Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai tiga besar dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Bahkan dari total 3,3 juta pemakai Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAFZA), 30 persennya masih duduk di bangku sekolah/universitas.
Fakta ini sungguh memprihatinkan karena bisa menurunkan kepercayaan (trust) orang tua untuk mengirim anaknya ngangsu kawruh di sini. Padahal banyak warga yang menyandarkan hidup pada usaha kost-kostan (bording house).
Secara lebih mendalam pelajar/mahasiswa yang menyalahgunakan narkoba sekedar untuk mencecap kenikmatan semu bisa kecanduan (adicted). Akibatnya, stamina menurun dan fungsi organ vital seperti hati, jantung dan paru-paru terganggu. Selain itu. Para pemakai juga rentan tertular penyakit hepatitis B/C dan HIV/AIDS. Bukan hanya itu kalau overdosis maka maut datang menjemput lebih awal.
Padahal sudah ada pasal hukum yang membatasi peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Misalnya UU Psikotropika No. 22/1997. Pemakai heroin, kokain, dan ganja (golongan I) diancam hukuman 10 tahun penjara. Sedangkan untuk morfin, petidin, dan metadon (golongan II) pengedarnya dijerat hukuman 7 tahun penjara. Bahkan para bandar bisa dijatuhi hukuman mati. Tapi praktek penegakan hukum ibarat kata pepatah, jauh panggang daripada api.
Kapal Republik Indonesia nyaris karam dihantam badai "narkobaisasi." Modus operandi ini ialah konspirasi tingkat tinggi untuk menciptakan the lost generation di Bumi Nusantara tercinta. Perkembangan mental-emosional penerus bangsa tersendat. Sehingga kelak negeri nan elok lagi kaya ini mudah dikuasai dan dihisap.
"Virus" berbahaya tersebut tak pandang bulu, profesi, strata sosial, ataupun usia. Bahkan belakangan penyalahgunaan NAFSA telah merambah pula kalangan siswa-siswi SMP. Sebagai pengajar yang setiap hari berinteraksi dengan para murid, seyogyanya guru bisa mendeteksi gejala awal penyalahgunaan narkoba pada anak didiknya.
Berdasar pengamatan penulis, mereka acapkali menunjukkan prilaku menyimpang di kelas. Misalnya, malas menggarap Pekerjaan Rumah (PR), tapi bila ditegur, justru membalas dengan sikap membangkang. Bahkan dari tampilan fisik bisa kentara sekali. Yakni mata merah, wajah pucat, dan bibir kehitam-hitaman.
Dalam konteks ini peran guru "plus" menjadi penting. Yakni dengan meluangkan waktu dan energi untuk berbagi rasa bersama para murid. Yakinkan bahwa kita ingin ia bebas dari jeratan NAFZA. Pastikan bahwa kita akan senantiasa berada di sampingnya walau apa yang terjadi. Guru yang bisa di-gugu dan di-tiru signifikan pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi siswa.
Sedikit sharing, penulis sempat menjadi relawan program "Menghindari Narkoba dengan Olah Raga Tawa" dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional yang digelar Pemkab Sragen bekerjasama dengan Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar. Terharu sekaligus bahagia menyaksikan 3.000 pelajar tumpah-ruah memadati GOR Diponegoro dan mempraktekkan senam tawa. Dari tawa Singa (Singamudra), Bebek, sampai senyum Silaturahmi.
Dokter Djoko Pramono MM asal Pati mengatakan tertawa lepas menciptakan hormon endogenous morphin (endorphin) di otak. Semenit tertawa mempunyai efek yang sebanding dengan 20 menit berolahraga ringan. Selain itu, tertawa juga bisa melancarkan aliran darah, mengurangi resiko penyakit jantung, meningkatkan daya tahan tubuh, memijat paru-paru dan jantung, menurunkan stress, meningkatkan kadar oksigen (O2) dalam darah, mengkontraksikan 80 titik saraf, melemaskan otot-otot tubuh, meringankan konstipasi (susah buang air besar), dan menurunkan tekanan darah. Itulah sebabnya saat ini di negri manca banyak bermunculan klub tawa ibarat cendawan di musim hujan.
Sebagai penutup, niscaya tanpa narkobapun putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke tetap bisa hidup bahagia. Caranya sederhana, murah, dan universal. Tak ada diskriminasi berdasarkan SARA saat kita tertawa bersama dalam keceriaan. Yang ada hanyalah hahahahohohohehehehihihi. Menyitir jargon Warkop DKI, "Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!" Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar