"Bangkitlah bangkit wahai Ksatria/ Apa yang kau ragukan Arjuna? Kalah menang jangan kau pikirkan/ Berjuanglah demi Keadilan/ Berkaryalah demi Kebajikan/ Berkorbanlah demi Kebenaran..."
Itulah petikan tembang gubahan Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama yang melawat kota gudeg akhir November 2006 silam. Intinya senada dengan tema yang diusung oleh para budayawan/wati seperti Yuwono Sri Suwito, Budi Wahyuni, Revi Budi Santosa, DS Nugrahaeni dan Saktiadi. Beliau-beliau memaparkan ciri Ksatria Ngayogyakarta Hadiningrat. Yakni Hamemayu Hayuning Bawana sebagai bintang kutub, semangat Golong-Gilig berkobar di dada serta Nyawiji, Greget, Sengguh lan Ora Mingkuh dalam kata dan tindakan guna mewujudkan Yogya sebagai Pusat Kebudayaan pada 2020.
Dewasa ini orang muda (termasuk mahasiswa/mahasiswi) cenderung menelan budaya asing secara mentah-mentah dan enggan menggali khasanah budaya leluhur yang begitu kaya dan mulia. Sekedar sharing, saat penulis nekat mengenakan batik pada jam kuliah, banyak kawan mencibir seraya berkata, "Ini kampus Bung bukan tempat njagong manten". Padahal dahulu kakek-nenek moyang kitapun mengenakan batik dalam aktivitas keseharian karena selain nyaman dipakai, ternyata corak motifnyapun menyiratkan makna filosofis tertentu. Ironisnya, "Kita lupa itu Bung!"
Krisis yang mendera Indonesia sejak 1997 silam bukanlah melulu politis dan ekonomis, melainkan soal budaya. Para politisi yang berbudaya tidak akan mengkorup uang rakyat dan melik nggendong lali karena menyadari jabatan sebagai amanah-Nya untuk melayani seluruh putra-putri Ibu Pertiwi tanpa terkecuali. Yakni dengan mengesampingkan kepentingan egoistik kelompok/partai. Pelaku bisnis yang beradab tak akan merusak alam titipan anak cucu demi kepingan fulus. Prinsip lawas "Tuna Sathak Bathi Sanak" yang mengedepankan nilai kebersamaan ketimbang meraup laba masih relevan diterapkan dalam konteks zaman neoliberal ini.
"Hidup yang tak pernah ditinjau tak layak dijalani." begitulah petuah para bijak. Jelang tutup tahun 2006 lalu ialah saat yang tepat untuk melakukan permenungan. Melihat kembali apa-apa saja yang telah kita persembahkan bagi bangsa ini. Dalam buku "Revolusi Belum Selesai" Bung Karno mengatakan, "Tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai Ibu, Ibu Pertiwi. Kita Berkewajiban jikalau benar-benar mencintai Ibu. Kita harus menyumbang pada Ibu kita. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban menyumbangkan bunga-bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya Ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa menyumbangkan melati? Berilah melati. Bisa menyumbangkan mawar, berilah mawar. Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga!"
Revolusi memang belum usai, saat ini kita butuh banyak Ksatria (orang muda dan yang berjiwa muda) yang sudi berkarya tanpa pamrih untuk mempercantik Ibu Pertiwi dengan penuh Cinta.
Itulah petikan tembang gubahan Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama yang melawat kota gudeg akhir November 2006 silam. Intinya senada dengan tema yang diusung oleh para budayawan/wati seperti Yuwono Sri Suwito, Budi Wahyuni, Revi Budi Santosa, DS Nugrahaeni dan Saktiadi. Beliau-beliau memaparkan ciri Ksatria Ngayogyakarta Hadiningrat. Yakni Hamemayu Hayuning Bawana sebagai bintang kutub, semangat Golong-Gilig berkobar di dada serta Nyawiji, Greget, Sengguh lan Ora Mingkuh dalam kata dan tindakan guna mewujudkan Yogya sebagai Pusat Kebudayaan pada 2020.
Dewasa ini orang muda (termasuk mahasiswa/mahasiswi) cenderung menelan budaya asing secara mentah-mentah dan enggan menggali khasanah budaya leluhur yang begitu kaya dan mulia. Sekedar sharing, saat penulis nekat mengenakan batik pada jam kuliah, banyak kawan mencibir seraya berkata, "Ini kampus Bung bukan tempat njagong manten". Padahal dahulu kakek-nenek moyang kitapun mengenakan batik dalam aktivitas keseharian karena selain nyaman dipakai, ternyata corak motifnyapun menyiratkan makna filosofis tertentu. Ironisnya, "Kita lupa itu Bung!"
Krisis yang mendera Indonesia sejak 1997 silam bukanlah melulu politis dan ekonomis, melainkan soal budaya. Para politisi yang berbudaya tidak akan mengkorup uang rakyat dan melik nggendong lali karena menyadari jabatan sebagai amanah-Nya untuk melayani seluruh putra-putri Ibu Pertiwi tanpa terkecuali. Yakni dengan mengesampingkan kepentingan egoistik kelompok/partai. Pelaku bisnis yang beradab tak akan merusak alam titipan anak cucu demi kepingan fulus. Prinsip lawas "Tuna Sathak Bathi Sanak" yang mengedepankan nilai kebersamaan ketimbang meraup laba masih relevan diterapkan dalam konteks zaman neoliberal ini.
"Hidup yang tak pernah ditinjau tak layak dijalani." begitulah petuah para bijak. Jelang tutup tahun 2006 lalu ialah saat yang tepat untuk melakukan permenungan. Melihat kembali apa-apa saja yang telah kita persembahkan bagi bangsa ini. Dalam buku "Revolusi Belum Selesai" Bung Karno mengatakan, "Tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai Ibu, Ibu Pertiwi. Kita Berkewajiban jikalau benar-benar mencintai Ibu. Kita harus menyumbang pada Ibu kita. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban menyumbangkan bunga-bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya Ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa menyumbangkan melati? Berilah melati. Bisa menyumbangkan mawar, berilah mawar. Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga!"
Revolusi memang belum usai, saat ini kita butuh banyak Ksatria (orang muda dan yang berjiwa muda) yang sudi berkarya tanpa pamrih untuk mempercantik Ibu Pertiwi dengan penuh Cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar