Dua acungan jempol buat kreatifitas bocah-bocah lereng Merapi dalam bermain dhakon. Kenapa? karena tanpa papan congklak pun, para "bolang" Dusun Gemer, Kecamatan Dukun, Muntilan, Jawa Tengah tersebut tetap bisa menikmati indahnya masa kanak-kanak. Yakni dengan menggambar lingkaran-lingkaran di tanah serta mengumpulkan kerikil-kerikil dari sungai.
Menurut Ibu Giyanto yang biasa mendampingi tunas-tunas muda tersebut, orang tua mereka tidak mampu membelikan mainan ala orang kota seperti play station, pedang-pedangan yang bisa menyala, ataupun televisi berwarna karena 99,9 persen berprofesi sebagi petani (miskin).
Lebih lanjut, dhakon merupakan salah satu jenis dolanan anak. Di Jawa, aturan mainnya sinonim dengan congklak karena menggunakan cangkang kerang atau biji sawo kecik. Di Sumatra, namanya dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi biasa disebut mokoatan, maggalenceng, aggalacang atau nogarata. Nah kalu di Inggris, istilahnya mancala. (Sumber: Wikipedia Indonesia)
Keunggulan permainan tersebut ialah memfasilitasi interaksi intra dan antar anak. Selain itu, mayoritas dolanan anak dimainkan di alam terbuka sehingga sejak usia dini mereka biasa bersikap lepas bebas dan apresiatif terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Misal dalam atraksi gamelan tugel, ada anak yang menabuh kendang, ada pula yang menari (njatil).
Namun jangan mebayangkan seperangkat gamelan kinclong, sebab yang tersedia hanya ember bekas, rantang bocor dan kaleng rombeng. Situasi ini berbanding terbalik dengan nuansa game yang katanya modern tapi cenderung mekanik dan individualistis.
Masih banyak jenis dolanan anak di Indonesia tercinta ini. Dalam buku Permainan Tradisional Jawa karya Sukirman Dharmamulya dkk (Kepel Press, 2004) tercatat tidak kurang dari 40 ragam permainan (play). Secara ringkas, dolanan anak yang tersebar di seantero Jawa ini bisa dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama, bermain dengan bunyi; kedua, adu ketangkasan; ketiga, olah pikir.
Sebut saja cublak-cublak suweng dan klek-klek gemakul: Larang uyah/larang mbako/sak geplek dadi sak wakul, termasuk jenis pertama karena melibatkan unsur gerak dan lagu. Kemudian egrang, engkeleng, benthik, petak umpet, kucing jongkok tergolong tipe kedua sebab menuntut ketangkasan fisik. Sedangkan macanan dan dhakon jelas masuk kategori ketiga karena mengasah kemampuan intelegensia.
Permainan anak tersebut tidak butuh biaya mahal, tapi mampu melatih anak menjadi kratif dan andhom aslamet (concern and care for others) alias berjiwa sosial. Ibarat blessing in disguise, justru dari keterbatasan ekonomi masyarakat terlahir ide untuk membuat mainan sendiri dan melestarikan kearifan lokanl dolanan anak yang telah diwarihkan secara turun temurun oleh para leluhur kita.
Tugas kita bersama ialah untuk mempopulerkan kembali khasanah warisan leluhur tersebut. Salah satu langkah kecil seperti yang dilakukan Forum Pengajar, Dokter, Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (FORADOKSI BIP), organisasi masyarakat yang digagas oleh Bapak Anand Krishna ini secara berkala blusukan berkeliling mendokumentasikan ragam dolanan anak di pelbagai wilayah Nusantara.
Semoga dengan menonton rekaman secara audio visual, para permirsa (utamanya yang berdomisili di kota) bisa tersentuh rasa pang rasa-nya dan turut memainkan (lagi) dolanan anak tersebut di lingkungan sekitar tempat tinggal masing-masing. Cublak-cublak suweng/suwenge teng gelenter/mambu ketumbun gudel...sir sir pong dele kopong/sir-sir pong dele kopong...
Menurut Ibu Giyanto yang biasa mendampingi tunas-tunas muda tersebut, orang tua mereka tidak mampu membelikan mainan ala orang kota seperti play station, pedang-pedangan yang bisa menyala, ataupun televisi berwarna karena 99,9 persen berprofesi sebagi petani (miskin).
Lebih lanjut, dhakon merupakan salah satu jenis dolanan anak. Di Jawa, aturan mainnya sinonim dengan congklak karena menggunakan cangkang kerang atau biji sawo kecik. Di Sumatra, namanya dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi biasa disebut mokoatan, maggalenceng, aggalacang atau nogarata. Nah kalu di Inggris, istilahnya mancala. (Sumber: Wikipedia Indonesia)
Keunggulan permainan tersebut ialah memfasilitasi interaksi intra dan antar anak. Selain itu, mayoritas dolanan anak dimainkan di alam terbuka sehingga sejak usia dini mereka biasa bersikap lepas bebas dan apresiatif terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Misal dalam atraksi gamelan tugel, ada anak yang menabuh kendang, ada pula yang menari (njatil).
Namun jangan mebayangkan seperangkat gamelan kinclong, sebab yang tersedia hanya ember bekas, rantang bocor dan kaleng rombeng. Situasi ini berbanding terbalik dengan nuansa game yang katanya modern tapi cenderung mekanik dan individualistis.
Masih banyak jenis dolanan anak di Indonesia tercinta ini. Dalam buku Permainan Tradisional Jawa karya Sukirman Dharmamulya dkk (Kepel Press, 2004) tercatat tidak kurang dari 40 ragam permainan (play). Secara ringkas, dolanan anak yang tersebar di seantero Jawa ini bisa dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama, bermain dengan bunyi; kedua, adu ketangkasan; ketiga, olah pikir.
Sebut saja cublak-cublak suweng dan klek-klek gemakul: Larang uyah/larang mbako/sak geplek dadi sak wakul, termasuk jenis pertama karena melibatkan unsur gerak dan lagu. Kemudian egrang, engkeleng, benthik, petak umpet, kucing jongkok tergolong tipe kedua sebab menuntut ketangkasan fisik. Sedangkan macanan dan dhakon jelas masuk kategori ketiga karena mengasah kemampuan intelegensia.
Permainan anak tersebut tidak butuh biaya mahal, tapi mampu melatih anak menjadi kratif dan andhom aslamet (concern and care for others) alias berjiwa sosial. Ibarat blessing in disguise, justru dari keterbatasan ekonomi masyarakat terlahir ide untuk membuat mainan sendiri dan melestarikan kearifan lokanl dolanan anak yang telah diwarihkan secara turun temurun oleh para leluhur kita.
Tugas kita bersama ialah untuk mempopulerkan kembali khasanah warisan leluhur tersebut. Salah satu langkah kecil seperti yang dilakukan Forum Pengajar, Dokter, Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (FORADOKSI BIP), organisasi masyarakat yang digagas oleh Bapak Anand Krishna ini secara berkala blusukan berkeliling mendokumentasikan ragam dolanan anak di pelbagai wilayah Nusantara.
Semoga dengan menonton rekaman secara audio visual, para permirsa (utamanya yang berdomisili di kota) bisa tersentuh rasa pang rasa-nya dan turut memainkan (lagi) dolanan anak tersebut di lingkungan sekitar tempat tinggal masing-masing. Cublak-cublak suweng/suwenge teng gelenter/mambu ketumbun gudel...sir sir pong dele kopong/sir-sir pong dele kopong...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar