Ilmuwan kondang Napoleon Hill mengatakan 98 persen penduduk bumi tak mengetahui apa yang menjadi obsesi mendasar dalam dirinya. Hanya 2 persen orang yang menguasai seluruh aset dunia kita. Keluarga besar Federal Reserve System (disingkat: The Fed) termasuk kelompok yang "beruntung" itu. Sejak zaman Malaise pada tahun 1929, tak kurang dari 35 persen pajak USA dipakai untuk membayar hutang kepada konsorsium 14 bank swasta tersebut. Bahkan pada tahun 2008 ini, 1 Trilyur US Dollar mengalir deras ke kocek The Fed. (Sumber: http://www.zeitgeistmovie.com)
Bung Karno dulu berseru lantang, "Go to hell with your aids". Kenapa? Karena beliau mengetahui bahwa bantuan itu bukan uang rakyat Amerika sendiri, melainkan hibah (baca: hutang) dari The Fed. Selain itu, Putra Sang Fajar sejak jauh-jauh hari memperingatkan bahaya laten Neo Imperialisme dan Neo Kolonialisme. Saat ini hal itu sungguh terjadi. Tak kurang dari 2.000 orang-orang penting di Indonesia dipantau setiap gerak-geriknya dengan teknologi satelit. Presiden, Gubernur, dan Bupati bisa diangkat dan dijatuhkan kapan saja sesuai dengan selera pasar. Ironisnya, para wakil rakyat dan pejabat kita tak menyadari situasi kritis ini. Mereka justru mensahkan UU "Porno" yang bisa mematik konflik horisontal dan mematikan budaya lokal.
Tanggung Jawab Kebangsaan
Kita perlu segera meretas National Resposibility (tanggung jawab kebangsaan). Termasuk dari pihak para pengusaha lokal. Tak cukup hanya berhenti pada program CSR (Corporate Social Responsibility). Data terkini menunjukkan bahwa kita hanya memiliki 1 persen enterpreneur dari total 220 Juta rakyat Indonesia. Akibatnya, krisis ekonomi seolah menjadi siklus 10 tahunan di sini.
Semangat kewirausahaan musti kita kembangkan sejak dini. Misal dengan mendirikan sekolah-sekolah menengah kejuruan. Visi Bung Hatta untuk membangun masyarakat koperasi (cooperatuve society) musti segera kita wujudkan bersama. Mari berlomba melakukan sesuatu yang bermanfaat (migunani) bagi sesama (liyan) anak bangsa. Saatnya kita berkorban demi kejayaan NKRI. Mulai dari hal-hal yang sederhana.
Misalnya dengan membeli produk lokal. Kalau belanja ke pasar tradisional jangan membeli apel Switzerland, toh masih bisa makan apel Malang. Menurut kajian medis buah-buahan dan sayur-sayuran yang tumbuh di sekitar kita lebih cocok dengan aliran darah dan sistem pencernaan Orang Indonesia. Buktinya kalau ada turis Prancis makan buah salak pondoh di dusun Turi Yogyakarta mereka lantas merasa sakit perut. Tapi kalau si Budi melahap sekeranjangpun ia masih bisa bermain bola.
Carrefour, Alfamart, dll tak perlu menjual buah dan sayuran di sini. Hypermarket perlu dibatasi agar tidak mematikan hajat hidup simbok-simbok di pasar Bringharjo Malioboro. Menurut seorang sahabat, di Manhattan sana pemerintah mengatur secara ketat para pelaku MNC/TNC tersebut. Ini bukan berarti kita anti asing. Toh masih ada barang-barang yang memang perlu kita impor. Seperti jam tangan, peralatan elektronik, mobil, dan pesawat terbang. Tapi 80 persen kebutuhan pangan, sandang, dan papan perlu kita produksi sendiri alias swasembada.
Negeri kita begitu kaya. Baik secara lahir maupun batin. Ironisnya kita justru menghancurkan warisan leluhur tersebut sekaligus merampas hak generasi masa depan. Akibat pembangunan lapangan Golf, banyak kawasan sabuk hijau rusak dan desa adat di lereng Merapi tergusur. Padahal para turis manca negara melancong ke sini untuk menikmati keindahan alam sembari menonton sentratari Ramayana, Jathilan, dan khasanah seni-budaya lainnya.
Seputar UU "Porno"
Masih seputar UU "Porno", selain mematikan budaya lokal, produk hukum ini membuka peluang bagi para "milisi swasta" untuk main hakim sendiri. Tetangga kita Malaysia di ambang disintegrasi bangsa karena institusi agama terlalu campur tangan dalam ranah politik. Pemuka agama keluar-masuk Istana negara seenaknya. Akibatnya, lebih dari 40 persen rakyat pribumi di sana terus mengalami perlakukan diskriminatif dari para penguasa agama dan negara.
Akhir kata, UU "Porno" akan menjadikan Indonesia sebagai negara boneka sekaligus lumbung padi Arab Saudi. Sama-sebangun seperti yang menimpa rakyat Sudan dan Pakistan. Lebih dari 1.200 Juta hektar lahan subur di sana telah disewakan untuk rentang waktu 99 tahun. Ironisnya, sentimen agamalah yang dipergunakan untuk menguasai negri-negri tersebut. Padahal sejatinya murni urusan dagang. Semoga pola serupa tak terjadi di bumi Pertiwi tercinta ini. Rahayu!
Bung Karno dulu berseru lantang, "Go to hell with your aids". Kenapa? Karena beliau mengetahui bahwa bantuan itu bukan uang rakyat Amerika sendiri, melainkan hibah (baca: hutang) dari The Fed. Selain itu, Putra Sang Fajar sejak jauh-jauh hari memperingatkan bahaya laten Neo Imperialisme dan Neo Kolonialisme. Saat ini hal itu sungguh terjadi. Tak kurang dari 2.000 orang-orang penting di Indonesia dipantau setiap gerak-geriknya dengan teknologi satelit. Presiden, Gubernur, dan Bupati bisa diangkat dan dijatuhkan kapan saja sesuai dengan selera pasar. Ironisnya, para wakil rakyat dan pejabat kita tak menyadari situasi kritis ini. Mereka justru mensahkan UU "Porno" yang bisa mematik konflik horisontal dan mematikan budaya lokal.
Tanggung Jawab Kebangsaan
Kita perlu segera meretas National Resposibility (tanggung jawab kebangsaan). Termasuk dari pihak para pengusaha lokal. Tak cukup hanya berhenti pada program CSR (Corporate Social Responsibility). Data terkini menunjukkan bahwa kita hanya memiliki 1 persen enterpreneur dari total 220 Juta rakyat Indonesia. Akibatnya, krisis ekonomi seolah menjadi siklus 10 tahunan di sini.
Semangat kewirausahaan musti kita kembangkan sejak dini. Misal dengan mendirikan sekolah-sekolah menengah kejuruan. Visi Bung Hatta untuk membangun masyarakat koperasi (cooperatuve society) musti segera kita wujudkan bersama. Mari berlomba melakukan sesuatu yang bermanfaat (migunani) bagi sesama (liyan) anak bangsa. Saatnya kita berkorban demi kejayaan NKRI. Mulai dari hal-hal yang sederhana.
Misalnya dengan membeli produk lokal. Kalau belanja ke pasar tradisional jangan membeli apel Switzerland, toh masih bisa makan apel Malang. Menurut kajian medis buah-buahan dan sayur-sayuran yang tumbuh di sekitar kita lebih cocok dengan aliran darah dan sistem pencernaan Orang Indonesia. Buktinya kalau ada turis Prancis makan buah salak pondoh di dusun Turi Yogyakarta mereka lantas merasa sakit perut. Tapi kalau si Budi melahap sekeranjangpun ia masih bisa bermain bola.
Carrefour, Alfamart, dll tak perlu menjual buah dan sayuran di sini. Hypermarket perlu dibatasi agar tidak mematikan hajat hidup simbok-simbok di pasar Bringharjo Malioboro. Menurut seorang sahabat, di Manhattan sana pemerintah mengatur secara ketat para pelaku MNC/TNC tersebut. Ini bukan berarti kita anti asing. Toh masih ada barang-barang yang memang perlu kita impor. Seperti jam tangan, peralatan elektronik, mobil, dan pesawat terbang. Tapi 80 persen kebutuhan pangan, sandang, dan papan perlu kita produksi sendiri alias swasembada.
Negeri kita begitu kaya. Baik secara lahir maupun batin. Ironisnya kita justru menghancurkan warisan leluhur tersebut sekaligus merampas hak generasi masa depan. Akibat pembangunan lapangan Golf, banyak kawasan sabuk hijau rusak dan desa adat di lereng Merapi tergusur. Padahal para turis manca negara melancong ke sini untuk menikmati keindahan alam sembari menonton sentratari Ramayana, Jathilan, dan khasanah seni-budaya lainnya.
Seputar UU "Porno"
Masih seputar UU "Porno", selain mematikan budaya lokal, produk hukum ini membuka peluang bagi para "milisi swasta" untuk main hakim sendiri. Tetangga kita Malaysia di ambang disintegrasi bangsa karena institusi agama terlalu campur tangan dalam ranah politik. Pemuka agama keluar-masuk Istana negara seenaknya. Akibatnya, lebih dari 40 persen rakyat pribumi di sana terus mengalami perlakukan diskriminatif dari para penguasa agama dan negara.
Akhir kata, UU "Porno" akan menjadikan Indonesia sebagai negara boneka sekaligus lumbung padi Arab Saudi. Sama-sebangun seperti yang menimpa rakyat Sudan dan Pakistan. Lebih dari 1.200 Juta hektar lahan subur di sana telah disewakan untuk rentang waktu 99 tahun. Ironisnya, sentimen agamalah yang dipergunakan untuk menguasai negri-negri tersebut. Padahal sejatinya murni urusan dagang. Semoga pola serupa tak terjadi di bumi Pertiwi tercinta ini. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar