Desember 14, 2007

DARI TOLERANSI MENUJU APRESIASI

Dimuat di Rubrik Surat Anda, Media Indonesia 1 Oktober 2007.

Terharu hati ini tatkala menyaksikan budaya masyarakat Gamelan Kampoeng of Tolerance. Kenapa? karena walau para warga Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut memeluk agama yang berbeda tapi semangat guyub-rukun masih lestari.

Semboyan luhur Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa menemukan relevansinya kembali ketika warga nonmuslim menjaga keamanan kampung sehingga tetangganya bisa menunaikan salat Id dengan khusyuk. Bahkan, paskasalat mereka bermaaf-maafan dan mengadakan jamuan makan sederhana yang disediakan secara swadaya.

Menurut Benedict Anderson, ungkapan "toleransi" sebagai sifat asasi wong Jawa mulai populer sejak api nasionalisme berkobar di bumi pertiwi seabad silam.Sebelumnya, para ahli menyebut sikap kelapangan hatitersebut dengan istilah "sinkretisme Jawa".

Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,' toleransi' berarti sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya soal agama, ideologi, suku, ras, golongan, dll.

Dengan demikian, sikap main hakim sendiri yang kerap dilakukan ormas yang mengatas namakan agama tertentutapi dalam praktiknya menggunakan cara-cara kekerasan jelas mengkhinati ajaran universal setiap agama yangmengutamakan kasih, perdamaian, dan harmoni (love, peace, and harmony).

Ironisnya, aparat keamanan terkesan membiarkan tingkah-pongah tersebut. Bukankah sudah menjadi tugas orang tua untuk menegur anak-anaknya yang mbalelo dan membahayakan orang lain.Yogyakarta sebagai kota budaya, potensial sekali menjadi model komunitas multikultur. Ambil contoh didunia kampus, mahasiswa-mahasiswi dari pelbagai wilayah di nusantara berkumpul di Bumi Mataram guna menuntut ilmu.

Sedikit sharing, di dekat kos penulisada asrama mahasiwa Fak-fak, Papua. Saat Lebaran lalu, mereka tidak mudik. Padahal banyak warung makanan yang tutup. Uniknya, secara sukarela paratetangga yang notabene warga setempat (DusunSoropadan) sudi berbagi hidangan ala kadarnya untuk mereka. Memang sih ibarat kata pepatah, kita menuai apa yang kita tanam. Para perantau tersebut juga sudi beradaptasi dan bergaul dengan warga setempat.

Lebih lanjut, 'toleransi' pun musti dimuaikan menjadi"apresiasi". Istilah itu mulai dipopulerkan oleh Anand Krishna. Tokoh humanis lintas agama nusantara tersebut mengajak kita menghargai (to appreciate), mengerti (to undersatand) , dan mengenal (to know) diri sendiri, orang lain, bahkan alam semesta.

Sebab, perbedaan merupakan modal dasar untuk bisa maju bersama. Kongkretnya seperti apa yang telah dirintis warga Gamelan Lor dan Kidul, yakni dengan bergotong-royong mewujudkan (kampung) Indonesia yang bersih, sejahtera, dan damai bagi segenap putra-putriIbu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke.

Tidak ada komentar: