Mei 21, 2012

Opini Publik ini dimuat di Suara Pendidikan, Edisi 136, 30 April-14 Mei 2012

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur Suara Pendidikan:



“Melaporkan bahwa 10 bulan ke depan, bumi akan memanas sebanyak 4 derajat Celcius dari sekarang. Kini glasier es Himalaya mencair dengan cepat. Iklim kita juga berubah drastis dan memburuk. Jadi, untuk kebaikan bumi kita, mari bersama mengantisipasi pemanasan global.

Yakni dengan melakukan: Tanam lebih banyak pohon. Jangan menyia-nyiakan air, air sangat berharga. Gunakan kantung kain, jangan plastik. Jangan membakar plastik. Kurangi penggunaan AC. Kurangi penggunaan parfum. Jangan menggunakan kendaraan yang masih berasap/2 tak/belum lulus uji emisi. Kurangi penggunaan listrik jika tak digunakan, terutama lampu.

Tolong jangan hapus sms ini sebelum meneruskannaya, setidaknya teruskan pada 1 orang. Tolong lakukan hal ini. Bantu menyelamatkan bumi, daripada melihat kehancuran bumi ini? Go Green and Love Our Earth, Save Our Planet!”

Begitulah isi sms panjang dari seorang sahabat (Yulia Loekito, 2012) pada awal April lalu. Kendati sudah lewat beberapa hari, tapi masih sangat relevan. Ketimbang meneruskan sms ini lewat telepon seluler, saya menjabarkannya dalam rubrik Opini di Suara Pendidikan ini. Sehingga dapat dibaca khalayak ramai di seluruh Indonesia. Terutama dalam rangka memperingati hari Bumi (22/4) pekan lalu.

Peringatan Hari Bumi (Earth Day) diselenggarakan pertama kali pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Penggagasnya ialah Gaylord Nelson, seorang senator dari Wisconsin yang juga dosen mata kuliah lingkungan hidup.

Gaylord Nelson berjuang sendirian sejak 1969. Saat itu, Gaylord Nelson memandang perlunya isu-isu lingkungan hidup masuk dalam kurikulum resmi perguruan tinggi. Benih gagasan ini kemudian menuai dukungan luas.

Puncaknya terjadi pada 22 April 1970. Saat itu, jutaan orang turun ke jalan, berdemonstrasi dan membanjiri Fifth Avenue di New York. Mereka mengecam korporasi dan pejabat publik yang merusak bumi. Majalah TIME mencatat bahwa 20 juta manusia turun ke jalan meneriakkan pesan cinta lingkungan.

Momentum ini kemudian menjadi tonggak sejarah lahirnya Hari Bumi. Gerakan massif untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet biru ini. Hari Bumi telah menjadi sebuah gerakan global yang mendunia hingga kini. Pelaksanaannya di seluruh dunia dikordinasi oleh Earth Day Network’s, sebuah organisasi nirlaba beraggotakan berbagai LSM di seluruh dunia.

Pemanasan Global

Dalam 100 tahun terakhir, memang suhu bumi – baik di dalam laut maupun di permukaan tanah - tercatat meningkat 0,75 derajat Celcius. Sehingga salju abadi (permafrost) di belahan kutub Utara dan Selatan lebih cepat mencair. Otomatis permukaan laut pun naik.

Beberapa daerah pesisir dunia mulai was-was mengantisipasi ancaman banjir. Kepulauan Nusantara terancam kehilangan 200 pulau kecil dan menengah. Pesisir kita di Jawa, umtra dan pulau besar lainnya akan bergeser.

Dalam konteks ini, perlu ada antisipasi terhadap kenaikan suhu yang diprediksi mencapai 4 derajat Celcius pada akhir 2012 menang. Sebab seperti kata pepatah, “Lebih baik mencegah daripada mengobati.”

Selain itu, masyarakat dunia juga terancam defisit air bersih. Akibatnya, produksi pertanian pun melorot drastis. Rawan pangan menjadi momok menakutkan. Michael Gorbachev mengatakan, "Jika terjadi perang dunia ketiga (PD III) itu bukan karena rebutan wilayah, tapi karena rebutan air dan makanan."

Pun mewabahnya virus, mikroba, ulat bulu, flu burung (H1N1), dan tomcat  merupakan efek samping perubahan iklim. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa 90 persen kerusakan ini terjadi karena perbuatan manusia yang cenderung tak bersahabat dengan lingkungan alam sekitar.

Salah satu biang keladi dalam skala makro ialah Revolusi Industri (1800-1830). Kenapa? Karena saat itu dimulailah penggunaan bahan bakar fosil. Residu dari proses produksi massal berupa karbondioksida (CO2), methan (CH4), nitros oksida (NOx) dan ozone (O3). Hingga kini, gas-gas rumah kaca itu bertebaran di atmosfer bumi dan menjadi penyebab peningkatan suhu secara global.

Cara efektif untuk mengurangi dampak pemanasan global ialah melakukan penghematan energi dalam kehidupan sehari-hari. Matikan peralatan listrik yang tak dibutuhkan. Penggunaan listrik secara berlebih, selain memboroskan biaya listrik rumah tangga  juga membebani PLN. Sehingga pemerintah terpaksa membangun lebih banyak Pembangkit Listrik atau meningkatkan kapasitas produksinya.

Akibatnya, penggunaan bahan bakar fosil untuk menjalankan Pembangkit Listrik tersebut bertambah. Panas yang dihasilkan otomatis menaikkan suhu di sekitarnya. Pun polusi CO2 tak terelakkan. Terobosan Dahlan Iskan mengganti BBM ke BBG dan tenaga surya (solar sell) di PLN layak diacungi 2 jempol.

Solusi lainnya ialah mengganti peralatan elektronik dengan yang hemat energi. Lampu rumah yang masih menggunakan jenis dop perlu diganti dengan lampu fluorescent. Menurut penelitian para ilmuwan, penggunaan lampu fluorescent di seluruh dunia dapat mengurangi emisi CO2 lebih dari 20 milyar kg. Nominal ini setara dengan pengurangan 2 juta mobil di jalan/tahun.

Kilas Balik

Dalam artikel yang dimuat di The Jakarta Post (18/8/2007) Anand Krishna menulis sebuah kisah kilas balik (flashback). Ternyata, 12.000 tahun silam, dunia kita mengalami krisis lingkungan yang mirip seperti di abad ke-21 ini. Fakta tersebut terefleksikan dalam epik masyarakat Bali berjudul Mandhara Giri.

Saat itu, dunia terpecah menjadi 2 kubu. Keduanya bersaing untuk berkuasa, yakni kelompok Sura (yang selaras dengan alam) dan kelompk Asura (yang tidak selaras dengan alam). Persaingan kedua kelompok ini mencemari bumi dan seluruh kehidupan di dunia terancam musnah.

Akhirnya, mereka bersepakat untuk berdamai. Sehingga dapat bekerjasama menyelamatkan bumi ini. Sura mewakili kelompok seniman yang mengandalkan hati. Asura merepresentasikan kelompok ilmuwan yang menggunakan pikiran. Bila sura dan asura bersatu dalam rengkuhan Kasih niscaya tercipta kedamaian dan harmoni dalam alam.

Oleh sebab itu, kebiaasaan buruk di rumah juga musti dikurangi. Misalnya sering membuka-tutup lemari es hampir setiap jam. Secara matematis, kulkas yang sering dibuka-tutup melonjakkan penggunaan listrik sampai 10-30 Watt. Angka yang relatif kecil memang, tapi kalau dilakukan 100 juta rumah tangga, maka nominalnya menjadi signifikan.

Saiful Rizal menulis artikel menarik berjudul, "Wajib Bank Sampah di Kantor Pemerintah" (SH, 1 Maret 2012). Tatkala membaca ulasan tersebut, penulis membayangkan bagaimana kalau tak hanya di kantor pemerintah, tapi di sekolah-sekolah pun mulai didirikan Bank Sampah.

Dalam konteks ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bisa bergandengan tangan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Yakni, untuk mengajak pegawai negeri sipil dan sivitas akademika belajar mengelola sampah secara kreatif.

Balthasar Kambuaya, selaku Menteri LH menargetkan 100 kantor pemerintahan di seluruh Indonesia pada 2013 telah memiliki Bank Sampah (BS). Menurutnya, saat ini sudah ada 471 BS yang tersebar di 24 kota. Besaran volume sampah non-organik mencapai 753 ton. Dengan nilai ekonomis tak kurang dari Rp 1,6 miliar. Remah sisa makanan pun dapat diolah menjadi pelet untuk pakan ikan.

Setiap sekolah/universitas niscaya menghasilkan sampah dari operasional kantor, proses pembelajaran, dan transaksi di kantin. Berupa kertas, plastik pembungkus, dan sisa makanan. Para guru/dosen, karyawan, dan siswa dapat menyimpannya di Bank Sampah. Sebelum, diolah menjadi kerajinan tangan ataupun kompos.Bahkan kalau memungkinkan, para wali murid/mahasiswa boleh membawa sampah non-organik dari rumah masing-masing untuk dikumpulkan.

Kami di PKBM Angon awal April ini pun mulai belajar mengolah sampah. Sebelumnya, beberapa fasilitator ngangsu kawruh (belajar) dari warga di Desa Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman. Sampah dapur yang organik, mereka olah menjadi kompos. Di depan setiap rumah terdapat komposter. Ada yang terbuat dari gentong tanah liat maupun wadah plastik.

Di Sukunan, bungkus plastik detergen bisa disulap menjadi aneka kerajinan tangan. Seperti sarung HP, tas laptop, dan dompet warna-warni. Produk inovatif dari sampah plastik tersebut dijual dengan harga relatif terjangkau. Mulai dari Rp5.000 hingga Rp100.000, tergantung model, bentuk, dan jenisnya.

Menurut ibu-ibu di sana, sampah plastik memang sulit untuk didaur-ulang secara alami dalam tanah. Oleh karena itu, resiko sampah plastik untuk dibuang secara sembarangan lebih besar ketimbang sampah organik yang relatif cepat terurai.

Akibatnya, sampah plastik hanya berakhir sebagai limbah. Kebanyakan bahkan justru dikubur dan dibakar. Padahal, sampah plastik di dalam tanah tidak akan terurai hingga lebih dari 1000 tahun. Sedangkan, kalau sampah plastik dibakar akan menghasilkan racun yang berbahaya bagi manusia yang mengirupnya.

Sebuah sindiran halus, kalau ibu-ibu di Desa Sukunan saja memiliki kesadaran ekologis semacam itu maka segenap elemen masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta perlu menimba inspirasi dari mereka. Intinya, bagaimana kita mulai berpikir kreatif. Sehingga piawai mengubah sesuatu yang tiada harganya, menjadi produk yang migunani alias bernilai guna tinggi.

Terakhir tapi penting, mari mulai menggunakan batik ke kantor. Alih-alih mengenakan jas dan dasi. Apa korelasinya dengan pemanasan global? Sederhana saja, dengan menaikkan AC dari 18 derajat Celcius menjadi 26 derajat niscaya menghindari pemborosan listrik. Selamat hari bumi dan salam cinta lingkungan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ektrakurikuler English Club di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: