Oktober 16, 2008

Sriwijaya, Majapahit, dan Indonesia

Dimuat di Surat Pembaca, Radar Jogja, Jumat 17 Oktober 2008

Indonesia masih terbelit krisis ekonomi dan politisasi agama. Pancasila sebagai - meminjam istilah Ki Hajar Dewantara - saripati budaya bangsa kian tergerus oleh arus neoliberalisme dan fundamentalisme.

Kebhinekaan ialah modal dasar kita untuk bangkit. Ironisnya, itu justru dipakai untuk memicu konflik horisontal. United Nation Support Facility for Indonesia (UNSFR) mencatat terjadi 3.608 kali tindak kekerasan bernuansa SARA sepanjang 1999-2003.

Padahal leluhur kita sudah berbudaya. Mahasiswa Antropologi Univeristas Udayana Bali meneliti kromosom DNA sesepuh kita yang khas dan relatif cinta damai. Maha Patih Gajah Mada seorang Buddhis, sedangkan Raja Hayam Wuruk penganut Hindu, toh keduanya tidak saling gontok-gontokan.

Sebaliknya, relief Candi Sewu di dekat Prambanan bercorak Buddhis, sedangkan mayoritas penduduk di sana beragama Hindu. Toh tetap bisa hidup berdampingan. Raja Sriwijaya Haji Sumatrani beragama Islam, padahal penduduknya lebih banyak yang memeluk Hindu dan Shiva Tantra. Borobudur peninggalan wangsa Sailendra, masyarakat di sekitarnya lebih banyak Muslim, tapi mereka pun tetap saling mengapresiasi dan bisa hidup dalam harmoni hingga kini.

Sriwijaya berkuasa 1000 tahun lebih. Kehidupan rakyatnya relatif sejahtera. Hal itu bisa dilihat dari relief-relief di Muara Takus. Bahkan mereka mampu mengekspor rempah-rempah ke Madagaskar dengan armada pelayaran sendiri. Dari segi pengetahuanpun maju, rancangan Angkor Wat di Kamboja diarsiteki oleh insinyur Nusantara.

Segelintir orang yang "menyangsikan" kesaktian Pancasila musti belajar dari kegagalan Raden Patah. Saat itu Demak hanya bertahan seratus tahun dengan landasan agama/syariah. Kalau kita tidak belajar dari sejarah maka,"Those who do not learn from history will condemn to repeat it." Kita akan mengulangi pelajaran yang sama, ibarat berputar dalam lingkaran setan.

Dengan berdiri di atas landasan budaya, "Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa", berbeda tapi satu, tak ada dualitas dalam dharma bhakti bagi Ibu Pertiwi, sejarah membuktikan Sriwijaya mampu berjaya di abad ke-7. Lantas Majapahit pun berjaya di abad ke-14, dan last but not least sesuai siklus 7 abad Indonesia pun niscaya berjaya di abad ke-21 ini. Asalkan kita tetap bersatu di bawah naungan panji-panji Sang Saka Merah Putih. Rahayu!

Tidak ada komentar: