Desember 14, 2007

MEMBUMIKAN REGULASI PROMONOGAMI

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 19 November 2007.

Isu poligami kembali mencuat setelah keretakan rumah tangga Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Pihak perempuan merasa frustasi karena penerapan regulasi promonogami menemui jalan buntu. Padahal UU Perkawinan Nasional jelas mengatur 'satu suami-satu istri', namun realitasnya berbanding terbalik, mereka terpaksa -ibarat judul film 'berbagi suami'.

Meutia Hatta Swasono, selaku Menteri PemberdayaanPerempuan mengatakan banyak istri PNS engganmelaporkan kasus poligami karena takut suaminya dipecat sehingga tidak bisa lagi menafkahi keluarga.Informasi tersebut dihimpun dari Kotak Pos (PO Box)10.000.

Menurut hemat penulis, poligami memang cenderung berpotensi konflik (inconflict) . Kenapa? karena walau para istri nampak nrimo, tapi sejatinya merana karena dimadu. Penderitaan psikis tersebut bisa menularkepada sang buah hati yang kelak menggangu perkembangan mental si anak.

Memang sih sudah ada payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 45/1990 untuk melindungi para ibu dan anak yang dirugikan dalam perkawinan. Namun, prakteknya masih jauh panggang daripada api. Mengapa? sebab secara kultural posisi tawar perempuan masih lemah. Eksistensi mereka melulu di dapur, sumur, dan kasur. Utamanya di desa-desa terpencil.

Bahkan data terakhir menyebutkan bahwa partisipasi Srikandi bangsa dalam percaturan politik sangatrendah. Tercatat hanya 11,3 persen perempuan yangduduk di parlemen. Padahal kuota idealnya 30 persen. Lebih lanjut, secara genetik perempuan sejatinya lebih unggul ketimbang kaum Adam. Kenapa? kerena kromosomnya lengkap 23 XX. Sehingga, 'barangkali' budaya patriarkal memang merupakan strategi untuk melanggengkan penindasan struktural terhadap kaum Hawa.

Kini menjadi PR kita bersama untuk mengawinkan logika otak dengan rasa hati. Sehingga terlahir sintesa holistis berupa tatanan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sesuai amanah Sila ke-2 Pancasila. Para leluhur kita telah memberi suri tauladan. Bagimereka tidak masalah seorang perempuan memegang tampuk kepemimpinan. Kriterianya bukan jenis kelamin melainkan kompetensi. Sebut saja, Ratu Sima, beliau terkenal amat adil. Bahkan tatkala anak kandungnya sendiri melanggar hukum, sang ratu tetap menjatuhkan sanksi tegas.

Anand Krishna melihat perempuan sebagai Shakti. Yakni sumber energi feminin yang inklusif yang merangkul segenap putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke. Istilah 'perempuan' berasal dari kata 'empu'yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Konsekuensinya, aktivis spiritual ini berpendapat jabatan-jabatan publik lebih baik diamanahkan pada perempuan saja. Kenapa? karena mereka relatif lebih intuitif dan fair dalam mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jarang kita menjumpai Polwan yang bisa disuap.

"Perempuan yang rela dipoligami tidak mewakili perempuan Indonesia seluruhnya,' begitulah pernyataan sikap Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI. Kini tiba saatnya perempuan bersuara dan berkata tidak untuk poligami. Bukan karena sikap membangkang melainkan atas kesadaran bahwasanya monogami memang lebih bisa memfasilitasi terciptanya keluarga sakinah, mawadah, warahmah di Bumi Nusantara tercinta ini.

2 komentar:

yaya mengatakan...

Hebatt.. cool dgn artikel2nya.

Jadi ingat waktu audiensi dgn ratu Hemas. Ketika itu beliau melihat sekian banyak mahasiswi IAIN demo antipoligami, lalu beliau bertanya2sendiri, "apakah mereka sudah merasakan sendiri? atau hanya sekedar ikut2an dan memperkeruh? apa solusinya? kenapa hanya berteriak?" Semoga jadi bahan renungan...

Dulu, waktu Guruji mengatakan perempuan adalah Shakti, betapa bangga banget rasanya jadi perempuan.. tapi setelah dipikir2 dan dirasa2 sendiri.. Apanya yang shakti dalam diri ini, apabila masih ada kedengkian, kebencian, iri, jealousy, maunya ngatur, maunya didengar dan diturutin terusss.. mungkin kalo aku sudah lepas dari sifat2 ini baru keluar itu Shaktinya (energi potensial)... So buat kaum hawa jangan buru2 ge-er kali yaa... kali aja masih sama kaya dakuw.. hehehe

Salut buat bung Nununk..!

Jai Gurudev

Unknown mengatakan...

Yang saya soroti ialah praktek diskriminatif bias gender yang dibungkus rapi dengan sentimen agama. Di Indonesia memang mayoritas penduduknya beragama Islam, lantas sebagai legitimasi para "poligamer" mengutip ayat-ayat Al-Quran di mana menunjukkan bahwa Nabi juga berpoligami. Tapi lain dulu lain sekarang, saat itu beliau melakukannya dalam rangka melindungi kaum hawa dari tangan-tangan jahil kaum jahiliyah yang banyak berkeliaran di Jazirah Arab. Lha kalau sekarang di sini kan sudah banyak LSM yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Di Jogja ada Rifka Anisa, misalnya. Kalau memana tulus hendak membantu mereka kenapa musti dikawini? bukankah lebih bijak bila langsung memberi subsidi, mengangkat jadi saudara ataupun anak asuh. Habis perkara!