Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 10 Maret 2008
"Hare gene ngomong pake basa Jawa, apa kata dunia?" Begitulah komentar kaum muda menyikapi ajakan pemakaian bahasa Jawa di abad ke-21 ini. Bahkan para generasi Music Television (MTV) itu lebih suka nongkrong di Mall ketimbang nonton Pasar Malam dan Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Globalisasi melenakan kesadaran kolektif generasi muda. Akibatnya, kami tercerabut dari akar budaya lokal. Ada yang bergaya "kebarat-baratan" pada satu sisi dan "kearab-araban" pada sisi lainnya. Di antara kedua kutub tersebut, variannya pun beragam.
Padahal tradisi Kejawen - berasal dari nama tumbuhan kejawen, yakni sejenis rerumputan yang mirip batang padi - menyimpan khasanah luhur. Contoh konkret seni pewayangan, ia mengandung ajaran spiritual adiluhung. Mpu Kanwa menjadikan "tontonan" tersebut sebagai "tuntunan" sekaligus landasan "tatanan" masyarakat. Wayang dikenal luas oleh leluhur kita. Tepatnya sejak zaman Dinasti Airlangga di Kerajaan Singosari pada abad ke-12.
Ironisnya, saat ini hanya segelintir orang muda yang tergerak merenungkan makna filosofis di balik tokoh Wayang. Contoh konkret Panakawan. Panakawan berasal dari dua kata. Pana artinya bijak dan kawan sinonim dengan sahabat. Ki Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah para sahabat bijaksana alias kesadaran yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Contoh lainnya ialah tradisi kungkum di sumber mata air. Prosesi sederhana ini niscaya menyehatkan, baik secara lahir maupun batin. Menurut penelitian dr. Masaro Emoto, seorang ilmuwan kondang asal Jepang, terapi rendam bisa mendetosifikasi racun di dalam tubuh.
Air, terutama yang masih alami, berkhasiat melepaskan beban stres dan radikal-radikal bebas. Niscaya rasa pang rasa kita kembali ke titik indeferent (lepas-bebas). Situasi batin tersebut terproyeksi dalam bentuk kristal heksagonal yang indah (Lihat :http://wb4.indo-work.com/pdimage/84/329784_molek.gif )
Bahkan tatkala peradaban Barat baru mulai mengenal istilah IQ, EQ, SQ, IESQ, dll pada era 1970-an, lehuhur kita mendiang Sri Paduka Mangkunegoro IV telah mengajarkan laku sembah raga, cipta, rasa dan karsa dalam keseharian ziarah hidup. Ajaran esoterik tersebut termaktub dalam Geguritan (Tembang) Wedhatama (Baca: Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Di kepulauan Nusantara ini, tercatat tak kurang dari 300 suku bangsa. Masing-masing memiliki - meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara - unggulan budaya yang khas sekaligus saling memperkaya satu sama lain.
Antonius Herujiyato Ph.D mendokumentasikan dan menterjemahkan 99 filosofi Jawa ke dalam bahasa Inggris. Karena selama ini lebih banyak petuah yang diturunkan secara lisan. Judul thesis S3 tersebut Katrenanism Theory. Antara lain berisi ajaran andhap asor alias sikap rendah hati (being humble), 2. kraton nDalem alias melihat spirit di balik ritual, keraton bukan semata bangunan fisik, melainkan lebih merupakan simbolisasi lelaku manusia untuk mencapai kesejatian hidup (being spiritual), dll (Sumber: Panel Discussion on Katresnanism, Universitas Sanata Dharma, 2003)
Contoh lainnya ialah novel-novel karya Almarhum Romo Y.B Mangunwijaya Pr. Beliau menulis karya sastra yang kaya muatan filosofi Jawa, a.l: 'Lali-lali datan lali, lawan saya katon, upamakna wit-witan kang gedhe, mrajak saya semi, tresnaku ngrembuyung." Artinya, "Lupa, lupa tidak bisa lupa, semakin lama semakin tampak, ibarat pohon besar, berkembang kian bersemi, cintaku semakin rimbun. (Baca: Roro Mendut, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1983, hal 352)
Nilai lokalitas ibarat ruh bagi "bangkai" peradaban modern. Perkembangan pesat laju Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK ), baik lewat situs FB (Facebook), FS (Friendster) dan YM (Yahoo Mesenger) tak tuntas memuaskan dahaga anak bangsa untuk menemukan makna eksistensinya. Pada sisi lain interpretasi ajaran agama cenderung dogmatis dan ekslusif. Sepanjang 2000 tahun terakhir, anak-cucu Adam telah berperang dengan mengatasnamakan agama sebanyak 3000 kali. Akibatnya, umat manusia tak lagi leluasa menghirup universalitas kosmik.
Akhir kata, bumi Nusantara tercinta dari Sabang sampai Merauke toh masih menyimpan harta karun berharga. Saatnya kita menggali dan mempromosikan kembali khasanah kearifan lokal tersebut. Tentu secara elegan dan sesuai dengan konteks saat ini. Rahayu!
"Hare gene ngomong pake basa Jawa, apa kata dunia?" Begitulah komentar kaum muda menyikapi ajakan pemakaian bahasa Jawa di abad ke-21 ini. Bahkan para generasi Music Television (MTV) itu lebih suka nongkrong di Mall ketimbang nonton Pasar Malam dan Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Globalisasi melenakan kesadaran kolektif generasi muda. Akibatnya, kami tercerabut dari akar budaya lokal. Ada yang bergaya "kebarat-baratan" pada satu sisi dan "kearab-araban" pada sisi lainnya. Di antara kedua kutub tersebut, variannya pun beragam.
Padahal tradisi Kejawen - berasal dari nama tumbuhan kejawen, yakni sejenis rerumputan yang mirip batang padi - menyimpan khasanah luhur. Contoh konkret seni pewayangan, ia mengandung ajaran spiritual adiluhung. Mpu Kanwa menjadikan "tontonan" tersebut sebagai "tuntunan" sekaligus landasan "tatanan" masyarakat. Wayang dikenal luas oleh leluhur kita. Tepatnya sejak zaman Dinasti Airlangga di Kerajaan Singosari pada abad ke-12.
Ironisnya, saat ini hanya segelintir orang muda yang tergerak merenungkan makna filosofis di balik tokoh Wayang. Contoh konkret Panakawan. Panakawan berasal dari dua kata. Pana artinya bijak dan kawan sinonim dengan sahabat. Ki Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah para sahabat bijaksana alias kesadaran yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Contoh lainnya ialah tradisi kungkum di sumber mata air. Prosesi sederhana ini niscaya menyehatkan, baik secara lahir maupun batin. Menurut penelitian dr. Masaro Emoto, seorang ilmuwan kondang asal Jepang, terapi rendam bisa mendetosifikasi racun di dalam tubuh.
Air, terutama yang masih alami, berkhasiat melepaskan beban stres dan radikal-radikal bebas. Niscaya rasa pang rasa kita kembali ke titik indeferent (lepas-bebas). Situasi batin tersebut terproyeksi dalam bentuk kristal heksagonal yang indah (Lihat :http://wb4.indo-work.com/
Bahkan tatkala peradaban Barat baru mulai mengenal istilah IQ, EQ, SQ, IESQ, dll pada era 1970-an, lehuhur kita mendiang Sri Paduka Mangkunegoro IV telah mengajarkan laku sembah raga, cipta, rasa dan karsa dalam keseharian ziarah hidup. Ajaran esoterik tersebut termaktub dalam Geguritan (Tembang) Wedhatama (Baca: Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Di kepulauan Nusantara ini, tercatat tak kurang dari 300 suku bangsa. Masing-masing memiliki - meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara - unggulan budaya yang khas sekaligus saling memperkaya satu sama lain.
Antonius Herujiyato Ph.D mendokumentasikan dan menterjemahkan 99 filosofi Jawa ke dalam bahasa Inggris. Karena selama ini lebih banyak petuah yang diturunkan secara lisan. Judul thesis S3 tersebut Katrenanism Theory. Antara lain berisi ajaran andhap asor alias sikap rendah hati (being humble), 2. kraton nDalem alias melihat spirit di balik ritual, keraton bukan semata bangunan fisik, melainkan lebih merupakan simbolisasi lelaku manusia untuk mencapai kesejatian hidup (being spiritual), dll (Sumber: Panel Discussion on Katresnanism, Universitas Sanata Dharma, 2003)
Contoh lainnya ialah novel-novel karya Almarhum Romo Y.B Mangunwijaya Pr. Beliau menulis karya sastra yang kaya muatan filosofi Jawa, a.l: 'Lali-lali datan lali, lawan saya katon, upamakna wit-witan kang gedhe, mrajak saya semi, tresnaku ngrembuyung." Artinya, "Lupa, lupa tidak bisa lupa, semakin lama semakin tampak, ibarat pohon besar, berkembang kian bersemi, cintaku semakin rimbun. (Baca: Roro Mendut, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1983, hal 352)
Nilai lokalitas ibarat ruh bagi "bangkai" peradaban modern. Perkembangan pesat laju Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK ), baik lewat situs FB (Facebook), FS (Friendster) dan YM (Yahoo Mesenger) tak tuntas memuaskan dahaga anak bangsa untuk menemukan makna eksistensinya. Pada sisi lain interpretasi ajaran agama cenderung dogmatis dan ekslusif. Sepanjang 2000 tahun terakhir, anak-cucu Adam telah berperang dengan mengatasnamakan agama sebanyak 3000 kali. Akibatnya, umat manusia tak lagi leluasa menghirup universalitas kosmik.
Akhir kata, bumi Nusantara tercinta dari Sabang sampai Merauke toh masih menyimpan harta karun berharga. Saatnya kita menggali dan mempromosikan kembali khasanah kearifan lokal tersebut. Tentu secara elegan dan sesuai dengan konteks saat ini. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar