Judul: Pantun Senja, Jejak Terbang Burung Tekukur
Penulis: Jalu Suwangsa
Penerbit: Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID)
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2010
Tebal: 64 halaman
“Tutup mata kanan dan kiri / Konsentrasi pada nafas semata / Semasa hidup, carilah jati diri! / Sebelum mati, temukan Sang Pencipta!” (Tutup Mata, halaman 61)
Menurut Redaksi Balai Pustaka, pantun ialah puisi bersajak ab, ab. Lazimnya terdiri atas 2 baris sampiran dan 2 baris isi (2007:vii). Keunikannya terletak pada keindahan bentuk, kesamaan bunyi dan pasangan sampiran-isi. Ketrampilan memilih kata sangat dibutuhkan dalam proses penciptaan sebait pantun. Selain itu, pantun juga mengandung pesan moral tertentu.
"Rasah kementus, kabeh tekane pati.” Pepatah Kejawen yang berarti - jangan sombong, semua pasti akan mati - menjadi inti pesan ke-95 pantun Jalu Suwangsa (JS). Di kalangan akademisi JS lebih terkenal sebagai pakar public speaking (seni berbicara di depan publik). Nama aslinya ialah G. Sukadi. Ternyata Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia tersebut juga rajin menulis.
Fenomena alam acapkali menjadi sumber inspirasi buku-bukunya. Tercermin dari deretan judul berikut ini: “Jangkrik Jlitheng: Ora Kaya-kaya Jebul Dudu Apa-apa” (2005), “Katak pun Tertawa” (2007), “Katak pun Memilih Presiden” (2008) dan “Katak pun Ikut Berpantun: Menyusuri Sungai Sepauk” (2009).
Bagi JS masa tua bukan suatu yang menakutkan. Walaupun National Center for Health Statistics Washington DC mencatat tingkat bunuh diri (suicide) akibat stress dan depresi para senior citizens (manula) berusia 50-80 tahun ke atas mencapai 17,7 – 20,2 persen. JS menatap langit senja dengan optimistik, sebab, “Siang dan malam rayakan arwah / kenang leluhur telah tiada / Tuhan berkarya dalam sejarah / Cinta-Nya menembus tempat dan masa. “ (Siang dan Malam, halaman 57).
Pergumulannya menemukan jati diri didokumentasikan lewat antologi pantun. Misal soal penuaan sebagai keniscayaan hidup, “Kala hujan turun lebat / Mentari senja semakin redup / Ingat sakit semasa sehat / Ingat mati selagi hidup.” (Kala Hujan, halaman 37). Dr. Novita Dewi pada bagian sekapur sirih juga berpendapat bahwa banyak orang yang tidak (sempat) secara khusus belajar menghadapi kematian. Dalam konteks ini, wejangan Ronggowarsito menjadi relevan kembali, “Sing eling lan waspodo.”
“Pantun Senja” termasuk bacaan rohani. Kental aroma spiritual. Keunikannya terletak pada cara penyampaian. Bukan berupa uraian khotbah yang membosankan, tapi lebih melibatkan rasa karena mengunakan media pantun. Akhir kata, sebagai sebuah karya sastra, buku kecil ini layak diapresiasi oleh sidang pembaca, baik yang tua maupun yang muda. Selamat membaca!
Sumber: http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=220620&actmenu=45
3 komentar:
Buku-buku Jalu Suwangsa memang untuk konsumen orang-orang yang sudah "nglenggahi dadi menungsa sing mung sakderma titah".Bukunya SUNGGUH layak dibaca! Jangkrik Jlitheng, Ojo Dumeh, Katak pun Tertawa, Katak pun Memilih Presiden, Katak pun Ikut Berpantun, dan Pantun Senja.Bukunya memang tipis-tipis tapi membuka wawasan baru kita.
Profisiat! Buku-buku kecil yang menyentuh nurani. Katak pun Tertawa sangat bagus! Jelas , bukan bacaan populer, tapi serius.
Saya baru membaca yang "Pantun Senja" dan "Jangkrik Jlitheng." Tapi langsung tertarik dan jatuh hati. Terimakasih Ki Jalu Suwangsa, terimakasih Pak Bendul.
Posting Komentar