Januari 12, 2012

Menyelamatkan (Ibu) Bumi

Dimuat di Harian Jogja, Kamis/12 Januari 2012

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi HARJO

Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Sc mengungkap fakta menakjubkan. Setiap hari manusia memperoleh subsidi Rp 170 juta/orang dari Tuhan. Dosen Fakultas Kehutanan (FH) Universitas Gadjah Madha (UGM) Yogyakarta itu menguraikan kalkulasinya sebagai berikut. Setiap orang rata-rata membutuhkan Oksigen (O2) sebanyak 2.880 liter/hari. Kita juga membutuhkan 11.376 liter Nitrogen (N). Jika harga 1 liter O2 di Rumah Sakit Rp 25.000/liter dan Rp 9.950/liter untuk Nitrogen, totalnya ialah nominal tersebut.

Ironisnya, kini kepekatan Karbondioksida (CO2) di atmosfer melonjak drastis. Besarannya mencapai 389, 6 ppm. Data dari The Global Carbon Project (GCP) menyebut bahwa angka ini tertinggi dalam rentang waktu 800.000 tahun terakhir. 5 besar produsen CO2 ialah China (2,2 Pgc), Amerika Serikat (1PgC), India (0,5 PgC), Rusia (0,4 PgC), dan Jepang (0,3 PgC.). Sebagai catatan kecil, 1 PgC setara dengan 1 Giga Ton. Bahkan, total akumulasi Karbondioksiada ke-5 negara tersebut melebihi separuh emisi CO2 di seluruh dunia (2010).

Indonesia semula berada di peringkat ke-21. Namun kini naik ke posisi ke-3 emitter CO2. Karena adanya "kebijakan" pembukaan 1 juta hektare (ha) lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Di balik areal tanah rawa tersebut terkandung Karbondioksida. Sehingga tatkala lahan gambut dibuka, CO2 otomatis terlepas ke udara. Sumber emisi Karbondioksida lainnya ialah kentut sapi, pembakaran hutan, industri, dan kendaraan yang memakai Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dampaknya tentu penurunan kualitas udara. Pun menyebabkan pula siklus hidrologi tak stabil. Sehingga terjadi pergeseran musim (salah mangsa). Menurut Richard Spilburg, hal ini juga memicu bencana Tornado dan Puting Beliung (Ask an Expert: Climate Change: 2009). Karena perbedaan suhu yang kontras di udara dan air. Tak ayal menciptakan hembusan topan dan badai. Kecepatannya lebih kencang daripada laju mobil formula 1. Tak terbayangkan kerusakan daerah yang diterjangnya.

Kenaikan permukaan air laut setinggi 1 meter juga kian kentara. Sebab es di kutub meleleh. Padahal, 11 dari 15 kota besar di dunia didirikan di tepi pantai. Pemukiman penduduk pesisir rawan tergenang air laut. Mereka akan kesulitan menemukan daratan kering untuk ditinggali. Akibat lainnya yang langsung terasa ialah peningkatan suhu udara. Kini tercatat sebesar 3 derajat Celcius.

Ancaman pemanasan global tak hanya dialami manusia. Tapi juga oleh dunia hewan. Salah satu contohnya beruang kutub. Dahulu mereka mudah mendapatkan makanan. Tapi karena banyak bongkahan es mencair. Ikan-ikan dan anjing laut juga menyingkir. Padahal, seekor beruang kutub membutuhkan setidaknya 9 kg daging setiap hari.

Solusi

Rumah Alam ala Oppie Andaresta menjadi solusi nyata. Penyanyi kondang itu mengajak para pendengarnya, "Hidup Hijau Sekarang Juga”. Ia bahkan sejak dini mengajari anaknya cara menyikat gigi yang ramah lingkungan. Pertama, siapkan dulu sikat dan pasta giginya. Lantas, selama menyikat gigi keran air wajib dimatikan. Baru kemudian, saat berkumur kita mewadahi air di dalam cangkir kecil. Agar tidak boros air.

Selain itu, Oppie tak menggunakan AC. Rumah bertingkatnya didesain dengan langit-langit yang tinggi dan banyak jendelanya. Sehingga sirkulasi udara lebih lancar. Ia juga berkebun dan memiliki semacam hutan mini. Pelantun tembang "Andai Aku Jadi Orang Kaya" ini pantang menebang pohon besar yang sudah ada di lingkungannya. Menurut Anand Krishna, dahulu kala leluhur kita pun tak akan menebang walau hanya satu pohon tanpa sebab yang tepat. Mebel yang terbuat dari kayu akan diwariskan dari generasi ke generasi (Tri Hita Karana: 2008)

Lantas, untuk memupuk tanamannya, Oppie memanfatkan sampah dapur yang diolah menjadi kompos. Sehingga pupuk tersebut tergolong organik. Di setiap pojok rumah, ia menyediakan 2 tong sampah. Satu untuk limbah organik dan 1 untuk yang anorganik. Hemat listrik, bersepeda, dan membuat sumur biopori merupakan langkah sederhana namun efektif untuk memperlambat pemanasan global.

Sedangkan pada ranah pendidikan, Drs. Istoto Suharyoto, MM mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Angon. Letaknya di daerah Maguwoharjo, Yogyakarta. Kota hampir penuh dipadati bangunan, hamparan ladang dan sawah hijau kian langka. Semilir angin, suara gemericik air sungai, dan aroma "parfum" kotoran bebek menjadi daya tarik tersendiri.

Pesan cinta lingkungan selalu didengungkan pada setiap anak, remaja, dan kaum dewasa yang berkunjng di PKBM Angon. Pada Sabtu (10/12) siswa-siswi kelas 2 dari Sekolah Kanisius Mangunan belajar di sana. Para tamu dari sekolah alternatif yang didirikan oleh (almahum) Romo Mangunwijaya Pr itu menanam tunas cabai dalam polibag. Lantas, mereka membawanya pulang ke rumah masing-masing. Lewat progam sederhana ini, anak-anak diajak menghargai kehidupan dan proses bertumbuh sejak usia dini. "Siapa yang mengecat cabai menjadi merah?" tanya kritis seorang anak.

Tenaga Surya

Cara lain memperbaiki kualitas atmosfer bumi ialah menggunakan pembangkit listrik non fosil. Sebab, dengan demikian dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara. Sebagai negara tropis, Indonesia dilimpahi anugerah sinar matahari. Tak ada ruginya mulai mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya.

Ada sebuah penemuan brilian seorang guru SD di Madiun. Minto (44), guru sekolah dasar Prambon I. Ia tinggal di Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun. Uniknya, racikan kompor tenaga suryanya berfungsi ganda. Selain untuk memasak sekaligus berfungsi sebagai antena parabola. Kita dapat menyaksikan siaran sepakbola sembari menanti ubi rebus matang.

Ayah 2 anak ini berangan-angan ingin menciptakan sesuatu. Seperti para tokoh idolanya Thomas Alfa Edison (penemu listrik) dan James Watt (pembuat mesin uap). Menurut Minto, keteladaan kedua penemu tersebut mendorongnya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat. "Saat itu, saya tidak tahu kapan persisnya, tapi tiba-tiba saya ingin berbuat sesuatu seperti mereka" ujarnya.

Para tetangga mengatakan walau "hanya" lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), Minto gemar membaca buku. Terutama ihwal teknologi alternatif. Kebiasaan ini mengantarnya lebih dekat dengan cita-cita awal. Ia merealisasikan dalam bentuk sketsa kompor tenaga surya. Bentuknya mirip antena parabola. Waktu yang dibutuhkan untuk merakitnya sekitar 3 tahun.

Uniknya, sebagai guru SD (golongan 3B) dengan penghasilan Rp 400.000/bulan, di benak Minto tak terbesit keinginan mengurus hak paten. Baginya yang terpenting misi pendidikan tercapai. Ia merasa bahagia bila orang lain dapat membuat karya inovatif sepertinya.

Oppie, Istoto, dan Minto telah memberi teladan nyata. Menyelamatkan (Ibu) bumi memang tanggung jawab setiap penghuni planet. Sebab, bumi ini bukan warisan leluhur melainkan titipan anak cucu. Bila bukan kita lantas siapa? Kalau tidak sekarang lalu kapan? Salam Hijau! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Jogjakarta)



Tidak ada komentar: