Berbeda dengan ritual peringatan Sumpah Pemuda yang sekedar bernostalgia dengan manisnya masa lalu sehingga menafikan misi utama mengangkat kembali visi kebangsaan yang didengungkan para founding fathers tersebut, meminjam isltilah Prof. Arief Budiman - lupa mengkontekstualisasikannya dengan kekinian zaman, pada 28 Oktober 2006 silam di Denpasar Bali, tepatnya di Ground Zero Kuta, yang diredefinisi oleh Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama Nusantara sebagai Ground for Love, Peace, and Harmony diadakan perhelatan akbar berupa deklarasi Forum Pengajar, Dokter, Psikolog - Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi-BIP).
Ibarat sarang lebah yang mengandung baanyak madu, organisasi masyarakat ini bertekad menjadi wadah untuk menyebarkan visi kebangsaan tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender, usia, dst di Bumi Pertiwi tercinta ini. Sebagian besar pelopornya berprofesi sebagai pengajar, dokter, dan psikolog. Kenapa? karena merekalah yang paling sering berinteraksi dengan kalangan di akar rumput. Sehingga dari perspektif strategi-taktik gerakan, mereka bisa leluasa dan masif menebarkan benih cinta bakti pada Ibu Pertiwi di kalangan anak didik, pasien , dan kliennya.
Ada kisah miris yang diceritakan seorang dokter muda dari Lombok, NTB. Saat melayani pasien yang hendak transfusi darah, pihak keluarga bersikeras agar mendapat donor dari orang yang seagama. Bukankah darah setiap manusia itu sama warnanya: Merah! Dan yang paling penting ialah kecocokan golongan (A,B,AB atau O) dan tipe rhesus-nya (+ atau-). Apa hubungan antara kolom agama di KTP dengan kelayakan medis tersebut? Fanatisme agama yang cenderung mengkotak-kotakkan manusia semacam ini jelas bertentangan dengan falsafah negara kita: Bhinneka Tunggal Ika dan visi luhur Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa.
Berdasarkan teks deklarasinya, Forum Pengajar, Dokter, Psikolog - Bagi Ibu Pertiwi akan proaktif bergerak memantau, mendengar dan bicara secara lugas, jelas dan lantang berkait pelbagai problematika sosial seperti pendidikan, kesehatan (fisik dan psikis). Utamanya mengkritisi pola pendidikan yang menjurus pada intimidasi dan indoktrinasi yang potensial menciptakan individu berpandangan sempit macam Amrozi Cs yang lupa akan jati dirinya sebagai anak bangsa dan warga dunia.
Almarhum Romo Mangunwijaya mengingatkan bahwa bangsa ini tak butuh "Persatean" alias penyeragaman pola pikir, kita butuh persatuan berdasar kesadaran jati diri bahwasanya walau berbeda-beda tapi kita semua berpijak di bumi yang satu, berteduh di bawah atap langit yang sama dan bercita-cita mewujudkan tata kemanusiaan ilahiah tanpa diskriminasi. Hal ini hanya bisa dicapai lewat jalur pendidikan, tak cuma di sekolahan formal tapi juga lewat penulisan artikel kebangsaan di media massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar