Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/17 Februari 203
Belakangan
ini istilah “blusukan” menjadi sedemikian populer. Jokowi berperan
besar dalam menasionalisasikan terminologi bahasa Jawa tersebut. Bahkan
tatkala banjir bandang menggenangi ibukota, mantan walikota Solo
tersebut tetap berkeliling menyapa warganya di barak-barak pengungsian.
Menurut
Wijayanto Samirin, asal kata blusukan dari kata ”keblusuk” alias
”tersesat”. Jadi “blusukan” sinonim dengan ”sengaja menyesatkan diri
untuk mengetahui sesuatu.” Pertanyaannya, apakah blusukan dapat
diterapkan juga di ranah pencerdasan kehidupan bangsa?
Ternyata
ada beberapa guru yang telah mempraktikkannya, salah satunya bernama
Herman Joseph Sriyanto. Selain aktif mengajar subjek Matematika di SMA
Kolese de Britto Yogyakarta, alumnus Advanced Teacher Program (ATP) di
St. Ignatius College Riverview Australia tersebut pernah berkunjung ke
Colegio De Sao Jose. Letaknya jauh di pelosok Timor Leste sana.
Dalam
perjalanan ke daerah Maubara, ia menyaksikan pemandangan
menggetarkan. Para guru duduk berdesak-desakan di bak terbuka di
belakang truk yang melaju kencang. Selama 3 jam nonstop mereka
terpanggang terik sinar matahari. Syahdan, H.J Sriyanto teringat kepada
para koleganya di pulau Jawa. Mereka acap kali berkeluh-kesah meski
pergi ke sekolah dengan naik sepeda motor atau mobil ber-AC. Padahal
wajah para guru di Dilli itu, tak sekilas pun menyiratkan rasa
keputusasaan (Sekolah itu Surga, 2012).
Praktisi
pendidikan lain yang “hobi” blusukan ialah St. Kartono. Dosen bahasa
Indonesia dan Jurnalistik di PBSID (Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
dan Daerah) Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta tersebut intens
berbagi semangat dan teknik menulis. Buah pena-nya antara lain Menebus
Pendidikan Yang Tergadai (2002), Reformasi Pendidikan (2003, dkk), Seri
Pendidikan Budi Pekerti (2003-2004, dkk), Sekolah Bukan Pasar (Juni,
2009), dan Menulis Tanpa Rasa Takut (Juli, 2009).
Tatkala
melawat ke pesisir utara daerah tengkuk kepala burung di bumi Papua,
St. Kartono pernah ditanya seorang murid bernama Paul, “Pak guru, saya
sudah mencoba menulis, tetapi sering tersendat atau berhenti, bagaimana
usaha mengatasi itu?” Paul berasal dari daerah pedalaman, desanya
berjarak 7 hari jalan kaki dari asrama sekolah.
Pak guru
menjawab, “Paul, menulis tersendat itu karena bahan di kepala kita
habis. Bisa juga pikiran tidak mampu mengaitkan masalah yang kita bahas
dengan lentur.” Senada dengan pendapat Romo Baker, menulis ibarat
membongkar tabungan berupa bacaan di kepala (Menjadi Guru Untuk Muridku,
2011).
Semangat Muda
Lantas
dari generasi muda Ryan Singgih Prabowo (23) membagi ilmu di SDN 10
Dusun Mak Dewa, Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Jaraknya 11 jam perjalanan
darat dan laut dari kota Pekanbaru. Setahun penuh ia menjadi pengajar
muda yang diutus Yayasan Indonesia Mengajar besutan Anies Baswedan.
Ternyata
yang memotivasi Ryan ialah anak-anak didiknya. “Mereka membuat saya
piawai melewati titik jenuh. Tugas saya sekadar menjembatani orang
miskin yang berpotensi luar biasa menjadi semakin luar biasa.” Ia lebih
suka mengajar sambil bermain. Bahkan terkadang ia menggunakan alam
sekitar sebagai media mengajar. Intinya, pakai apa saja yang bisa
dijadikan media, sehingga anak tak menyadari ternyata yang sedang
dilakukan adalah proses belajar, bukan sekadar bermain (Psikologi Plus,
Desember 2012).
Kemudian ada juga kisah siswa SMA Kolese
de Britto yang menjadi relawan gempa di seputaran Jateng - DIY pada Mei
- Agustus 2006 silam. Di tengah kesibukan sekolah, ia masih bisa
menyempatkan diri berbagi dengan sesama yang menderita. Wahyu
Purwawijayanto merasakan pengalaman magis ketika berada di rumah sakit
(RS), “Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku
merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun,
indra penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur
satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk
memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang
menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan
berani mendekati kakek itu” (Sekolah Gempa - Sekolah Hati, 2008).
Akhir kata, blusukan
tak harus bepergian secara fisik ke luar kota ataupun turba (turun ke
bawah). Tapi dapat juga dilakukan di lingkungan sekolah kita
masing-masing. Sekadar menyapa, meluangkan waktu, dan bercakap-cakap
dengan anak didik ialah jurus mujarab untuk mengetahui situasi konkrit
mereka. Sehingga bisa lebih menunjang proses pembelajaran. Menyitir
pendapat Winston Churchill, “Kita hidup dari apa yang kita dapatkan,
tapi manusia bahagia dari apa yang ia berikan kepada sesama.” Salam
Pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar