Opini Publik ini dimuat di Suara Pendidikan, Edisi 136, 30 April-14 Mei 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur Suara Pendidikan:
“Melaporkan
bahwa 10 bulan ke depan, bumi akan memanas sebanyak 4 derajat Celcius
dari sekarang. Kini glasier es Himalaya mencair dengan cepat. Iklim
kita juga berubah drastis dan memburuk. Jadi, untuk kebaikan bumi kita,
mari bersama mengantisipasi pemanasan global.
Yakni
dengan melakukan: Tanam lebih banyak pohon. Jangan menyia-nyiakan air,
air sangat berharga. Gunakan kantung kain, jangan plastik. Jangan
membakar plastik. Kurangi penggunaan AC. Kurangi penggunaan parfum.
Jangan menggunakan kendaraan yang masih berasap/2 tak/belum lulus uji
emisi. Kurangi penggunaan listrik jika tak digunakan, terutama lampu.
Tolong jangan hapus sms
ini sebelum meneruskannaya, setidaknya teruskan pada 1 orang. Tolong
lakukan hal ini. Bantu menyelamatkan bumi, daripada melihat kehancuran
bumi ini? Go Green and Love Our Earth, Save Our Planet!”
Begitulah
isi sms panjang dari seorang sahabat (Yulia Loekito, 2012) pada awal
April lalu. Kendati sudah lewat beberapa hari, tapi masih sangat
relevan. Ketimbang meneruskan sms ini lewat telepon seluler, saya menjabarkannya dalam rubrik Opini di Suara Pendidikan ini. Sehingga dapat dibaca khalayak ramai di seluruh Indonesia. Terutama dalam rangka memperingati hari Bumi (22/4) pekan lalu.
Peringatan Hari Bumi (Earth Day)
diselenggarakan pertama kali pada 22 April 1970 di Amerika Serikat.
Penggagasnya ialah Gaylord Nelson, seorang senator dari Wisconsin yang
juga dosen mata kuliah lingkungan hidup.
Gaylord Nelson
berjuang sendirian sejak 1969. Saat itu, Gaylord Nelson memandang
perlunya isu-isu lingkungan hidup masuk dalam kurikulum resmi perguruan
tinggi. Benih gagasan ini kemudian menuai dukungan luas.
Puncaknya terjadi pada 22 April 1970. Saat itu, jutaan orang turun ke jalan, berdemonstrasi dan membanjiri Fifth Avenue di New York. Mereka mengecam korporasi dan pejabat publik yang merusak bumi. Majalah TIME mencatat bahwa 20 juta manusia turun ke jalan meneriakkan pesan cinta lingkungan.
Momentum
ini kemudian menjadi tonggak sejarah lahirnya Hari Bumi. Gerakan
massif untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet biru
ini. Hari Bumi telah menjadi sebuah gerakan global yang mendunia hingga
kini. Pelaksanaannya di seluruh dunia dikordinasi oleh Earth Day Network’s, sebuah organisasi nirlaba beraggotakan berbagai LSM di seluruh dunia.
Pemanasan Global
Dalam
100 tahun terakhir, memang suhu bumi – baik di dalam laut maupun di
permukaan tanah - tercatat meningkat 0,75 derajat Celcius. Sehingga
salju abadi (permafrost) di belahan kutub Utara dan Selatan lebih cepat
mencair. Otomatis permukaan laut pun naik.
Beberapa
daerah pesisir dunia mulai was-was mengantisipasi ancaman banjir.
Kepulauan Nusantara terancam kehilangan 200 pulau kecil dan menengah.
Pesisir kita di Jawa, umtra dan pulau besar lainnya akan bergeser.
Dalam
konteks ini, perlu ada antisipasi terhadap kenaikan suhu yang
diprediksi mencapai 4 derajat Celcius pada akhir 2012 menang. Sebab
seperti kata pepatah, “Lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Selain
itu, masyarakat dunia juga terancam defisit air bersih. Akibatnya,
produksi pertanian pun melorot drastis. Rawan pangan menjadi momok
menakutkan. Michael Gorbachev mengatakan, "Jika terjadi perang dunia
ketiga (PD III) itu bukan karena rebutan wilayah, tapi karena rebutan
air dan makanan."
Pun mewabahnya virus, mikroba, ulat bulu, flu burung (H1N1), dan tomcat merupakan efek samping perubahan iklim. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)
melaporkan bahwa 90 persen kerusakan ini terjadi karena perbuatan
manusia yang cenderung tak bersahabat dengan lingkungan alam sekitar.
Salah
satu biang keladi dalam skala makro ialah Revolusi Industri
(1800-1830). Kenapa? Karena saat itu dimulailah penggunaan bahan bakar
fosil. Residu dari proses produksi massal berupa karbondioksida (CO2),
methan (CH4), nitros oksida (NOx) dan ozone (O3). Hingga kini, gas-gas
rumah kaca itu bertebaran di atmosfer bumi dan menjadi penyebab
peningkatan suhu secara global.
Cara efektif untuk
mengurangi dampak pemanasan global ialah melakukan penghematan energi
dalam kehidupan sehari-hari. Matikan peralatan listrik yang tak
dibutuhkan. Penggunaan listrik secara berlebih, selain memboroskan
biaya listrik rumah tangga juga membebani PLN. Sehingga pemerintah
terpaksa membangun lebih banyak Pembangkit Listrik atau meningkatkan
kapasitas produksinya.
Akibatnya, penggunaan bahan bakar
fosil untuk menjalankan Pembangkit Listrik tersebut bertambah. Panas
yang dihasilkan otomatis menaikkan suhu di sekitarnya. Pun polusi CO2
tak terelakkan. Terobosan Dahlan Iskan mengganti BBM ke BBG dan tenaga
surya (solar sell) di PLN layak diacungi 2 jempol.
Solusi lainnya ialah mengganti peralatan elektronik dengan yang hemat energi. Lampu rumah yang masih menggunakan jenis dop perlu diganti dengan lampu fluorescent. Menurut
penelitian para ilmuwan, penggunaan lampu fluorescent di seluruh dunia
dapat mengurangi emisi CO2 lebih dari 20 milyar kg. Nominal ini setara
dengan pengurangan 2 juta mobil di jalan/tahun.
Kilas Balik
Dalam artikel yang dimuat di The Jakarta Post (18/8/2007) Anand Krishna menulis sebuah kisah kilas balik (flashback).
Ternyata, 12.000 tahun silam, dunia kita mengalami krisis lingkungan
yang mirip seperti di abad ke-21 ini. Fakta tersebut terefleksikan dalam
epik masyarakat Bali berjudul Mandhara Giri.
Saat itu, dunia terpecah menjadi 2 kubu. Keduanya bersaing untuk berkuasa, yakni kelompok Sura (yang selaras dengan alam) dan kelompk Asura (yang tidak selaras dengan alam). Persaingan kedua kelompok ini mencemari bumi dan seluruh kehidupan di dunia terancam musnah.
Akhirnya, mereka bersepakat untuk berdamai. Sehingga dapat bekerjasama menyelamatkan bumi ini. Sura mewakili kelompok seniman yang mengandalkan hati. Asura merepresentasikan kelompok ilmuwan yang menggunakan pikiran. Bila sura dan asura bersatu dalam rengkuhan Kasih niscaya tercipta kedamaian dan harmoni dalam alam.
Oleh
sebab itu, kebiaasaan buruk di rumah juga musti dikurangi. Misalnya
sering membuka-tutup lemari es hampir setiap jam. Secara matematis,
kulkas yang sering dibuka-tutup melonjakkan penggunaan listrik sampai
10-30 Watt. Angka yang relatif kecil memang, tapi kalau dilakukan 100
juta rumah tangga, maka nominalnya menjadi signifikan.
Saiful Rizal menulis artikel menarik berjudul, "Wajib Bank Sampah di Kantor Pemerintah" (SH, 1 Maret 2012).
Tatkala membaca ulasan tersebut, penulis membayangkan bagaimana kalau
tak hanya di kantor pemerintah, tapi di sekolah-sekolah pun mulai
didirikan Bank Sampah.
Dalam konteks ini, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) bisa bergandengan tangan dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Yakni, untuk mengajak pegawai
negeri sipil dan sivitas akademika belajar mengelola sampah secara
kreatif.
Balthasar Kambuaya, selaku Menteri LH menargetkan
100 kantor pemerintahan di seluruh Indonesia pada 2013 telah memiliki
Bank Sampah (BS). Menurutnya, saat ini sudah ada 471 BS yang tersebar
di 24 kota. Besaran volume sampah non-organik mencapai 753 ton. Dengan
nilai ekonomis tak kurang dari Rp 1,6 miliar. Remah sisa makanan pun
dapat diolah menjadi pelet untuk pakan ikan.
Setiap
sekolah/universitas niscaya menghasilkan sampah dari operasional
kantor, proses pembelajaran, dan transaksi di kantin. Berupa kertas,
plastik pembungkus, dan sisa makanan. Para guru/dosen, karyawan, dan
siswa dapat menyimpannya di Bank Sampah. Sebelum, diolah menjadi
kerajinan tangan ataupun kompos.Bahkan kalau memungkinkan, para wali
murid/mahasiswa boleh membawa sampah non-organik dari rumah
masing-masing untuk dikumpulkan.
Kami di PKBM Angon awal April ini pun mulai belajar mengolah sampah. Sebelumnya, beberapa fasilitator ngangsu kawruh
(belajar) dari warga di Desa Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Kecamatan
Gamping, Sleman. Sampah dapur yang organik, mereka olah menjadi kompos.
Di depan setiap rumah terdapat komposter. Ada yang terbuat dari gentong
tanah liat maupun wadah plastik.
Di Sukunan, bungkus
plastik detergen bisa disulap menjadi aneka kerajinan tangan. Seperti
sarung HP, tas laptop, dan dompet warna-warni. Produk inovatif dari
sampah plastik tersebut dijual dengan harga relatif terjangkau. Mulai
dari Rp5.000 hingga Rp100.000, tergantung model, bentuk, dan jenisnya.
Menurut
ibu-ibu di sana, sampah plastik memang sulit untuk didaur-ulang secara
alami dalam tanah. Oleh karena itu, resiko sampah plastik untuk
dibuang secara sembarangan lebih besar ketimbang sampah organik yang
relatif cepat terurai.
Akibatnya, sampah plastik hanya
berakhir sebagai limbah. Kebanyakan bahkan justru dikubur dan dibakar.
Padahal, sampah plastik di dalam tanah tidak akan terurai hingga lebih
dari 1000 tahun. Sedangkan, kalau sampah plastik dibakar akan
menghasilkan racun yang berbahaya bagi manusia yang mengirupnya.
Sebuah
sindiran halus, kalau ibu-ibu di Desa Sukunan saja memiliki kesadaran
ekologis semacam itu maka segenap elemen masyarakat, pemerintah, dan
pihak swasta perlu menimba inspirasi dari mereka. Intinya, bagaimana
kita mulai berpikir kreatif. Sehingga piawai mengubah sesuatu yang
tiada harganya, menjadi produk yang migunani alias bernilai guna tinggi.
Terakhir
tapi penting, mari mulai menggunakan batik ke kantor. Alih-alih
mengenakan jas dan dasi. Apa korelasinya dengan pemanasan global?
Sederhana saja, dengan menaikkan AC dari 18 derajat Celcius menjadi 26
derajat niscaya menghindari pemborosan listrik. Selamat hari bumi dan
salam cinta lingkungan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa
Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ektrakurikuler English Club di
SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar