Desember 14, 2007

TUNA SATHAK BATHI SANAK

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 12 November 2007.

Apa sih kebutuhan mendesak manusia Indonesia saat ini? Secara gamblang ialah pemenuhan sembilan kebutuhan pokok bagi puluhan juta rumah tangga miskin (RTM) dari Sabang sampai Merauke!Ironisnya, menjelang hari besar keagamaan, seperti Dipavali, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru harga sembako di pasaran justru melonjak. Kelapa untuk membuat santan gudeg semuala Rp 1.000 sebutir, sekarang mencapai Rp 3.500!

Senada dengan tembang Bung Iwan Fals, "Maafkan kedua orang tuamu bila tak bisa beli susu, orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi." Kenapa? karena pemerintah terlalu bergantung pada mekanisme pasar.Tatkala permintaan tinggi dan persediaan terbatas, otomatis terjadi inflasi. Celah ini dimanfaatkan para cukong untuk menimbun barang dan baru melepasnya ketika harga merambat naik sehingga konsumen (miskin) yang menjadi korban.

Solusinya ialah dengan menggalakkan operasi pasar murah, terutama dipasar-pasar tradisional. Lebih lanjut, sistem ekonomi nasional juga mesti direvisi agar inflasi tidak menjadi tradisi. Secara historis, pemerintah mulai memberlakukan liberalisasi pasar sejak awal 1980-an. Pola pembangunan Indonesia mengadopsi sistem ekonomi terbuka sehingga intervensi pihak asing kian menggurita.

Celakanya, yang menikmati "kue" tersebut hanya segelintir elite yang dekat dengan kekuasaan. Di pihak lain, mayaoritas rakyat masih berkubang dalam lumpur kemiskianan. Saat ini, tak kurang dari 15 juta balita menderita malnutrition. Kelak, generasi masa depan bangsa ini tak bisa bekerja secara optimal karena perkembangan struktur otaknya terganggu.

Situasi miris ini secara tepat dilukiskan oleh Anthony Giddens. "Karena tunduk pada panglima modal, manusiamenghadapi gejala aneh. Di satu sisi, manusia bisahidup makin nyaman, bepergian dengan cepat, berkomunikasi secara lancar, dan makan lebih lezat. Disisi lain, kemerosotan di banyak sektor kehidupan terjadi, angka kemiskinan dan pengangguran membumbung tinggi, krisis ekonomi berkepanjangan, ketidakadilan sosial merajarela. Pemerintah sudah berganti, kabinet terus berubah, dan anggaran belanja negara telah disesuaikan, tapi tetap saja korban-mereka yang menderita kemiskinan secara material-terus bertambah dari hari ke hari. Situasi ini acapkali ditengarai sebagai jaman yang 'berlari tunggang-langgang" (Runaway World, Polity Press, 1996).

Padahal bila kita sudi belajar (dari) sejarah, para founding fathers kita telah memiliki jawaban ataspersoalan sosial-kemasyarakat an dewasa ini. Sepertiyang termaktub dalam butir kelima Pancasila, KeadilanSosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ibarat kekuatan mata rantai yang terletak pada matarantai terlemah, peningkatan kualitas hidup sebagian manusia di Republik Indonesia tercinta ini secara alamiah akan menaikkan mutu hidup seluruh anak negri. Karena itu, pemerintah seyogianya lebih berpihak pada rakyat miskin atau dengan kata lain, lebih prorakyat!

Bung Hatta telah mewariskan konsepsi koperasi padakita. Sebuah sistem ekonomi yang berwatak sosial danberasaskan kekeluargaan. Tinggal bagaimana visi tersebut dibadankan (dipraksiskan) dalam keseharian. Langkah sederhana seperti yang digagas Anand Krishna. Aktivis spiritual ini memprakarsai pembentukan Koperasi Global Anand Krishna di Bali (12 Juli 2007), Joglosemar (27 Juli 2007), dan Jakarta (1 September2007). Koperasi spiritual pertama di Indonesia inimenyediakan anaka barang produksi dalam negeri bagiseluruh anggota dan masyarakat sekitar.Termasuk menerbitkan buku berkualitas (Voice of Indonesia, 2007) untuk memupuk kesadaran sipil (civil awareness).

Saat ini, ada lebih dari 3,8 juta usaha kecil menengah(UKM) di seantero Nusantara. Seiring dengan pesatnyaperkembangan teknologi informasi, sinergi (gotong-royong) antara pihak swarta, pemerintah, dan kopreasi di akar rumput semakin mudah dijalin dandikembangkan. Karena itu, ke depan, niscaya bangsa ini dapatmewujudkan tata ekonomi yang lebih adil dan manusiawi- atau dalam peribahasa Jawanya - yang Tuna Sathak Bathi Sanak.

Tidak ada komentar: