashic berasal dari kata akasha, bahasa Sansekerta yang artinya ruang atau ether. Samkya, seorang filsuf dan teolog India yang pertama memperkenalkan istilah tersebut.
Catatan
rahasia ini memuat rangkaian kode-kode khusus. Selain penuh misteri
juga sulit dipahami khalayak ramai. Hanya individu tertentu yang bisa
mengungkap makna di baliknya. Selain itu, lokusnya pun berada di alam
gaib. Agar mendapat akses ke Catatan Akashic, setiap orang perlu tekun
berlatih olah pikiran dan berdisiplin rohani. Terakhir tapi penting, si
pencari harus dapat ijin-Nya.
Menurut penuturan Syeck Ibnu Khalaf, leluhur kita seperti Empu Jayabaya dan Pujangga Ranggawarsita juga memiliki kemampuan linuwih untuk mengakses Lauh Mahfuz. Kisah tersebut termaktub dalam lakon pewayangan di Kitab Jitapsara.
Tokoh besar yang memiliki pengetahuan seputar Catatan Akashic antara
lain Charles Webster Leadbeater, Annie Besant, Alice Bailey, Samuel Aun
Weor, William Lilly, Anand Krishna dan sederet praktisi spiritual
lainnya. Dalam masa kehidupan kali ini, Panji Wisesa pun bisa
mengaksesnya.
Novel setebal 499 halaman ini kental aroma
spiritual. Karena dibalut kisah sejarah, tak semudah membalik telapak
tangan untuk pahami pesan esoterisnya. Oleh sebab itu, kembali ke prolog
resensi ini, mari menyelami dengan filosofi kapal selam. Selamat
membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di
PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekskul English Club di SMP Kanisius
Sleman, TK Mata Air Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar