Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) telah memancing kontroversi yang kian meluas dan memanas. Topik ini menjadi perbincangan bahkan menjurus ke perseteruan sengit di program diskusi live di televisi maupun di bawah temaram lampu senthir angkringan.
Secara pribadi, penulis menolak tegas pemberlakukan RUU APP ini karena perundangan tersebut akan merampas kebebasan individu, utamanya kaum perempuan. Masalah seksualitas ialah urusan personal, sehingga tidaklah tepat dan sehat bila pemerintah, pemuka agama dan tokoh masyarakat terlalu jauh campur tangan. Senada dengan syair profetis Iwan Fals dalam lagu "Manusia Setengah Dewa", "Masalah moral, masalah akhlak biar kami cari sendiri/ urus saja moralmu, urus saja akhlakmu/ peraturan yang sehat yang kami mau!"
Budaya asli Indonesia telah melihat perempuan sebagai Shakti. Yakni sumber energi feminin yang inklusif, merangkul semua elemen bangsa, putra-putri Ibu Pertiwi. Sehingga kita tak memerlukan perundangan impor yang justru membungkus tubuh perempuan secara ketat dan menyesakkan. Menyadur kata-kata Shakespeare, "Kebesaran sebuah bangsa, berbanding lurus dengan tingkat apresiasi dan penghargaan pada perempuan!"
Negara beserta seluruh aparatusnya, termasuk tokoh masyarakat dan pemuka agama ialah pengabdi dan pelayan umat. A leader is a server! Tugasnya apa? yakni memfasilitasi setiap orang mencecap kesejahteraan lahir-batin. Sungguh ironis tatkala rakyat dipaksa secara sistemik struktural mengikat pinggang lebih kencang sedangakan para wakil rakyat justru menuntut kenaikan gaji. Apakah masih layak menyandang gelar mulia "wakil" rakyat? Sebuah strategi politik tingkat tinggi tapi jelas tidak berlandaskan nurani!
Lantas, secara "cerdas" perhatian masyarakat dialihkan ke masalah sensitif dan sensual lewat RUU APP ini. Padahal ada problem kebangsaan yang lebih urgen untuk dituntaskan apabila kita tak ingin bangsa ini tergadaikan. Misalnya, konspirasi segelintir elit politik dan para kapitalis alia cukong berduit tuk mengeksploitasi perut Bumi Papua, Cepu, Bojonegoro, dst. Juga jangan pernah lupa pada kasus korupsi berjamaah BLBI yang meraibkan uang rakyat trilyunan rupiah. Masih ditambah awan mendung yang menutupi dunia pendidikan nasional karena anggaran hanya 7 persen dari total APBN.
Segenap Civil Society, elemen masyarakat, utamanya kaum akademisi perlu secara berani dan kritis menyikapi situasi ekonomi, politik nasional tersebut. Dengan berbekal empati dan budi pekerti yang bening maka kita bisa melihat motivasi kunci di balik skenario dagelan RUU APP tersebut. Yakni keserakahan segelintir orang pada fulus, pangkat dan gengsi. Ini berarti mereka telah mengkhianati cita-cita luhur para pejuang dan founding fathers yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar