Februari 16, 2013

Blusukan dalam Dunia Pendidikan

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/17 Februari 203

Belakangan ini istilah “blusukan” menjadi sedemikian populer. Jokowi berperan besar dalam menasionalisasikan terminologi bahasa Jawa tersebut.  Bahkan tatkala banjir bandang menggenangi ibukota, mantan walikota Solo tersebut tetap berkeliling menyapa warganya di barak-barak pengungsian.

Menurut Wijayanto Samirin, asal kata blusukan dari kata ”keblusuk” alias ”tersesat”. Jadi “blusukan” sinonim dengan ”sengaja menyesatkan diri untuk mengetahui sesuatu.” Pertanyaannya, apakah blusukan dapat diterapkan juga di ranah pencerdasan kehidupan bangsa?

Ternyata ada beberapa guru yang telah mempraktikkannya, salah satunya  bernama Herman Joseph Sriyanto. Selain aktif mengajar subjek Matematika di SMA Kolese de Britto Yogyakarta, alumnus Advanced Teacher Program (ATP) di St. Ignatius College Riverview Australia tersebut pernah berkunjung ke Colegio De Sao Jose. Letaknya jauh di pelosok Timor Leste sana.

Dalam perjalanan ke daerah Maubara,  ia menyaksikan pemandangan menggetarkan. Para guru duduk berdesak-desakan di bak terbuka di belakang truk yang melaju kencang. Selama 3 jam nonstop mereka terpanggang terik sinar matahari. Syahdan, H.J Sriyanto teringat kepada para koleganya di pulau Jawa. Mereka acap kali berkeluh-kesah meski pergi ke sekolah dengan naik sepeda motor atau mobil ber-AC. Padahal wajah para guru di Dilli itu, tak sekilas pun menyiratkan rasa keputusasaan (Sekolah itu Surga, 2012).

Praktisi pendidikan lain yang “hobi” blusukan ialah St. Kartono. Dosen bahasa Indonesia dan Jurnalistik di PBSID (Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah) Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta tersebut intens berbagi semangat dan teknik menulis. Buah pena-nya antara lain Menebus Pendidikan Yang Tergadai (2002), Reformasi Pendidikan (2003, dkk), Seri Pendidikan Budi Pekerti (2003-2004, dkk), Sekolah Bukan Pasar (Juni, 2009), dan Menulis Tanpa Rasa Takut (Juli, 2009).

Tatkala melawat ke pesisir utara daerah tengkuk kepala burung di bumi Papua, St. Kartono pernah ditanya seorang murid bernama Paul, “Pak guru, saya sudah mencoba menulis, tetapi sering tersendat atau berhenti, bagaimana usaha mengatasi itu?” Paul berasal dari daerah pedalaman, desanya berjarak 7 hari jalan kaki dari asrama sekolah.

Pak guru menjawab, “Paul, menulis tersendat itu karena bahan di kepala kita habis. Bisa juga pikiran tidak mampu mengaitkan masalah yang kita bahas dengan lentur.” Senada dengan pendapat Romo Baker, menulis ibarat membongkar tabungan berupa bacaan di kepala (Menjadi Guru Untuk Muridku, 2011).

Semangat Muda

Lantas dari generasi muda Ryan Singgih Prabowo (23) membagi ilmu di SDN 10 Dusun Mak Dewa, Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Jaraknya 11 jam perjalanan darat dan laut dari kota Pekanbaru. Setahun penuh ia menjadi pengajar muda yang diutus Yayasan Indonesia Mengajar besutan Anies Baswedan.

Ternyata yang memotivasi Ryan ialah anak-anak didiknya. “Mereka membuat saya piawai melewati titik jenuh. Tugas saya sekadar menjembatani orang miskin yang berpotensi luar biasa menjadi semakin luar biasa.” Ia lebih suka mengajar sambil bermain. Bahkan terkadang ia menggunakan alam sekitar sebagai media mengajar. Intinya, pakai apa saja yang bisa dijadikan media, sehingga anak tak menyadari ternyata yang sedang dilakukan adalah proses belajar, bukan sekadar bermain (Psikologi Plus, Desember 2012).

Kemudian ada juga kisah siswa SMA Kolese de Britto yang menjadi relawan gempa di seputaran Jateng - DIY pada Mei - Agustus 2006 silam. Di tengah kesibukan sekolah, ia masih bisa menyempatkan diri berbagi dengan sesama yang menderita. Wahyu Purwawijayanto merasakan pengalaman magis ketika berada di rumah sakit (RS), “Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun, indra penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani mendekati kakek itu” (Sekolah Gempa - Sekolah Hati, 2008).

Akhir kata, blusukan tak harus bepergian secara fisik ke luar kota ataupun turba (turun ke bawah). Tapi dapat juga dilakukan di lingkungan sekolah kita masing-masing. Sekadar menyapa, meluangkan waktu, dan bercakap-cakap dengan anak didik ialah jurus mujarab untuk mengetahui situasi konkrit mereka. Sehingga bisa lebih menunjang proses pembelajaran. Menyitir pendapat Winston Churchill, “Kita hidup dari apa yang kita dapatkan, tapi manusia bahagia dari apa yang ia berikan kepada sesama.” Salam Pendidikan!


Tidak ada komentar: