Februari 28, 2013

Menjadi Saksi Keluasan Cakrawala Hidup

 Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/1 Maret 2013
http://mjeducation.co/menjadi-saksi-keluasan-cakrawala-hidup/

Judul: Di Simpang Peristiwa, Mencatat Peristiwa Menuai Hikmah
Penulis: Friedz Meko, SVD
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/ Juli 2012
Tebal:  xxxiii + 249 halaman
ISBN: 978-979-22-8590-1
Harga: Rp63.000

 

Alkisah, hiduplah seorang nenek berusia 70 tahun. Ia mempunyai tujuh orang anak, tiga putri dan empat putra. Suaminya sudah meninggal 38 tahun silam. Pasca menikah, mereka hanya sempat hidup bersama selama 18 tahun. Tatkala sang suami wafat, anak-anaknya masih kecil, tapi kini mereka sudah besar dan menjadi orang sukses. Ada yang punya jabatan di pemerintahan, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi dosen, dan ada pula yang jadi tentara.

Tak dapat dipungkiri, nenek tersebut merasakan kegetiran di tahun pertama pasca suami tercinta meninggal dunia. Hampir setiap malam ia menangis dan larut dalam kesedihan. Acap kali ia terbangun di tengah malam karena mimpi bertemu dengan arwah sang suami. Bahkan hingga pagi ia tak dapat tidur dan akhirnya memutuskan berdoa di depan arca Bunda Maria.

“Saat-saat hening berdiam diri di depan patung Bunda Maria, saya mengalami keteguhan hati. Saya memang merasa sendirian, tetapi sesungguhnya Bunda senantiasa menemani saya. Sehingga perlahan seiring bergulirnya waktu, saya mempunyai keberanian dan rasa optimis untuk berjuang membesarkan anak-anak sambil terus bekerja sebagai perawat.” (halaman 47)

Menurut Romo Freidz, nenek tersebut ialah profil single parent yang kuat dan beriman. Mereka bertemu di stasiun kereta api di Dublin. Saat itu, beliau sedang asyik membaca buku Saying YES to Life karya Catherine McCann. Walau mengenakan kacamata tebal, nenek itu tekun membaca seperti layaknya seorang mahasiswa. Setiba di kota Cork, sang nenek turun dari kereta. Perjumpaan singkat tersebut diabadikan dalam artikel, “Saya Tidak Sendirian (renungan no. 8)”.

Buku “Di Simpang Peristiwa, Mencatat Peristiwa Menuai Hikmah” memang mengisahkan perkara-perkara sederhana. Kemudian ibarat koki, penulis meramunya dengan rasa religiositas. Dr. Paul Budi Kleden, SVD turut membubuhkan apresiasi pada kata pengantar, “Saat berada di simpang peristiwa,  Freids Meko, SVD tidak hanyut di dalamnya ataupun terseret oleh arus. Ia sanggup mengambil jarak imajiner, memandang dari tempat tertentu, dan piawai memberi penilaian yang mendalam” (halaman xxxiii).

Sistematika buku ini terdiri atas 4 bab, yakni “Memaknai Realitas Sekitar”, “Memahami Raut Negeriku Merah Darahku”, dan “Membaca Pesan dari Langit Suci”. Sebagian besar artikel pernah dimuat di Majalah Bentara, Majalah Kana, Majalah Hidup, Majalah Cermin, dan Dian Ende. Total ada 44 renungan. Rentang waktu penulisannya relatif lama, yakni  dari tahun 1993-2011 (18 tahun). Ada 3 seri buku lainnya yang masih dalam proses penggarapan, “Aku Terkenang Borneo, Yesus Sang Proklamator, dan Tobat di Gerbang Doa.”

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Ledalero Maumere, Flores tersebut juga memaparkan keintiman hubungan manusia dengan bumi. Contoh-contoh keintiman yang dimaksud antara lain karena darah pertama yang membalut manusia ketika keluar dari rahim bunda lantas meresap dalam rahim bumi. Air seni dan kotoran yang manusia buang diterima dengan rela oleh bumi, kemudian diolah menjadi pupuk alami. Selain itu, manusia juga bertahan hidup karena mengonsumsi tanaman yang tumbuh di atas bumi dan memuaskan dahaga dari air yang mengalir dari dalam perut bumi.

Kemudian, Vikaris Episcopalis Religius (Vikep Religius) Surabaya ini menguraikan evolusi batin manusia ke dalam 3 tahapan. Homo Orans, artinya manusia menyadari bahwa hidupnya dipinjamkan oleh Tuhan. Hendaknya, manusia selalu bersyukur dan mohon berkat Allah agar dapat memanfaatkan hidup bagi kebaikan diri sendiri dan sesama yang menderita. Homo Faber, artinya manusia hanya berguna jika dan hanya jika bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab. Homo Amans, artinya manusia tidak melulu berdoa dan bekerja, tetapi juga wajib mengasihi diri, sesama, dan Tuhan Sang Pemberi Hidup (halaman 19).

Uniknya, secara khusus pria kelahiran Manamas, Timor, 21 Juni 1963 tersebut memaparkan dimensi kerja secara holistik yang bersumber dari Ensiklik Laborem Exercens. Untuk menyelami spiritualitas kerja, dalam dimensi ekonomi, manusia perlu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,  misalnya menyekolahkan anak, membeli barang-barang, membangun rumah, dll. Selain itu, dalam dimensi sosial, kehadiran seseorang dalam masyarakat untuk mengisi orang lain dengan potensi dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Terakhir tapi penting, dalam dimensi spiritual, paderi dari Serikat Sabda Allah (SVD) tersebut menandaskan bahwa mandat kultural manusia ialah sebagai cultivator, yakni setiap pekerjaan diabdikan demi kemuliaan nama-Nya  (Labore Orare).

Buku setebal 249 halaman ini merupakan sharing sekaligus kesaksian Romo Freidz. Berkat Sang Sabda Kehidupan, hidupnya kini berubah dari tawanan keterbatasan menjadi saksi cakrawala kehidupan nan begitu luas. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: