Pada tahap awal pemerintah berencana membangun 42.000 unit rumah masing-masing seharga Rp 15 juta. Padahal, menurut Pemprov DI Yogyakarta, tercatat ada 206.000 unit rumah hancur atau rusak berat. Hal ini bisa menyebabkan gesekan vertikal antara masyarakat dan pemerintah maupun secara horizontal yang bisa memantik "api" kecemburuan sosial antarwarga.
Dari segi anggaran juga amat terbatas karena ada penyusutan yang cukup signifikan, semula Rp 37 miliar kemudian tinggal Rp 20 miliar saja. Dana rehab rumah korban gempa sebesar Rp 30 juta yang pernah dijanjikan oleh Bung Jusuf Kalla ternyata hanya angin lalu, senada dengan tembang Broery Pesolima Memang Lidah Tak Bertulang. Ironisnya lagi pemberian living cost yang hanya sekali itu pun tak merata distribusinya karena terkendala birokrasi.
Alhamdulilah wong Yogya memang biasa bersikap nrima. Walau rumah roboh masih bilang, "Untung masih selamat." Namun, pertanyaan kritis bagi para pejabat di pusat sana, apakah masih terus tega menelantarkan dan mengecewakan para korban bencana? Di tengah situasi mendung semacam ini semua pihak perlu menjaga ucapan serta sudi duduk bersama guna membahas kebijakan recovery yang paling tepat.
Lebih lanjut, koordinasi dan sosialisasi kebijakan ini juga mesti hati-hati dan transparan, termasuk sampai pada hal yang tampaknya sepele, yakni urutan pembangunan unit rumah. Haruslah diprioritaskan pembangunan rumah rusak berat dan yang empunya secara ekonomi memang tak mampu. Hingga saat ini masih ada sekitar 100.000 KK yang masih terlunta-lunta dan berteduh di bawah tenda.
Menurut catatan Sekretaris Daerah DIY, pihak lembaga swadaya masyarakat dan organisasi nonpemerintahan sudah secara aktif memfasilitasi pembangunan 2.000-an unit rumah di seputaran DIY. Kemudian, yang patut mendapat acungan jempol adalah usaha swadaya warga yang bergotong royong membangun sendiri rumahnya. Jumlahnya tak sedikit, sekitar 10.000 rumah. Inisiatif yang terlahir dari grass root macam ini patut dicontoh karena para korban tidak melulu menunggu uluran tangan dari pemerintah maupun pihak luar.
Secara lebih mendalam, proses rekonstruksi pascagempa ini juga harus mendidik warga untuk mandiri. Semisal dengan memberikan tanggung jawab pembangunan kepada fungsionaris desa. Wilayah teritori tadi dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri atas 10 KK. Tujuannya supaya mereka dapat secara demokratis bermusyawarah guna menentukan mekanisme pembangunan, yakni dari pernak-pernik pembagian dana, pembelian bahan material secara kolektif, operasional pembangunan, sampai laporan pertanggungjawaban akhir pascarekonstruksi.
Hal ini akan sinergis dengan program pendewasaan publik menuju masyarakat madani. Pemerintah dan pihak asing janganlah terlalu jauh campur tangan dalam proses rekonstruksi karena kita tak tahu situasi riil di lapangan. Seyogianya sebatas pada subsidi finansial dan pengawasan kelayakan arsitektur bangunan, yakni ketahanan terhadap guncangan gempa dan kesehatan. Jika hal tersebut sungguh diimplementasikan, niscaya Jateng-DIY akan menjadi daerah yang lebih temata. Sehingga, kita sungguh bisa merasakan hikmah di balik bencana yang mendera Bumi Mataram tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar