Walau (konon) PM Abdullah Badawi sudah meminta maaf sedalam-dalamnya (profound apologize) atas insiden pengeroyokan Donald Luther oleh empat polisi Diraja Malaysia (PDRM), namun masih tercabik hati ini sebagai seorang anak negeri. Kenapa? sebab ada kisah sentimentil di balik aksi barbarian tersebut. Ketua delegasi wasit Indonesia itu dikira TKI ilegal. Seburam itukah potret negri kita di mata dunia, khususnya negara-negara tetangga? kenapa kini yang dominan ialah image (citra) meminjam istilah Bung Karno - bangsa kuli? Padahal dulu banyak profesor universitas negri jiran yang menuntut ilmu di kepulauan nusantara ini.
Mari sejenak meninjau peziarahan kita sebagai suatu bangsa. Referensinya ialah cita-cita luhur para founding fathers yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945, alinea ke-4. Berikut ini dua petikannya:
Pertama, "...suatu pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa." Konsekuensinya, pemerintah musti mengelola sumber daya alam guna mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan seluruh rakyat. Misalnya dengan menggiatkan usaha koperasi di akar rumput. Sehingga mereka tak perlu hijrah ke luar negri untuk mengais rejeki.
Lebih lanjut, bangsa ini harus memberi perhatian lebih pada tarnsformasi sektor pendidikan nasional. Bukankah untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, manusiawi dan trampil pelu komitmen, kerja keras sera anggaran minimal 20 persen dari APBN. Sebab pepatah lama mengatakan, "Jer Basuki Mawa Bea."
Kedua, idealnya anak bangsa melawat negri manca dalam rangka mengharumkan nama Ibu Pertiwi,"...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial." Konkretnya, seperti Anand Krishna yang diundang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Internasional ke-60 bertema Climate Change - How It Affects Us All (Perubahan Iklim serta Dampaknya pada Kita Semua) pada 5-7 September 2007 lalu di New York. Selain itu, penulis produktif 110 buku ini akan melaunching karya terbarunya Voice of Indonesia (Seruan dari Indonesia) di Los Angeles (LA) pada detik-detik peringatan tragedi kemanusaan pengebomam World Trade Center (WTC) pada 11 September 2007.
Prestasi membanggakan tersebut seyogyanya memicu kobaran api proaktivitas dalam diri setiap anak negri untuk bergotong-royong dan berkarya lebih giat demi kebangkitan bangsa dan perdamaian dunia. Caranya ialah dengan - menyitir judul lagu Sheila on Seven - Berhenti Berharap...pada bantuan lembaga donor, pemerintah yang melik nggendong lali, instatnsi militer, politikus korup, tokoh masyarakat maupun pemuka agama yang rumangsa isa tapi ora isa rumangsa, wakil rakyat yang bermental proyek aji mumpung, dst.
Mari kita semua sebagai warga negara mulai memberdaya diri dan meningkatkan kesadaran sipil (civic awareness). Yakni dengan membudayakan sikap lepas-bebas, kreatif-inovatif mengikuti percikan energi ilahi dalam diri di lingkap pengaruh masing-masing. Lebih mau memberi ketimbang menghisap. Menyadur seruan mendiang John F Kennedy,"Jangan bertanya apa yang negara telah berikan padamu. Tapi bertanyalah pada dirimu sendiri, apa yang sudah kupersembahkan bagi tanah airku, bangsaku dan last but not least kemanusiaanku?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar