Rencana anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) merenovasi rumah dinas di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan sungguh kerterlaluan. Betapa tidak, sembari menunggu perbaikan selesai para "wakil" Rakyat tersebut akan menerima tunjangan Rp 13 juta perbulan. Padahal seorang Guru SMP di pelosok Magelang sana musti nyambi menjadi bakul kupat tahu dan numpang di bekas ruang kelas untuk sekedar berteduh dari hujan dan sengatan terik mentari.
Di manakah sensitifitas anggota dewan kita? Bukankah lebih baik total dana 107 Milyar tersebut dipakai untuk membenahi struktur sosial-kemasyarakatan yang porak-poranda dihantam badai inflasi sembako, kenaikan harga minyak dunia dan pelbagai ekses negatif pemanasan bumi? Tingkah-pongah mereka kian mencuatkan image DPR sebagai lembaga – meminjam istilah Bung Ariel Heryanto – 3 D: Duduk, Dengar, Duit! Padahal menurut Undang-Undang No 22/2003, tugas utama DPR ialah untuk menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi konstituennya. Sumpah jabatan tersebut diikrarkan di hadirat Tuhan Yang Maha Esa serta 220 juta Rakyat Indonesia!
Ternyata ide renovasi tersebut berasal dari Ketua DPR-RI sendiri, Agung Laksono. Beliau menyatakn bahwa setiap bulan anggaran dana perawatan rumah kian membengkak. Dengan mempertimbangkan kondisi kompleks bangunan yang dibangun awal 1980-an itu, beliau merekomendasikan agar rumah dinas tersebut direnovasi.
Interupsi Pak Ketua! Apakah untuk mengatasi masalah sepele, misalnya menambal atap yang bocor atau membetulkan saluran pembuangan air yang mampat, anggota dewan musti 'mengemis' uang Rakyat? Bukankah sudah semestinya kalian merogoh kocek sendiri dari gaji bulanan guna memperbaiki rumah dinas yang ditempati? Lebih lanjut, berapa persen sih dari total 550 anggota DPR yang sudi tinggal di sana? Bukankah beliau-beliau lebih suka menyewa apartemen dan membangun vila-vila pribadi nan mewah di Puncak dan Pulau Dewata?
Dalam kitab kearifan China "I Ching" ada petuah "Shih" alias Kepemimpinan. "Seorang pemimpin yang bijak akan turun ke lapangan. Ia tidak hanya memerintah, ia juga akan ikut berkarya." (baca: I Ching - Bagi Orang Modern, Anand Krishna, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Seyogianya selama 5 tahun masa jabatan, anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD musti relatif dekat dengan para konstituen, ia harus berani blusukan berada di tengah-tengah massa rakyat alias nyawiji dalam bahasa Jawanya.
Seorang pemimpin perlu memahami dan merasakan betul apa yang menjadi aspirasi rakyat di akar rumput? Kalau memang masih enggan berpihak pada rakyat (prorakyat) sebaiknya jangan menjadi pejabat publik dulu. Lebih baik kita dipimpin oleh seorang yang bijak daripada menjadi pemimpin yang kurang bijak. Senada dengan tembang "Bung Hatta"-nya Iwan Fals, "... terbayang bhaktimu, terbayang jasamu, terbayang jelas jiwa sederhanamu.... bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu..."
Bukan harta, wanita, ataupun takhta yang Proklamator RI tercinta itu warihkan pada putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke, melainkan bhakti, pengorbanan, dan kesederhanaan jiwa! Semoga uswatun hasanah alias suri tauladan para founding fathers tersebut dilihat dan dipraktikkan oleh para pelayan publik abad -21 ini. Konkretnya, mulai dengan mengatakan tidak untuk renovasi rumah dinas DPR!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar