Oktober 21, 2008

Harmoni Hidup

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Harian Joglosemar, Senin, 21-10-2008

Indonesia masih terbelit krisis ekonomi dan politisasi agama. Meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, Pancasila sebagai saripati budaya bangsa, kian tergerus arus neoliberalisme dan fundamentalisme berkedok kepercayaan. Kebinekaan ialah modal dasar kita untuk bangkit. Ironisnya, semua itu justru dipakai untuk memicu konflik horisontal. United Nation Support Facility for Indonesia (UNSFR) mencatat terjadi 3.608 kali tindak kekerasan bernuansa SARA sepanjang 1999-2003.

Sebelum agama Samawi masuk, leluhur kita sudah berbudaya. Mahasiswa Antropologi Univeristas Udayana Bali meneliti kromosom DNA sesepuh kita yang khas dan relatif cinta damai. Maha Patih Gajah Mada beragama Budha, sedangkan Raja Hayam Wuruk menganut ajaran Hindu, toh keduanya tidak saling gontok-gontokan.

Raja Sriwijaya Haji Sumatrani beragama Islam, padahal penduduknya lebih banyak yang memeluk Hindu dan Shiva Tantra. Relief Candi Sewu di dekat Prambanan bercorak Buddhis, sedangkan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Toh tetap bisa hidup berdampingan. Borobudur peninggalan wangsa Sailendra, masyarakat di sekitarnya lebih banyak muslim, tapi mereka pun tetap saling mengapresiasi dan hidup dalam harmoni.

Tidak ada komentar: