Satu dalam Perbedaan
Kebhinekaan bangsa ibarat sabuk pengaman (seat belt). Tatkala menaiki pesawat terbang, pramugari senantiasa mengingatkan para penumpang untuk mengencangkan sabuk pengaman, terutama saat guncangan terjadi akibat kondisi cuaca yang kurang baik. Begitupula dengan nilai keberagaman, saat NKRI bergolak akibat maraknya aksi fanatisme, prinsip “Bhinneka Tunggal Ika - Satu dalam Perbedaan" warisan para founding fathers perlu digaungkan kembali.
Analogi sederhana itu disampaikan oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dalam Diskusi "Kebhinekaan adalah Keniscayaan: Tantangan Mempertahankan Kebhinekaan" di Jakarta Media Centre (JMC) pada Senin, 7 Juni 2010 silam. Bertindak selaku tuan rumah ialah Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA). Selain itu, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan SU, Romo Frans Magnis Suseno SJ dan Ida Pedanda Gde Ketut Sebali juga secara bergantian menyampaikan pandangan mereka seputar kemajemukan bangsa.
Ahmad Yulden Erwin selaku moderator diskusi menyampaikan tujuan acara tersebut. Yakni untuk meyakinkan segenap anak bangsa bahwasanya keragaman itu memang indah. Momentumnya tepat karena masih dalam suasana perayaan Hari Lahir (Harlah) Bung Karno (6 Juni) dan Dirgahayu Pancasila (1 Juni).
Sejarah umat manusia tidak pernah mencatat hanya ada satu agama di dunia ini. Kehidupan menjadi indah karena adanya keberagaman. Umat manusia musti peduli kepada sesama walaupun berbeda. Kerendahan hati (tawaduh) begitu penting dalam melakoni ajaran agama dan kepercayaan. Begitulah paparan dari Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Munir Mulkhan.
Romo Magnis mengigatkan peran penting para tokoh agama dalam memajukan hubungan bersama yang harmonis. Dosen Filsafat STF Driyarkara Jakarta ini juga menyatakan bahwa semua orang berhak memeluk agama dan kepercayaan, sehingga tidak perlu dibatasi 6 agama resmi saja.
"The best religion is humanity," tandas Ida Pedanda Gde Ketut Sebali. Agama yang terbaik ialah kemanusiaan, kita semua berasal dari satu Sumber. Tuhan menyayangi semua umat manusia tanpa terkecuali. Tokoh Parisada Hindu Dharma Indnesia (PHDI) tersebut juga mengingatkan bahwa sebagai anak bangsa darah daging kita satu: Indonesia.
Pada sesi tanya jawab, Arif Susilo selaku perwakilan dari Menteri Pertahanan (Menhan) Dr. Ir. Budi Susilo Supanji juga turut menyampaikan gagasannya. Saat ini di dunia maya seolah terjadi "perang" atas nama agama. Tugas kita bersama untuk mendinginkan situasi, bukan justru memperpanas. Suasana di acara diskusi ini begitu damai dan indah walau berbeda latar belakang pesertanya. Mari kita turut menyebarluaskannya ke keluarga masing-masing dan lingkungan terdekat.
Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/08/12/satu-dalam-kebhinekaan/
Kebhinekaan bangsa ibarat sabuk pengaman (seat belt). Tatkala menaiki pesawat terbang, pramugari senantiasa mengingatkan para penumpang untuk mengencangkan sabuk pengaman, terutama saat guncangan terjadi akibat kondisi cuaca yang kurang baik. Begitupula dengan nilai keberagaman, saat NKRI bergolak akibat maraknya aksi fanatisme, prinsip “Bhinneka Tunggal Ika - Satu dalam Perbedaan" warisan para founding fathers perlu digaungkan kembali.
Analogi sederhana itu disampaikan oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dalam Diskusi "Kebhinekaan adalah Keniscayaan: Tantangan Mempertahankan Kebhinekaan" di Jakarta Media Centre (JMC) pada Senin, 7 Juni 2010 silam. Bertindak selaku tuan rumah ialah Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA). Selain itu, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan SU, Romo Frans Magnis Suseno SJ dan Ida Pedanda Gde Ketut Sebali juga secara bergantian menyampaikan pandangan mereka seputar kemajemukan bangsa.
Ahmad Yulden Erwin selaku moderator diskusi menyampaikan tujuan acara tersebut. Yakni untuk meyakinkan segenap anak bangsa bahwasanya keragaman itu memang indah. Momentumnya tepat karena masih dalam suasana perayaan Hari Lahir (Harlah) Bung Karno (6 Juni) dan Dirgahayu Pancasila (1 Juni).
Sejarah umat manusia tidak pernah mencatat hanya ada satu agama di dunia ini. Kehidupan menjadi indah karena adanya keberagaman. Umat manusia musti peduli kepada sesama walaupun berbeda. Kerendahan hati (tawaduh) begitu penting dalam melakoni ajaran agama dan kepercayaan. Begitulah paparan dari Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Munir Mulkhan.
Romo Magnis mengigatkan peran penting para tokoh agama dalam memajukan hubungan bersama yang harmonis. Dosen Filsafat STF Driyarkara Jakarta ini juga menyatakan bahwa semua orang berhak memeluk agama dan kepercayaan, sehingga tidak perlu dibatasi 6 agama resmi saja.
"The best religion is humanity," tandas Ida Pedanda Gde Ketut Sebali. Agama yang terbaik ialah kemanusiaan, kita semua berasal dari satu Sumber. Tuhan menyayangi semua umat manusia tanpa terkecuali. Tokoh Parisada Hindu Dharma Indnesia (PHDI) tersebut juga mengingatkan bahwa sebagai anak bangsa darah daging kita satu: Indonesia.
Pada sesi tanya jawab, Arif Susilo selaku perwakilan dari Menteri Pertahanan (Menhan) Dr. Ir. Budi Susilo Supanji juga turut menyampaikan gagasannya. Saat ini di dunia maya seolah terjadi "perang" atas nama agama. Tugas kita bersama untuk mendinginkan situasi, bukan justru memperpanas. Suasana di acara diskusi ini begitu damai dan indah walau berbeda latar belakang pesertanya. Mari kita turut menyebarluaskannya ke keluarga masing-masing dan lingkungan terdekat.
Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/08/12/satu-dalam-kebhinekaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar