Judul: Sekolah Gempa - Sekolah Hati
Penulis Bersama: Siswa-siswi SMA Kolese de Britto Yogyakarta
Editor: St Kartono
Penerbit: SMA Kolese de Britto Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: 104 halaman
"Semua orang itu guru /
Alam raya sekolahku /
sejahteralah bangsaku..." - Anonim
Buku ini mengabadikan 27 catatan reflektif siswa SMA Kolese de Britto pasca menjadi relawan gempa di seputaran Jateng - DIY pada Mei - Agustus 2006 silam. Di tengah kesibukan sekolah, mereka masih bisa menyempatkan diri berbagi dengan sesama yang menderita. Keunikan lain "Sekolah Gempa - Sekolah Hati" ialah faktor penulisnya. Mereka relatif masih belia, tapi ternyata begitu piawai menuangkan pengalaman empiris di lapangan dengan bahasa tulis yang apik dan puitis.
Misal Sugeng Jatmika menulis begini, "Dalam hitungan detik, kami menyaksikan rumah yang selama ini kami tinggali roboh. Setiap malam kami dibayangi gempa susulan dan guyuran hujan yang sangat deras, rasanya kami seperti anak nakal yang 'dihajar' bapaknya saja." (hal 19). Siswa kelas 2 SMA yang turut menjadi korban keganasan ayakan gempa tektonik tersebut menggunakan teknik analogi tanpa menafikan kedalaman makna yang hendak disampaikan.
Kritik pedas tanpa tedeng aling-aling juga dilontarkan generasi kelahiran tahun 1990-an tersebut, sehingga kepolosannya niscaya menyentil nurani kemanusiaan kita, "Aku heran mengapa di saat orang lain menderita masih ada orang yang memanfaatkan situasi untuk mencuri barang-barang yang tersisa di rumah yang roboh? Aku juga heran meskipun dekat dengan bandara, ada desa yang sama sekali belum tersentuh bantuan dan bagaimanakah uang sumbangan yang begitu banyak, tapi kok tidak sampai ke tangan rakyat? " - Semitha (hal 35). Jawabnya - menyitir syair lagu Ebiet G Ade - "...mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang...."
Teori
Menurut petuah para bijak, "Apa yang ada di dalam diri manusia lebih dahsyat ketimbang apa yang ada di luar diri." Wahyu Purwawijayanto merasakan pengalaman magis tersebut di rumah sakit (RS), "Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun, indra penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani mendekati kakek itu" (hal 45-46). Ibarat belajar berenang, teori saja tak cukup, yang lebih penting ialah terjun ke dalam sungai. Dalam tradisi Kejawen ada pula peribahasa, "Ngelmu kuwi nganti laku."
Melayani sesama bisa juga secara tak langsung seperti Cahyadi Saputra, misalnya, "Aku membantu menjaga toko, melayani orang yang butuh bahan bangunan, aku tidak mau mengambil keuntungan dari kesusahan orang, meskipun banyak pembeli yang datang, aku justru menurunkan harga barang" (hal 104). Sinergi alias gotong-royong berarti setiap orang memberikan kontribusi sesuai kemampuan dan kapasitasnya di lingkar pengaruh masing-masing. Sehingga tak perlu diseragamkan.
Para siswa ini mengumpulkan uang bersama-sama untuk mengetik di rental (persewaan) komputer, untuk menulis refleksi-refleksi di atas. Menurut penuturan St Kartono, sang editor, kita musti "men-scan" disket anak didik ini agar terbebas dari virus-virus nakal. Luar biasa semangat anak zaman tersebut, layak kita apresiasi dan beri acungan dua jempol!
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/13/Buku/buku02.htm
Penulis Bersama: Siswa-siswi SMA Kolese de Britto Yogyakarta
Editor: St Kartono
Penerbit: SMA Kolese de Britto Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: 104 halaman
"Semua orang itu guru /
Alam raya sekolahku /
sejahteralah bangsaku..." - Anonim
Buku ini mengabadikan 27 catatan reflektif siswa SMA Kolese de Britto pasca menjadi relawan gempa di seputaran Jateng - DIY pada Mei - Agustus 2006 silam. Di tengah kesibukan sekolah, mereka masih bisa menyempatkan diri berbagi dengan sesama yang menderita. Keunikan lain "Sekolah Gempa - Sekolah Hati" ialah faktor penulisnya. Mereka relatif masih belia, tapi ternyata begitu piawai menuangkan pengalaman empiris di lapangan dengan bahasa tulis yang apik dan puitis.
Misal Sugeng Jatmika menulis begini, "Dalam hitungan detik, kami menyaksikan rumah yang selama ini kami tinggali roboh. Setiap malam kami dibayangi gempa susulan dan guyuran hujan yang sangat deras, rasanya kami seperti anak nakal yang 'dihajar' bapaknya saja." (hal 19). Siswa kelas 2 SMA yang turut menjadi korban keganasan ayakan gempa tektonik tersebut menggunakan teknik analogi tanpa menafikan kedalaman makna yang hendak disampaikan.
Kritik pedas tanpa tedeng aling-aling juga dilontarkan generasi kelahiran tahun 1990-an tersebut, sehingga kepolosannya niscaya menyentil nurani kemanusiaan kita, "Aku heran mengapa di saat orang lain menderita masih ada orang yang memanfaatkan situasi untuk mencuri barang-barang yang tersisa di rumah yang roboh? Aku juga heran meskipun dekat dengan bandara, ada desa yang sama sekali belum tersentuh bantuan dan bagaimanakah uang sumbangan yang begitu banyak, tapi kok tidak sampai ke tangan rakyat? " - Semitha (hal 35). Jawabnya - menyitir syair lagu Ebiet G Ade - "...mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang...."
Teori
Menurut petuah para bijak, "Apa yang ada di dalam diri manusia lebih dahsyat ketimbang apa yang ada di luar diri." Wahyu Purwawijayanto merasakan pengalaman magis tersebut di rumah sakit (RS), "Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun, indra penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani mendekati kakek itu" (hal 45-46). Ibarat belajar berenang, teori saja tak cukup, yang lebih penting ialah terjun ke dalam sungai. Dalam tradisi Kejawen ada pula peribahasa, "Ngelmu kuwi nganti laku."
Melayani sesama bisa juga secara tak langsung seperti Cahyadi Saputra, misalnya, "Aku membantu menjaga toko, melayani orang yang butuh bahan bangunan, aku tidak mau mengambil keuntungan dari kesusahan orang, meskipun banyak pembeli yang datang, aku justru menurunkan harga barang" (hal 104). Sinergi alias gotong-royong berarti setiap orang memberikan kontribusi sesuai kemampuan dan kapasitasnya di lingkar pengaruh masing-masing. Sehingga tak perlu diseragamkan.
Para siswa ini mengumpulkan uang bersama-sama untuk mengetik di rental (persewaan) komputer, untuk menulis refleksi-refleksi di atas. Menurut penuturan St Kartono, sang editor, kita musti "men-scan" disket anak didik ini agar terbebas dari virus-virus nakal. Luar biasa semangat anak zaman tersebut, layak kita apresiasi dan beri acungan dua jempol!
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/13/Buku/buku02.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar