http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/88202
Bagaimana cara membersihkan kotoran batin? Kalau lantai berdebu, bisa disapu. Tapi, kalau penyakit rohani, apakah obatnya? Sebagai terapi awal, menurut Sudrijanto, manusia mesti mengenal dosa. Secara harfiah, kotoran batin ini dimaknai sebagai tindakan yang tak selaras dengan alam. Bisa jadi, masih berupa pikiran, perkataan, atau sudah diejawantahkan lewat tindakan.
Kalau tetap bungkam, membiarkan semua itu terjadi, sikap tersebut pun masuk dalam kategori dosa. Dalam konteks ini, notabene umat manusia terjerat dalam jejaring dosa. Oleh karena itu, Paulus mengatakan, "Aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku." (Roma 7: 21).
Buku ini juga mengungkapkan bahwa Gereja Ortodoks Timur lebih melihat dosa sebagai kecenderungan batin yang menyimpang. Tercatat dalam lembar sejarah, pada abad ke-4, Evagrius menganalis delapan akar dosa. Biarawan itu hendak membantu orang yang berkomitmen mengolah hidup rohani, terutama bagi para rahib yang hidup selibat.
Kedelapan sifat destruktif itu ialah kerakusan, hawa nafsu, ketamakan, kemarahan, kesedihan, acedia (apatisme), kesia-siaan, dan kesombongan. Sang Buddha (500 sebelum Kristus) lebih dulu merumuskan lima jenis rintangan internal, yakni keinginan, rasa tidak suka, kecemasan, kemalasan, dan sambalewa (ragu-ragu). Lazimnya, lima jenis kotoran batin (mara) ini muncul saat manusia mulai mengolah lahan batin lewat meditasi.
Romo Sudri mengombinasikan kecenderungan batin dari Evagrius dengan rumusan dari Sang Buddha sehingga ditemukan lima golongan akar kecenderungan batin. Pertama keinginan, hawa nafsu, ketamakan, kerakusan, kesombongan, iri, kecemburuan, kesia-siaan. Kedua, rasa tidak suka, kemarahan. Ketiga, kemalasan dan sambalewa, kesedihan dan acedia. Keempat, kecemasan dan kegelisahan, ketakutan. Kelima, ragu-ragu.
Agar terbebas dari belenggu penderitaan, akarnya yang berupa ego harus dicabut. Jadi, perlu ada penyadaran seputar gerak-geriknya. Lantas bagaimana solusinya? Dia menjawab dengan sebuah cerita. Alkisah, seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Ia lalu digelandang kaum Farisi dan dihadapkan pada sang Guru untuk dihukum rajam. Tapi, bagaimanakah respons-Nya? Beliau hanya berjongkok, menunduk, dan menulis dengan jari di atas tanah dan diam.
Artinya, wanita tersebut tidak hanya diadili oleh massa, tetapi juga diadili oleh dirinya sendiri. Melihat Guru diam penuh pengertian, wanita tersebut juga tertunduk. Wanita itu belajar memahami batinnya sendiri dalam diam. Proses internalisasi ini ternyata menyembuhkan dan memberi rasa lega.
Buku ini terdiri atas dua bagian. Bab satu memuat "Dialog tentang Meditasi." Bab dua berisi "Testimoni ihwal Meditasi." Buku dibuka dengan diskusi, diakhiri sharing pengalaman. Ada seseorang berinisial AB (47). Dia manajer keuangan sebuah perusahaan terkemuka. Dia membuka kartu rahasia. Selama bekerja, dia tidak pernah mampu mendengar embusan angin di telinganya.
Namun, akhirnya dia mampu merasakan kehangatan mentari pagi yang membelai kulitnya (halaman 180). Dia menyadari acap kali merasa terkutuk sebagai manusia karena berdosa. Dengan meditasi, dia merasa lebih teguh dan tidak mudah terseret godaan duniawi.
Diresensi Nugroho Angkasa, seorang guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekstrakurikuler English Club di SMP Kanisius , Sleman, Yogyakarta
Judul : Titik Hening, Meditasi Tanpa Objek
Penulis : J Sudrijanta, SJ
Penerbit : Kanisius
Cetakan : 1/2012
Tebal : 208 halaman
Harga : Rp32.000
ISBN : 978-979-21-3136-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar