Dimuat di Rubrik Opini, Radar Jogja, 6 Agustus 2008
"Brain is the home of your mind, your memory, your personality.
Brain is where you feel hunger and thirst,
exhaustion and excitement, fear and joy.
Brain is what makes you: YOU!"
(Your Amazing Brain, New York University and Brooklyn College, Daria Luisi PhD and Dr Tony Smith, 1995)
Krisis multifaset yang mendera bangsa ini dapat ditelisik akarnya dari struktur otak manusia. Selain otak kiri yang rasional dan kanan yang intuitif, ada satu bagian otak yang acapkali terlupakan namanya Lymbic Section.
Tatkala pusat insting hewani yang mengkoordinasi kedua batang otak tadi jarang dibersihkan, maka keliaran dalam diri manusia tetap eksis. Sehingga jangan heran bila ada anggota parlemen, yudikatif dan kabinet yang kelakuan di belakang meja menyimpang dari sumpah jabatan. Penuh intrik, suap dan korup, bahkan sampai meminta "bayaran" wanita.
Dokter Bambang Setiawan, seorang ahli bedah syaraf terkemuka mengatakan situasi ekonomi-politik bangsa ini begitu terpuruk karena mayoritas politisi melulu mengutamakan kepentingan kelompok/partainya sendiri. Mereka kurang peka (sensitive) terhadap amanah penderitaan konstituennya di akar rumput (Otak para Pemimpin Kita, PT One Earth Media Jakarta, 2005)
Ironisnya sistem pendidikan nasional kita pun cuma mengurusi otak kiri. Padahal penelitian medis di Barat memverifikasi kesuksesan seseorang 80 persen ditentukan oleh berkembangnya otak kanan yang intuitif, imaginatif dan inovatif. Ironisnya kini banyak sarjana yang minteri alias memakai ilmunya untuk menghisap orang lain dan lingkungan sekitar secara membabi-buta.
Parahnya lagi, bila kecenderungan egoistik tadi berkolaborasi dengan otak kanan. Egosentrisme dibungkus dengan kata-kata manis. Bukankah pola semacam ini yang acapkali diterapkan para politisi kita? Mereka mengumbar janji saat kampanye pemilu, tapi setelah berkuasa dan duduk di kursi empuk justru melik nggendong lali alias lupa pada tanggungjawab melayani rakyat tanpa pandang bulu.
Tapi mari kita berefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Bukankah kita pula yang memilih atau bagi yang golput - memilih untuk tidak memilih - para pemimpin bangsa tersebut?
Konsekuensinya, kita pun musti bertanggungjawab dan bergotong-royong membongkar kebobrokan struktur mental tersebut. Mulai dari diri sendiri di lingkar pengaruh masing-masing sesuai kapasitas individu sejauh itu mungkin bagi makhluk yang berintelegensia.
Konkretnya ialah dengan telaten alias rajin membersihkan lymbic section dari sampah pikiran, karat emosi, trauma masa lalu, dan nafsu hendak menguasai yang terpendam dalam gudang subconcious mind alias bawah sadar kita.
Caranya meniti ke dalam diri dan mengenali jati diri kemanusiaan kita. Tujuannya, agar kita berhenti menjadi budak panca indra dan bisa menjadi tuan atas diri sendiri. Niscaya keberadaan kita menjadi berkah bagi sesama anak bangsa, warga dunia dan segenap titah ciptaan.
Akhirulkalam, mendiang Romo Mangun berpesan, "Semakin kita memberi, semakin kita kaya. Bila kita memberikan hati, pengorbanan dan segala yang indah pada orang lain, terutama kepada mereka yang miskin dan tertindas maka kita tidak akan pernah kekurangan lagi, tetapi sebaliknya kita akan senantiasa hidup dalam kelimpahan!"
Adakah mentalitas abundance macam itu sempat melintas dalam otak politisi negri ini?
"Brain is the home of your mind, your memory, your personality.
Brain is where you feel hunger and thirst,
exhaustion and excitement, fear and joy.
Brain is what makes you: YOU!"
(Your Amazing Brain, New York University and Brooklyn College, Daria Luisi PhD and Dr Tony Smith, 1995)
Krisis multifaset yang mendera bangsa ini dapat ditelisik akarnya dari struktur otak manusia. Selain otak kiri yang rasional dan kanan yang intuitif, ada satu bagian otak yang acapkali terlupakan namanya Lymbic Section.
Tatkala pusat insting hewani yang mengkoordinasi kedua batang otak tadi jarang dibersihkan, maka keliaran dalam diri manusia tetap eksis. Sehingga jangan heran bila ada anggota parlemen, yudikatif dan kabinet yang kelakuan di belakang meja menyimpang dari sumpah jabatan. Penuh intrik, suap dan korup, bahkan sampai meminta "bayaran" wanita.
Dokter Bambang Setiawan, seorang ahli bedah syaraf terkemuka mengatakan situasi ekonomi-politik bangsa ini begitu terpuruk karena mayoritas politisi melulu mengutamakan kepentingan kelompok/partainya sendiri. Mereka kurang peka (sensitive) terhadap amanah penderitaan konstituennya di akar rumput (Otak para Pemimpin Kita, PT One Earth Media Jakarta, 2005)
Ironisnya sistem pendidikan nasional kita pun cuma mengurusi otak kiri. Padahal penelitian medis di Barat memverifikasi kesuksesan seseorang 80 persen ditentukan oleh berkembangnya otak kanan yang intuitif, imaginatif dan inovatif. Ironisnya kini banyak sarjana yang minteri alias memakai ilmunya untuk menghisap orang lain dan lingkungan sekitar secara membabi-buta.
Parahnya lagi, bila kecenderungan egoistik tadi berkolaborasi dengan otak kanan. Egosentrisme dibungkus dengan kata-kata manis. Bukankah pola semacam ini yang acapkali diterapkan para politisi kita? Mereka mengumbar janji saat kampanye pemilu, tapi setelah berkuasa dan duduk di kursi empuk justru melik nggendong lali alias lupa pada tanggungjawab melayani rakyat tanpa pandang bulu.
Tapi mari kita berefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Bukankah kita pula yang memilih atau bagi yang golput - memilih untuk tidak memilih - para pemimpin bangsa tersebut?
Konsekuensinya, kita pun musti bertanggungjawab dan bergotong-royong membongkar kebobrokan struktur mental tersebut. Mulai dari diri sendiri di lingkar pengaruh masing-masing sesuai kapasitas individu sejauh itu mungkin bagi makhluk yang berintelegensia.
Konkretnya ialah dengan telaten alias rajin membersihkan lymbic section dari sampah pikiran, karat emosi, trauma masa lalu, dan nafsu hendak menguasai yang terpendam dalam gudang subconcious mind alias bawah sadar kita.
Caranya meniti ke dalam diri dan mengenali jati diri kemanusiaan kita. Tujuannya, agar kita berhenti menjadi budak panca indra dan bisa menjadi tuan atas diri sendiri. Niscaya keberadaan kita menjadi berkah bagi sesama anak bangsa, warga dunia dan segenap titah ciptaan.
Akhirulkalam, mendiang Romo Mangun berpesan, "Semakin kita memberi, semakin kita kaya. Bila kita memberikan hati, pengorbanan dan segala yang indah pada orang lain, terutama kepada mereka yang miskin dan tertindas maka kita tidak akan pernah kekurangan lagi, tetapi sebaliknya kita akan senantiasa hidup dalam kelimpahan!"
Adakah mentalitas abundance macam itu sempat melintas dalam otak politisi negri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar