Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 29 Juli 2008
Hampir 63 tahun RI merdeka. Tapi sistem pendidikan nasional belum mampu memerdekakan jiwa anak bangsa. Bahkan selama beberapa dasawarsa terakhir pengajaran lebih bercorak pragmatis guna mencetak "tenaga-tenaga siap pakai". Tunas-tunas muda dibonsai menjadi "aset" dalam rangka mengejar indeks pertumbuhan ekonomi. Ruh pendidikan tersubordinasi oleh tujuan yang bersifat materialistik.
Akibatnya, pelbagai masalah datang silih-berganti. Berupa ancaman disintegrasi yang sejatinya murni ekonomi-politik tapi dibungkus dengan sentimen SARA, ketidakmandirian bangsa dalam bidang ekonomi karena belitan hutang, tata perpolitikan yang belum berorientasi pada rakyat, Senayan menjadi sarang penyamun, penuh luapan katarsis seksual, suap dan korupsi, last but not least sektor pendidikan terus dianaktirikan, anggarannya tak pernah mencapai 20 persen dari APBN.
Penulis merindukan kelahiran manusia Indonesia baru yang sudi bergotong-royong membangkitkan kembali bangsa ini dari segala keterpurukan di muka. Tapi faktanya, kini sekolah dan universitas lebih banyak mencetak individu yang hanya memikirkan diri sendiri. Padahal raison d' etre pendidikan ialah untuk meningkatkan derajat kemanusiaan kita sebagai mahluk sosial bahkan spiritual.
Sejatinya Ki Hadjar Dewantara telah mewarihkan landasan kuat bagi tujuan pendidikan nasional tersebut. Pengajaran tidak cuma untuk mencetak orang pintar, memiliki ketrampilan teknis serta sikap profesional tertentu. Tapi - sebagaimana didambakan para founding fathers - harus bersifat membebaskan atau meminjam istilah Romo Driyakara SJ "memanusiakan manusia!"
Praksis pendidikan macam itulah yang niscaya dapat membuat (jiwa) bangsa ini bangkit. Kita pernah memiliki dinasti yang paling lama berkuasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Sriwijaya berjaya selama 800 tahun! Transformasi jagad pendidikan ialah anak tangga pertama menuju terwujudnya cita-cita universal yang digagas oleh tokoh humanis lintas agama Anand Krishna: Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky, One Humankind).
Oleh sebab itu, Departemen Pendidikan Nasional bersama dengan dinas-dinas terkait musti menggali dan mengangkat kembali nilai-nilai universal dari khazanah budaya Nusantara sendiri, yang terbukti mampu mempersatukan NKRI dari Sabang sampai Merauke dalam sebuah platform kebangsaan. Nilai-nilai Budi Pekerti musti mewarnai semua mata pelajaran di sekolah-sekolah kita.
Pemerintah juga harus lebih selektif memberikan izin bagi pendirian lembaga pendidikan. Surat izin semestinya diberikan pada sosok yang telah teruji visinya, bukan pada para pebisnis yang hanya ingin meraup fulus. Selain itu musti ada apresiasi lebih bagi para guru. Yakni dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Kenapa? karena guru yang tertekan jiwanya tidak mungkin memfasilitasi kelahiran kembali anak-anak didik yang berjiwa merdeka.
Akhirulkalam media massa, baik cetak maupun elektronik, musti menciptakan atmosfir yang kondusif guna menunjang mekarnya cinta anak bangsa.
Hampir 63 tahun RI merdeka. Tapi sistem pendidikan nasional belum mampu memerdekakan jiwa anak bangsa. Bahkan selama beberapa dasawarsa terakhir pengajaran lebih bercorak pragmatis guna mencetak "tenaga-tenaga siap pakai". Tunas-tunas muda dibonsai menjadi "aset" dalam rangka mengejar indeks pertumbuhan ekonomi. Ruh pendidikan tersubordinasi oleh tujuan yang bersifat materialistik.
Akibatnya, pelbagai masalah datang silih-berganti. Berupa ancaman disintegrasi yang sejatinya murni ekonomi-politik tapi dibungkus dengan sentimen SARA, ketidakmandirian bangsa dalam bidang ekonomi karena belitan hutang, tata perpolitikan yang belum berorientasi pada rakyat, Senayan menjadi sarang penyamun, penuh luapan katarsis seksual, suap dan korupsi, last but not least sektor pendidikan terus dianaktirikan, anggarannya tak pernah mencapai 20 persen dari APBN.
Penulis merindukan kelahiran manusia Indonesia baru yang sudi bergotong-royong membangkitkan kembali bangsa ini dari segala keterpurukan di muka. Tapi faktanya, kini sekolah dan universitas lebih banyak mencetak individu yang hanya memikirkan diri sendiri. Padahal raison d' etre pendidikan ialah untuk meningkatkan derajat kemanusiaan kita sebagai mahluk sosial bahkan spiritual.
Sejatinya Ki Hadjar Dewantara telah mewarihkan landasan kuat bagi tujuan pendidikan nasional tersebut. Pengajaran tidak cuma untuk mencetak orang pintar, memiliki ketrampilan teknis serta sikap profesional tertentu. Tapi - sebagaimana didambakan para founding fathers - harus bersifat membebaskan atau meminjam istilah Romo Driyakara SJ "memanusiakan manusia!"
Praksis pendidikan macam itulah yang niscaya dapat membuat (jiwa) bangsa ini bangkit. Kita pernah memiliki dinasti yang paling lama berkuasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Sriwijaya berjaya selama 800 tahun! Transformasi jagad pendidikan ialah anak tangga pertama menuju terwujudnya cita-cita universal yang digagas oleh tokoh humanis lintas agama Anand Krishna: Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky, One Humankind).
Oleh sebab itu, Departemen Pendidikan Nasional bersama dengan dinas-dinas terkait musti menggali dan mengangkat kembali nilai-nilai universal dari khazanah budaya Nusantara sendiri, yang terbukti mampu mempersatukan NKRI dari Sabang sampai Merauke dalam sebuah platform kebangsaan. Nilai-nilai Budi Pekerti musti mewarnai semua mata pelajaran di sekolah-sekolah kita.
Pemerintah juga harus lebih selektif memberikan izin bagi pendirian lembaga pendidikan. Surat izin semestinya diberikan pada sosok yang telah teruji visinya, bukan pada para pebisnis yang hanya ingin meraup fulus. Selain itu musti ada apresiasi lebih bagi para guru. Yakni dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Kenapa? karena guru yang tertekan jiwanya tidak mungkin memfasilitasi kelahiran kembali anak-anak didik yang berjiwa merdeka.
Akhirulkalam media massa, baik cetak maupun elektronik, musti menciptakan atmosfir yang kondusif guna menunjang mekarnya cinta anak bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar