Mei 06, 2012

Menyelami Universalitas Ajaran Baba

Dimuat di Rubrik Oase, Resensi, Kompas.com, Sabtu/5 Mei 2012
Sumber: http://oase.kompas.com/read/2012/05/05/22511089/Menyelami.Universalitas.Ajaran.Baba
13362891861695311941 
Judul: Sai Anand Gita, Kidung Mulia Kebahagiaan Sejati
Penulis: Sai Das
Kata Pengantar: Dr. Ketut Arnaya, S.E., M.M.
Penerjemah: Putu Harumini Waras, SIP
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1/Februari 2012
Tebal: xxvi + 190 halaman
Harga: Rp42.000
ISBN: 978-602-95405-7-4

“Cinta sebagai pikiran adalah Kebenaran / Cinta sebagai perbuatan ialah Kebajikan / Cinta sebagai pengertian adalah Kedamaian / Cinta sebagai perasaan ialah Tanpa Kekerasan.” (Halaman 145)

Setiap orang itu unik. Pengertian khas di sini mengacu pada kombinasi ketiga kualitas internal seorang individu. Masing-masing mengikuti pola tertentu (pattern). Perbedaan 0,000001 % dalam struktur DNA niscaya melahirkan karakter yang berbeda 180 derajat. Kendati demikian, ternyata sungguh paradoksal. Pada saat yang sama, setiap orang pun identik alias sama. Bahan baku manusia terdiri atas 3 anasir. Tak ada kualitas keempat. Semua bersumber dari trio yang satu ini.

Lantas, apa saja ketiga hal tersebut? Menurut Sai Das dalam buku ini, materinya ialah Satva, Rajas, dan Tamas (halaman 43). Satva bersifat tenang dan meneduhkan. Kondisi batin ini memungkinkan seseorang rehat sesaat. Sehingga, ia dapat berefleksi dan meninjau ziarah kehidupannya selama ini. Sedangkan, Rajas merepresentasikan dinamisme, kemandirian, dan agresifitas. Tapi perlu berhati-hati, sebab kualitas ini pun dapat melorot menjadi iri dengki, kecerobohan, dan sikap plin-paln.

Selanjutnya, Tamas ibarat virus yang membuat manusia malas, tumpul, dan tergantung pada orang lain (dependent). Berbanding terbalik dengan unsur Satva. Secara harfiah, arti kata Tamas memang kegelapan. Sedangkan, Satva ialah cahaya, terang, dan kualitas kelas yahud. Pada hakikatnya, setiap manusia merupakan racikan ke-3 bahan tersebut. Kalau Satva yang dominan, maka seseorang menjadi bijaksana, tetapi juga cenderung bersikap pasif. Sehingga, manusia membutuhkan sedikit bumbu Rajas. Tanpa kehadiran dinamisme, putaran roda evolusi menjadi tersendat.

Di sisi lain, terlalu banyak Rajas akan membuat seseorang cenderung mementingkan diri sendiri. Dalam konteks ini, secercah Satva selalu bermanfaat. Bahan baku terakhir ialah Tamas. Inilah penghalang kemajuan. Kendati demikian, seseorang pun tetap membutuhkannya dalam porsi kecil. Sehingga manusia menjadi malas melakukan perbuatan yang tak menunjang perkembangan diri.

Buku ini merupakan redefinisi atas kidung pujian Sai Baba (23 November 1926 - 24 April 2011). Beliau dikenal sebagai  tokoh mistik lintas agama asal India. Salah satu muridnya yang terkenal ialah Isaac Tigrett, pendiri Hard Rock CafĂ© (HRC). Baba juga menggagas pembangunan sekolah, rumah sakit, dan museum budaya Chaitanya Jyoti (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sathya_Sai_Baba).

Terkait kata AUM ada pemaknaan baru yang menarik. “A” ialah representasi Tuhan sebagai Creator (Pencipta). Dalam tradisi Hindu disebut Dewa Brahma. Sedangkan secara ilmiah, mengacu pada Positron. “U” merupakan simbolisasi Tuhan sebagai Operator (Pemelihara). Dalam tradisi Hindu dinamai Dewa Wisnu. Sedangkan dalam fisika modern disebut Elektron. Terakhir tapi penting, “M” ialah representasi Tuhan sebagai Destroyer (Pendaur-ulang). Dalam tradisi Hindu disebut Dewa Shiva. Sedangkan para ilmuwan peneliti atom menyebutnya Neutron (halaman 106). Dalam konteks ini, dikotomi antara tradisi agama dan kajian ilmiah menjadi nisbi.

Sai Anand Gita menyajikan pula pemaknaan ulang atas istilah halal. Menurut Rumi, seorang Sufi asal Turki, definisi halal bukan hanya merujuk pada jenis makanannya. Tapi juga bagaimana cara seseorang bekerja dan mendapatkan uang. Sehingga akhirnya ia dapat membeli makanan halal. Artinya, para koruptor yang merampok hak rakyat - walau sama-sama menyantap nasi putih - tapi jelas mereka (me)makan uang haram.

Kemudian Sai Das menguraikan kembali makna Namah Shivayah. Mantra ini terdiri atas 5 nilai keutamaan. “Na” ialah Satya (Kebenaran), “Ma” merupakan Dharma (Kebajikan), “Shi” ialah Shanti (Perdamaian), “Vaa” merupakan Divya/Prema (Kasih), dan “Ya” ialah Ahimsa (Tanpa Kekerasan). Dengan melakoni kelima prinsip tersebut, jiwa kecil manusia (aatmaa) niscaya bersatu dengan Jiwa Agung (Paramaatmaa). Dalam bahasa Sufi, gelombang khud, menyatu dengan Samudera Khuda. Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Nelson Mandela, Dalai Lama, Romo Mangunwijaya, Aung San Suu Kyi dll ialah sederet tokoh yang menerapkan nilai-nilai keutamaan tersebut lewat tindakan.

Secara lebih mendalam, Sai Anand Gita memuat juga akar penyebab kelahiran kembali (rebirth). Yakni, ketika seseorang, selagi hidup, mengidentifikasikan diri dengan sesuatu yang terbatas. Badan ini, pikiran, emosi, dan bahkan jiwa manusia pun masih berbatas. Rupanya, hanya semangat yang melingkupi segala. Ini tiada berbatas (sky is the limit). Oleh sebab itu, menurut Anand Krishna, spirit di balik ritual menjadi signifikan. Itulah kenapa disebut Spiritual (Mawar Mistik: 2008).

Dalam konteks ini, kita perlu melatih pemahaman yang tepat (right identification). Hanya Tuhan yang mengetahui secara pasti, sudah berapa kali kita lahir dan mati dalam samudera kehidupan yang sama ini. Prosesnya ibarat menyaksikan pasang-surut gelombang di bibir pantai. Dalam tradisi Kejawen disebut Mirsani alias menjadi saksi. Sedangkan dalam bahasa NLP (Neuro Linguistic Programming) dinamai Perceptual Position.

Manusia dapat mengakhiri ilusi dualisme tersebut kini dan di sini. Caranya ialah dengan menyadari kesucian dalam diri. Menyitir petuah Baba, “God is in You, within You, Above You, around You, And behind You…(halaman 94). “ Tuhan ada di dalam dirimu, di atasmu, di sekitarmu, dan di belakangmu…” Sai Das berpendapat bahwa kehadiran para bijak semata untuk menyembuhkan kita. Tapi bukan dari penyakit fisik melainkan dari penyakit batin.

Parahnya, karena seseorang terlalu lama menderita. Terutama akibat digerogoti virus ganas ketidaksadaran. Manusia menjadi mati rasa. Secara unik, buku ini menguraikan akronim FEAR, yakni False Emotion Appearing Real (hal 93). Artinya Emosi Palsu yang Terkesan Nyata. Misalnya, saat bermimpi dikejar-kejar macan, nafas kita menjadi kacau, jantung berdetak kencang, dan bahkan sekujur tubuh mengeluarkan keringat dingin. Walau cuma mimpi tapi terasa seperti sungguh terjadi dalam kenyataan. Cara untuk mengatasinya sederhana, yakni dengan bangun!

“Kidung Mulia Kebahagiaan Sejati” dapat pula diterapkan dalam lokus bisnis. Kesuksesan bukan melulu pencapaian prestasi pribadi. Sejatinya, keberhasilan seseorang tergantung dari para atasan maupun bawahan. Kata kuncinya ialah kesalingtergantungan (interdependency) dan kerjasama (co-operation). Seorang pengusaha tekstil contohnya, ia harus memastikan produk sesuai pesanan para konsumen. Pada saat yang sama, ia juga membutuhkan pasokan bahan baku yang memadai. Sehingga dapar memenuhi spesifikasi dan tenggat waktu pengiriman sesuai jadwal.

Selain itu, Sai Anand Gita juga menyinggung ihwal isu pemanasan global (global warming). Di abad ke-21 ini, menurut Baba, perusahaan harus beralih dari greed based business (usaha berdasarkan keserakahan/eksploitasi) menuju green based business (usaha berdasarkan semangat cinta lingkungan). Bagaimana caranya? yakni dengan memproduksi barang yang tak membahayakan keselamatan Ibu Bumi. Satu contoh kecil ialah inovasi siswa SMKN 3 di Madiun. Putra-putri Ibu Pertiwi tersebut berhasil mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (plastic oil destilator). Alih-alih menunda kenaikan harga BBM, pemerintah dan pihak swasta dapat mendukung proyek ekologis tersebut.

Selanjutnya, nama “Sai Baba” sendiri merupakan sebuah sandi. “Sai” mengacu pada unsur feminin. Sedangkan “Baba” sebagai representasi maskulinitas. Analoginya, Sai ialah Sang Penari. Kemudian, tariannya itu ialah Baba. Dalam konteks ini, dualisme makrokosmos dan mikrokosmos menjadi kadaluarsa. Menurut tradisi Muslim, kesadaran itu disebut Tauhid. Sedangkan, dalam tradisi Hindu dinamai Ekagraata (One Pointedness). Sang Buddha menyatakan itu sebagai Kekosongan (Sunya). Kemudian, umat Kristiani menyebutnya Ekaristi. Dalam tradisi Kong Hu Chu, dinamakan sebagai Tao. Sebuah pengalaman tertinggi akan Ketuhanan yang Maha Esa. Tak bisa dijelaskan dengan nalar, namun dapat dirasakan oleh kalbu.

Buku setebal 190 halaman dapat menjadi cermin diri. Dengan menyelami setiap lembarnya, sidang pembaca niscaya menemukan benang merah ajaran Baba yang menyatukan umat manusia dengan segenap titah ciptaan. Sepakat dengan pendapat Sai Baba, “Hanya ada satu agama, agama cinta kasih. Hanya ada satu bahasa, bahasa hati. Hanya ada satu kasta, kasta kemanusiaan. Hanya ada satu hukum, hukum sebab-akibat. Hanya ada satu Tuhan, Ia Hyang Maha Hadir.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekskul English Club di SMP Kanisius, Sleman, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: