Ada pepatah lama mengatakan, "Surga di bawah telapak kaki Ibu." Hal ini sungguh dipahami oleh Raja Sanjaya yang memimpin di Bumi Jawadwipa pada medio abad ketujuh. Beliau mempopulerkan istilah "Mataram". guna menyebut tanah air, Ibu Pertiwi. Lantas 1.200 tahun kemudian pada era revolusi kemerdekaan, semboyan "Mataram" kembali digunakan oleh para founding fathers guna menggelorakan perjuangan rakyat semesta mengusir kaum imperialis yang menginjak-injak kehormatan Ibu Pertiwi selama 350 tahun.
Anand Krishna tokoh humanis lintas agama Nusantara kembali mempopulerkan kata magis tersebut di era milenium ini. Bende Mataram: Sembah Bakti bagi Ibu Pertiwi. Kita memang berbeda latar belakang: suku, agama, ras, profesi, status, gender, dst namun pada saat yang sama kita adalah putra-putri Ibu Pertiwi. Kita boleh memeluk agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, beraliran kepercayaan: Kejawen, Kaharingan, Samin, Theosofi dst namun sejatinya kita saudara sekandung yang notabene dilahirkan, disusui, di rawat dan dibesarkan oleh Bunda Nusantara hingga menjadi dewasa seperti saat ini.
Dalam ilmu psikologi mutakhir dikenal istilah marasmus. Yakni bayi yang meninggal akibat serangan depresi mendalam. Ia merasa kesepiaan karena tak mendapat sentuhan kasih sayang dari ortunya. Kondisi sakratul maut semacam ini juga tengah dialami bangsa Indonesia tercinta akibat belitan krisi multifaset yang tak kunjung reda sejak 1997 silam. Kondisi keamanan serba tak menentu karena bom bisa meledak sewaktu-waktu, Amrozi Cs yang jelas divonis bersalah oleh pengadilan masih bisa cengar-cengir. Birokrasi pemerintahan berbelit-belit bahkan saudara-saudara kita di Bantul hingga kini ada yang masih berteduh di bawah tenda dan kekurangan air bersih karena dana rekonstruksi belum cair dan merembes ke level grassroot. Lebih lanjut aparat pelayan masyarakat bermental melik nggendong lali.
Sebagai kaum akademisi kita bisa berpartisipasi memberi kontribusi bagi Republik ini di lingkar pengaruh, di kampus masing-masing. Mari galakkan acara yang bernuansa kebangsaan jangan melulu yang berbau hedonis dan dogmatis. Konkretnya seperti yang dilakukan National Integration Movement Yogyakarta di UGM pada penghujung Agustus 2006. Yakni dengan menggelar lomba pidato, melukis, menulis, bagi siswa-siswi SD, SMP, SMU se-Jateng dan DIY. Bukankah memang seyogyanya benih cinta pada Ibu Pertiwi harus ditanamkan sejak usia dini? seluruh buah karya anak bangsa tersebut akan didokumentasikan dalam bentuk buku supaya bisa dibaca oleh masyarakat luas sebagai kado kecil buat Ibu Pertiwi.
Memang solusi fundamental guna mengatasi problematika kehidupan berbangsa kita ialah dengan menjalin kembali hubungan batin (romantika) dengan Ibu Pertiwi. Mari kesampingkan sejenak kepentingan egoistik kelompok yang cenderung memecah belah dan menghisap sesama. Mengutip petuah Bung Karno yang dimuat di Suluh Indonesia pada 1928, Ke Arah Persatuan, beliau mengatakan: ""Semangat itu (baca: Cinta tanah air) sudah melengket di atas bibir tiap-tiap orang pergerakan Indonesia, mendalam ke hati tiap-tiap orang Indonesia yang berjuang membela keselamatan tanah air dan bangsa." Sudah 78 tahun berlkalu namun kirannya dengung spirit kebangsaan itu masih relevan diaplikasikan dalam konteks kesekarangan. Jika dahulu mereka berjuang guna mencapai Indonesia Merdeka kini kita berjuang sampai titik darah penghabisan demi Indonesia Jaya!
Anand Krishna tokoh humanis lintas agama Nusantara kembali mempopulerkan kata magis tersebut di era milenium ini. Bende Mataram: Sembah Bakti bagi Ibu Pertiwi. Kita memang berbeda latar belakang: suku, agama, ras, profesi, status, gender, dst namun pada saat yang sama kita adalah putra-putri Ibu Pertiwi. Kita boleh memeluk agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, beraliran kepercayaan: Kejawen, Kaharingan, Samin, Theosofi dst namun sejatinya kita saudara sekandung yang notabene dilahirkan, disusui, di rawat dan dibesarkan oleh Bunda Nusantara hingga menjadi dewasa seperti saat ini.
Dalam ilmu psikologi mutakhir dikenal istilah marasmus. Yakni bayi yang meninggal akibat serangan depresi mendalam. Ia merasa kesepiaan karena tak mendapat sentuhan kasih sayang dari ortunya. Kondisi sakratul maut semacam ini juga tengah dialami bangsa Indonesia tercinta akibat belitan krisi multifaset yang tak kunjung reda sejak 1997 silam. Kondisi keamanan serba tak menentu karena bom bisa meledak sewaktu-waktu, Amrozi Cs yang jelas divonis bersalah oleh pengadilan masih bisa cengar-cengir. Birokrasi pemerintahan berbelit-belit bahkan saudara-saudara kita di Bantul hingga kini ada yang masih berteduh di bawah tenda dan kekurangan air bersih karena dana rekonstruksi belum cair dan merembes ke level grassroot. Lebih lanjut aparat pelayan masyarakat bermental melik nggendong lali.
Sebagai kaum akademisi kita bisa berpartisipasi memberi kontribusi bagi Republik ini di lingkar pengaruh, di kampus masing-masing. Mari galakkan acara yang bernuansa kebangsaan jangan melulu yang berbau hedonis dan dogmatis. Konkretnya seperti yang dilakukan National Integration Movement Yogyakarta di UGM pada penghujung Agustus 2006. Yakni dengan menggelar lomba pidato, melukis, menulis, bagi siswa-siswi SD, SMP, SMU se-Jateng dan DIY. Bukankah memang seyogyanya benih cinta pada Ibu Pertiwi harus ditanamkan sejak usia dini? seluruh buah karya anak bangsa tersebut akan didokumentasikan dalam bentuk buku supaya bisa dibaca oleh masyarakat luas sebagai kado kecil buat Ibu Pertiwi.
Memang solusi fundamental guna mengatasi problematika kehidupan berbangsa kita ialah dengan menjalin kembali hubungan batin (romantika) dengan Ibu Pertiwi. Mari kesampingkan sejenak kepentingan egoistik kelompok yang cenderung memecah belah dan menghisap sesama. Mengutip petuah Bung Karno yang dimuat di Suluh Indonesia pada 1928, Ke Arah Persatuan, beliau mengatakan: ""Semangat itu (baca: Cinta tanah air) sudah melengket di atas bibir tiap-tiap orang pergerakan Indonesia, mendalam ke hati tiap-tiap orang Indonesia yang berjuang membela keselamatan tanah air dan bangsa." Sudah 78 tahun berlkalu namun kirannya dengung spirit kebangsaan itu masih relevan diaplikasikan dalam konteks kesekarangan. Jika dahulu mereka berjuang guna mencapai Indonesia Merdeka kini kita berjuang sampai titik darah penghabisan demi Indonesia Jaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar